| 
 
Gerakan Occupy Wall Street
 di Amerika Serikat beberapa pekan terakhir sepertinya menyampaikan 
pesan yang serius, bahwa ada yang salah dengan sistem ekonomi kapitalis 
yang sekarang mendominasi dunia. Bahkan karena common problem kapitalisme ini pula gerakan serupa mudah menjalar ke negeri lain seperti Jerman misalnya, maka lahirlah di negeri itu gerakan Occupy Berlin. Tetapi sebenarnya bagian mananya dari kapitalisme yang diprotes oleh rakyat dunia ini ?. 
  
Dari
 sekian banyak cacat bawaan kapitalisme, satu yang umum dan 
menyengsarakan rakyat adalah inflasi. Ketika pemerintah negara-negara di
 dunia mencetak uangnya secara berlebihan, maka mayoritas penduduknya 
akan menderita karena inflasi ini. Mereka telah bekerja sekuat tenaga 
tetapi penghasilannya tidak pernah cukup untuk memenuhi kebutuhannya, 
inilah yang membuat rakyat di Amerika marah yang kemudian menular ke 
negara-negara besar lainnya. 
  
Di
 tahun ini pula, kemarahan serupa terjadi di beberapa negara yang sampai
 menumbangkan pemerintahannya. Awalnya di Algeria ketika Januari lalu 
rakyatnya menuntut agar pemerintahnya memberikan (menurunkan harga) 
gula, demo ini sampai membawa 8 orang meninggal. Demo serupa ditiru di 
negeri tetangganya Tunisia yang berakhir dengan tumbangnya pemerintahan 
Ben Ali. Menular lagi ke Mesir hingga jatuhnya Hosni Mubarak, terus 
menular ke Libya  hingga jatuhnya Ghadafi – meskipun di 
Libya sebenarnya inflasi bukan menjadi isu, ke Syria dengan begitu 
banyak korban dan belum berakhir hingga kini. Di Indonesia kita juga 
pernah mengalami hal yang serupa, inflasi tinggi yang membawa kejatuhan 
Presiden Pertama dan Kedua negeri ini. 
 
 
  
Namun
 sebenarnya bagi rakyat ada hal yang lebih penting ketimbang jatuhnya 
suatu rezim, yaitu teratasinya masalah yang mendasar yang menjadi pemicu
 ketidak puasan rakyat terhadap pemerintahnya – salah satunya ya inflasi
 itu tadi. 
  
Di
 Indonesia misalnya kalau ditanya rakyat kebanyakan apakah pasca 1998 
kita hidup lebih baik ?, jawabannya kemungkinan besarnya adalah tidak. 
Mengapa demikian ?. Grafik dibawah yang mencerminkan nilai tukar atau 
daya beli Rupiah kita – secara tidak langsung menjelaskan hal ini. Pasca
 1998 diperlukan rata-rata sekitar 4 kali lebih banyak Rupiah untuk 
membeli barang kebutuhan  standar internasional yang 
dinilai dengan Dollar. Apakah penghasilan rakyat naik rata-rata 4 kali 
atau lebih pasca 1998 tersebut ?, saya rasa tidak. 
  
 Inflation to US$ - Compared  
 
  
Sebagai
 pembanding, mengapa demo-demo yang sampai mengguncang pemerintahannya 
lebih kecil kemungkinannya terjadi di negeri seperti Jepang, China dan 
Australia ?, ya karena mereka relatif berhasil mengendalikan inflasi di 
negaranya. Bila rakyat makmur, mereka tidak akan peduli dengan siapa 
yang  duduk di pemerintahannya. Demikian pula sebaliknya, 
bila rakyat sengsara – maka siapapun pemerintahannya akan dinilai gagal 
oleh rakyatnya. 
  
Bahwa
 rata-rata kita tidak menjadi lebih makmur pasca 1998, rakyat Tunisia 
tidak lebih makmur pasca rezim Ben Ali, rakyat Mesir tidak lebih makmur 
pasca jatuhnya Hosni Mubarak, dlsb. – adalah karena rakyat itu sendiri 
tidak berhasil memformulasikan target tuntutannya dengan baik. 
  
Kesalahan
 itu adanya pada system yang memungkinkan rakyat begitu mudah kehilangan
 daya beli melalui inflasi, maka siapapun pemimpinnya bila dia tidak 
merubah system itu – kesengsaraan akan terus berulang. 
  
Maka sebenarnya dunia tidak memerlukan transisi kepemimpinan yang memilukan seperti di Indonesia 1965, 1998;  dan
 di tahun ini ada di Tunisia, Mesir, Libya dan entah mana lagi ; yang 
dibutuhkan adalah transsisi damai yang bisa merubah dari system ekonomi 
yang menyengsarakan ke sistem ekonomi yang memakmurkan. Transisinya 
bukan dari satu kekuasaan ke kekuasaan lain, tetapi seharusnya dari satu
 pemikiran ke pemikiran lainnya. Wa Allahu A’lam. 
 | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar