Jumat, November 26, 2010

Syari’at Membimbing Anda dalam Menggunakan Jawwal/Handphone (1)

السلام عليكم ورحمة الله وبركاتة

Pengantar : Pada zaman modern ini telah banyak teknologi yang memudahkan aktivitas manusia. Termasuk dengan tersebarnya Jawwal/Handphone (HP), komunikasi bisa dijalankan dengan sangat mudah dan cepat. Seorang yang berada di ujung dunia bisa menghubungi orang lain yang ada di belahan dunia lain dengan sangat mudah dan kapan saja ia mau. Kejadian yang terjadi di suatu daerah, bisa diinformasikan dengan cepat ke benua lainnya saat itu juga.

Tidak diragukan, keberadaan Jawwal/HP merupakan salah satu di antara sekian banyak nikmat Allah. Maka agar nikmat tersebut bisa tetap terjaga dan benar-benar menjadi karunia bagi kita perlu kita mensyukuri nikmat tersebut. Di antara bentuk syukur adalah menggunakan nikmat tersebut pada tempatnya dan menjadikannya sebagai sarana yang bisa membantu untuk kita menjalankan ketaatan kepada Allah.

Banyak terjadi, terkait dengan penggunaan Jawwal/HP ini yang sebenarnya itu bertentangan dengan nilai-nilai syukur. Yaitu tatkala teknologi seluler yang memberikan banyak kemudahan ini ternyata digunakan tidak pada tempatnya dan bahkan dijadikan sebagai sarana baru untuk berbuat maksiat. Maka perlu kiranya kita menengok bagaimana bimbingan Syari’at Islamiyyah dalam memberikan rambu-rambu untuk bersikap dan berakhlaq, serta mana hal-hal yang boleh dan mana yang dilarang oleh syari’at, untuk kemudian seorang muslim menerapkannya dalam penggunaan teknologi seluler tersebut.

* * *

Ini adalah risalah yang ditulis oleh Al-Akh Abu Ibrahim ‘Abdullah bin Ahmad bin Muqbil hafizhahullah, dengan mendapat taqrizh (pujian) dari Asy-Syaikh Al-’Allamah Muhammad bin ‘Abdil Wahhab Al-Wushabi Al-‘Abdali hafizhahullah.

Risalah ini berisi tentang pembahasan 24 pedoman dan bimbingan syar’i dalam menggunakan Jawwal/ (HP). Saya mencukupkan untuk langsung menyebutkan pedoman-pedoman tersebut saja tanpa menyebutkan pujian Asy-Syaikh Al-Wushabi dan muqaddimah penulis.

Kami memulai dengan memuji Allah

Bimbingan Pertama

Jagalah Selalu Ucapkan Salam yang Islami

Sebagian manusia telah terbiasa ketika membuka percakapan dalam telepon (salam pembuka) dengan kata ‘Hallo‘. Asal kata ini adalah dari bahasa Inggris yang maknanya adalah ‘selamat datang‘, sehingga dari sini mereka telah terjatuh kepada sikap taqlid kepada dunia Barat.

Dan sebagian yang lain menjadikan salam pembuka di antara mereka dalam bentuk celaan, caci makian, dan saling melaknat, mereka tidaklah menempuh kecuali dengan kebiasaan seperti ini. Kemudian jika telah selesai dari percakapannya ditutup dengan kalimat ‘selamat jalan‘ atau ‘bye bye‘.

Ini semua merupakan bentuk penyelisihian terhadap tuntunan yang diajarkan oleh Islam, yaitu mengucapkan salam dan senantiasa menjaganya, baik ketika memulai (berjumpa) maupun mengakhirinya (berpisah).

َيا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتًا غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. yang demikian itu lebih baik bagi kalian, agar kalian (selalu) ingat. (An-Nur: 27)

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman

فَإِذَا دَخَلْتُمْ بُيُوتًا فَسَلِّمُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ تَحِيَّةً مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُبَارَكَةً طَيِّبَةً

Maka apabila kalian memasuki (suatu rumah dari) rumah-rumah (ini) hendaklah kalian memberi salam kepada (penghuninya yang berarti memberi salam) kepada diri kalian sendiri, salam yang ditetapkan dari sisi Allah, yang diberi barakah lagi baik. (An-Nur: 61)

وعن أبي هريرة رضي الله تعالى عنه ،قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : حق المسلم على المسلم ست”قيل ما هن يارسول الله؟قال:”إذا لقيه فسلم عليه،وإذا دعاك فأجبه،وإذا استنصحك فانصح له ،وإذا عطس فحمد الله،فشمته إذا مرض ؛فعده وغذا مات؛فاتبعه”

Dan dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata : Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : Hak seorang muslim terhadap muslim yang lainny ada enam. Ditanyakan kepada beliau: apa saja itu wahai Rasulullah? Beliau bersabda: Jika berjumpa ucapkan salam kepadanya, jika dia mengundangmu penuhilah undangannya, jika dia meminta nasehat kepdamu nasehatilah dia, jika dia bersin dan mengucapkan alhamdulillah maka ucapkan yarhamukallah, jika dia sakit jenguklah dia, jika dia meninggal maka iringilah jenazahnya.(HR. Al-Bukhari 1183, Muslim 2162, dan ini adalah lafazh Al-Imam Muslim)

وعن عمران بن حصين رضي الله عنه،قال :جاء رجل على النبي صلى الله عليه وسلم فقال:السلام عليكم.فرد عليه السلام ،ثم جلي ،فقال النبي صلى الله عليه وسلم”عَشرٌ”.ثم جاء آخر فقال :السلام عليكم ورحمة الله فرد النبي عليه فجلس فقال”عشرون”ثم جاء آخر فقال السلام عليكم ورحمة الله وبركاته فرد النبي عليه فجلس فقال “ثلاثون”

Dari Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: seseorang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mengucapkan : “Assalamu ‘alaikum”, maka Nabi pun menjawab salamnya, kemudian orang tadi duduk dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan: sepuluh. Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullah”, maka Nabi pun menjawab salamnya, kemudian orang tadi duduk dan Nabi pun mengatakan: dua puluh. Kemudian datang orang yang berikutnya dan mengucapkan: “Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh”, maka Nabi pun menjawab salamnya, kemudian orang tadi duduk dan Nabi pun mengatakan: tiga puluh.(HR. Ahmad 19109, Abu Dawud 5195, At-Tirmidzi 2689, dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abi Dawud 5195 dan Shahih At-Tirmidzi 2689)

وعن أبي هريره رضي الله عنه ،قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم”إذا انتهي أحدكم إلى مجلس فليسلم فإن بدا له أن يجلس ،فليجلس ،ثم إذا قام ،فليسلم ،فلست الأولى أحق من الآخرة”

Dan dari Abu Hurairah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Jika salah seorang dari kalian sampai di suatu majelis, maka ucakanlah salam, jika dipersilahkan baginya untuk duduk, maka duduklah. Kemudian jika hendak berdiri (pergi) dari majelis tersebut, ucapkanlah salam, yang pertama tadi tidaklah lebih berhak daripada yang terakhir. (HR. Ahmad, Abu Dawud 5208, Ibnu Hibban, Al Hakim, Asy-Syaikh Al-Albani berkata dalam Ash-Shahihul Jami’ hadits no. 400 : “shahih.” Dan dalam As-Silsilah Ash-Shahihah pada hadits no. 183)

Bimbingan Kedua

Yang Memulai Salam

Siapakah yang memulai salam? Si penelpon ataukah yang ditelpon?

Yang memulai salam hendaknya si penelepon, karena dia itu seperti orang yang mengetuk pintu rumah orang lain dan meminta izin untuk masuk. Sehingga dia harus memulai pembicaraannya dengan ucapan: ‘Assalamu ‘alaikum‘ atau ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah‘ atau Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh‘.

Maka yang ditelepon pun hendaknya menjawab dengan mengucapkan: ‘Wa’alaikummussalam warahmatullahi wabarakatuh‘ atau dengan jawaban yang sama persis diucapkan oleh yang memberi salam.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman

وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا

Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). (An-Nisa’: 86)

Kemudian si penelpon hendaknya mengenalkan identitas dirinya dengan menyebut nama atau julukan/panggilannya kepada orang yang ditelepon tersebut, agar dia (yang ditelepon) tidak merasa kebingungan dengan siapa dia berbicara dan apa tujuannya.

Bimbingan Ketiga

Memperhatikan Waktu

Waktu merupakan nikmat besar yang kebanyakan manusia melalaikannya. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma (bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda):

نعمتان مغبون فيها كثير من الناس :الصحة والفراغ

Ada dua kenikmatan yang kebanyakan manusia melalaikannya: (1) kesehatan, dan (2) waktu luang. (HR. Al-Bukhari XI/196)

Waktu merupakan nikmat besar yang akan ditanyakan di hadapan Allah ‘azza wa jalla. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

لا تزول قدم عبد يوم القيامة حتى يسأل عن أربع:عن عمره فيما أفناه،وعن شبابه فيماأبلاه،وعن ماله من أين كسبه وفيما أنفقه

Tidak akan bergeser kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti sampai dia ditanya tentang empat perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan (4) untuk apa dia infakkan.. (HR. At-Tirmidzi 2417, dan beliau berkata: “hadits hasan shahih”, dan diriwayatkan dari shahabat Abu Barzah Nadhlah bin ‘Ubaid Al-Aslami, dan dikeluarkan Al-Khathib dalam kitab Iqtidha’ Al-Ilmi wal Amal. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Tirmidzi 2417, beliau juga berkata dalam Ash-Shahih Al-Jami’ hadits no. 7300: “shahih”, dan dalam As-Silsilah Ash-Shahihah hadits no. 946) [1]

Maka seyogyanya bagi seorang muslim ketika berbicara agar bicara dengan ringkas dan seperlunya, tidak berpanjang lebar sebagaimana yang sering dijumpai dan disaksikan. kecuali jika memang benar-benar sangat butuh untuk itu. Ini semua dalam rangka bersemangat untuk menjaga waktu yang merupakan modal engkau di dunia ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُورًا

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. (Al Furqan: 62)

Di antara penyebab tersia-siakannya waktu yang ditimbulkan dari fasilitas ini (HP) adalah apa yang dinamakan dengan ‘permainan’ / ‘game‘. Sebagian orang banyak tersibukkan waktunya untuk permainan ini, lalai dari berdzikir kepada Allah dan tenggelam dalam permainan setan tersebut. Maka sudah selayaknya bagi seorang muslim untuk memperhatikan waktunya dan menyibukkan hidupnya di dunia yang hanya beberapa menit ini dengan ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Sungguh betapa bagusnya perkataan seorang penyair

دقات قلب المرئلة له إن الحياة دقائق وثوان

……………….

Sesungguhnya hidup ini hanyalah beberapa menit dan detik saja

Bimbingan Keempat

Menjaga Lisan

Bahaya lisan itu sangatlah besar, kejelekannya tidaklah kecil jika engkau tidak bertaqwa kepada Allah dalam menggunakan lisan ini. Bersemangatlah engkau ketika berbicara untuk tidak mengucapkan kecuali kebaikan, tidaklah bertutur kata kecuali pada perkara-perkara yang positif. Allah Subhanahu wa Ta’ala berrfirman

مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya Malaikat Pengawas yang selalu hadir. (Qaaf: 18)

Perkataan-perkataan yang engkau ucapkan itu akan dihitung dan terekam, maka berhati-hatilah engkau dari ketergelinciran ke dalam perbuatan ghibah terhadap seorang muslim, berdusta atas nama dia, ataupun berbuat namimah (adu domba). Berhati-hatilah dari mencela, mencaci, serta ucapan yang mengandung kefasikan dan dosa. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت ،ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم جاره ومن كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليكرم ضيفه.

Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka katakanlah yang baik atau diam, dan barangsiapa yang beriman kepada hAllah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya dia memuliakan tamunya. (HR. Al-Bukhari XI/265, Muslim 47)

Bimbingan Kelima

Hemat (tidak menghamburkan) Harta (Pulsa)

Sebagian orang menyangka bahwa harta yang dimiliki adalah mutlak miliknya sehingga dia berhak untuk membelanjakan hartanya tersebut untuk keperluan apapun dan bagaimanapun sekehendak dia. Ini adalah persangkaan yang salah, karena harta itu pada hakikatnya merupakan milik Allah, dan engkau adalah yang bertanggung jawab dan diberi amanah atas harta tersebut dan kelak akan diperhitungkan di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Membelanjakan harta di luar perkara yang syar’i (menyelisihi syari’at) itu tidak diperbolehkan, maka ketika seorang muslim bermudah-mudahan membeli pulsa dan untuk ngobrol ini itu yang tidak bermanfaat, maka ini adalah termasuk sikap berlebihan (pemborosan), adapun jika menggunakannya untuk perkara yang bermudharat, maka ini termasuk bentuk perbuatan tabdzir yang Allah larang dalam Al-Qur’an. Allah berfirman

وَلَا تُبَذِّرْ تَبْذِيرًا * إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ وَكَانَ الشَّيْطَانُ لِرَبِّهِ كَفُورًا

Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros, sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Rabbnya. (Al Isra’: 26-27)

Disebutkan dalam Shahih Al -Bukhari dari shahabiyah Khaulah Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha, dia berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إن رجالًا يتخوضون في مال الله بغير حق،فلهم النار يوم القيامة.

Sesungguhnya orang-orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dengan cara yang tidak haq, maka bagi mereka An-Nar (neraka) pada hari Kiamat. (HR. Al-Bukhari 2950)

Diterjemahkan oleh Ust. Abu ‘Abdillah Kediri, dari http://www.sahab.net/forums/showthread.php?t=368419

Footnote :
[1] Di dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah hadits no. 946, lafazhnya sebagai berikut

لا تزول قدما ابن آدم يوم القيامة من عند ربه حتى يسأل عن خمس : عن عمره فيما أفناه و عن شبابه فيما أبلاه و ماله من أين اكتسبه و فيما أنفقه و ماذا عمل

فيما علم.

Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam pada hari kiamat nanti dari sisi Rabbnya sampai ditanya tentang lima perkara: (1) tentang umurnya untuk apa dia habiskan, (2) tentang masa mudanya untuk apa dia gunakan, (3) tentang hartanya dari mana dia dapatkan dan (4) untuk apa dia infakkan, (5) tentang apa yang dia amalkan setelah mengetahui ilmunya.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=371#more-371 dan http://www.assalafy.org/mahad/?p=373)

Selasa, November 23, 2010

Mengikuti Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan Menjauhi Bid’ah

إِنَّ الْحَمْدَ لِلهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah

Marilah kita senantiasa menjaga dan meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Yaitu dengan mempelajari dan mengamalkan serta berpegang teguh di atas syariat-Nya. Karena di dalamnya ada cahaya dan petunjuk yang demikian mencukupi untuk membimbing dan mengatur seluruh sisi kehidupan kita. Mulai dari urusan rumah tangga hingga ketatanegaraan. Sehingga selama seseorang itu mengikuti petunjuk dan aturan-Nya pasti dia akan selamat di dunia dan akhirat. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berjanji bagi orang yang mengikuti petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى

“Barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya ia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka.” (Thaha: 123)

Maka barangsiapa yang tidak merasa cukup dengan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala sehingga menyelisihinya, pasti dia akan rugi dan celaka. Meskipun orang melihatnya hidup dengan penuh kemewahan dan serba ada. Namun sesungguhnya dia tidak merasakan kelapangan dan ketenangan di dalam jiwanya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam bagi orang-orang yang menyelisihi petunjuk-Nya di dalam firman-Nya:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيْشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)

Hadirin rahimakumullah

Seorang muslim yang hakiki tidak akan ridha untuk meninggalkan petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala. Meskipun ditawarkan kepadanya dunia seisinya. Dia akan tetap berpegang teguh di atas syariat-Nya meskipun cobaan dan ujian menimpa dirinya. Karena dia mengetahui bahwa kehidupan yang sesungguhnya bukanlah di dunia dan apa yang dimilikinya berupa kenikmatan dunia baik berupa harta, kedudukan, dan yang semisalnya, pasti akan sirna. Sehingga yang senantiasa diinginkan oleh dirinya adalah meraih kecintaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan diampuni seluruh dosanya serta mendapatkan hidayah dan curahan rahmat-Nya. Oleh karena itu, dia berusaha untuk mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu dengan menaatinya dan tidak menyelisihinya. Karena itulah satu-satunya jalan yang harus ditempuh agar dirinya dicintai dan dirahmati serta diberi hidayah oleh Yang Maha Kuasa. Hal ini sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللهَ فَاتَّبِعُوْنِي يُحْبِبْكُمُ اللهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَاللهُ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ. قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَافِرِيْنَ

“Katakanlah (wahai Muhammad): ‘Jika kalian (benar-benar) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosa kalian.’ Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang kafir’.” (Ali ‘Imran: 31-32)

Maka di dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa menaati Rasul-Nya adalah konsekuensi dan bukti dari cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sementara menyelisihinya adalah tanda kekufuran dirinya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitakan di dalam Al-Qur`an bahwa barangsiapa menaati Rasul-Nya akan memperoleh hidayah-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَإِنْ تُطِيْعُوْهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kalian menaatinya, niscaya kalian akan mendapat hidayah/petunjuk.” (An-Nur: 54)

Begitupula Allah Subhanahu wa Ta'ala beritakan bahwa taat kepada Rasul adalah sebab yang akan mengantarkan kita untuk mendapatkan rahmat-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:

وَأَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

“Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kalian diberi rahmat.” (Ali ‘Imran: 132)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Oleh karena itu, seorang muslim akan mengikuti jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan akan meninggalkan seluruh ajaran yang menyimpang dari ajarannya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dia tidak akan terburu-buru dalam meyakini dan mengamalkan suatu ajaran dalam beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala, baik yang berupa ucapan maupun amalan anggota badan. Akan tetapi dia akan menimbang terlebih dahulu seluruh ucapan dan amalan ibadahnya dengan amalan dan ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Apabila sesuai maka diterima, namun apabila bertentangan maka dia akan menolak, dari manapun datangnya. Karena beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada syariatnya dari kami maka amalan tersebut ditolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullahu mengatakan:

لَقَدْ أَجْمَعَ النَّاسُ عَلَى أَنَّ مَنْ تَبَيَّنَ لَهُ سُنَّةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ أَحَدٍ

“Para ulama telah sepakat bahwasanya barangsiapa yang telah jelas baginya jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh baginya untuk meninggalkannya karena ucapan siapapun.”

Hadirin rahimakumullah,

Ketahuilah bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan umatnya agar jangan sampai terjatuh pada perbuatan bid’ah, yaitu mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya. Hal ini sebagaimana tersebut di dalam sabdanya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Hati-hatilah kalian dari terjatuh kepada amalan-amalan ibadah baru yang diada-adakan, karena setiap amalan tersebut adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu)

Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa perbuatan mengada-adakan amalan ibadah baru yang tidak ada syariatnya adalah sejelek-jelek amalan. Sebagaimana tersebut dalam haditsnya:

وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا

“Dan sejelek-jelek amalan adalah amalan ibadah yang diada-adakan (yang tidak ada tuntunannya dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin).” (HR. Muslim)

Ma’asyiral muslimin rahimakumullah,

Para ulama telah menjelaskan di dalam kitab-kitab mereka tentang maksud dari amalan bid’ah. Di antaranya disebutkan bahwa bid’ah adalah aturan yang diada-adakan dalam beragama yang menandingi syariat dan dimaksudkan dengan mengikuti aturan tersebut untuk beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan bid’ah itu bermacam-macam jenisnya. Ada yang berupa amalan ibadah baru yang sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin. Seperti mengadakan acara perayaaan dan peringatan hari kelahiran atau hari kematian seseorang. Ataupun dengan mengubah tata cara ibadah yang telah disyariatkan. Seperti berdzikir secara berjamaah dengan dipimpin oleh seorang imam setelah selesai dari shalat berjamaah.

Hadirin rahimakumullah,

Seluruh jenis bid’ah dengan berbagai macamnya adalah sesat, sebagaimana tersebut dalam sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Ahmad dan yang lainnya, dishahihkan Al-Albani rahimahullahu)

Begitu pula dikatakan oleh Abdullah ibnu ‘Umar radhiyallahu 'anhuma:

كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً

“Setiap bid’ah adalah sesat meskipun orang-orang menganggapnya baik.”

Maka tidak benar kalau dikatakan ada bid’ah yang baik atau hasanah. Akan tetapi yang ada adalah sunnah yang hasanah, bukan bid’ah hasanah. Yaitu melakukan amal ibadah yang disyariatkan dan kemudian dicontoh serta diikuti oleh yang lainnya. Adapun mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan amal ibadah yang dibuat sendiri atau dibuat oleh gurunya, hal tersebut adalah amalan bid’ah dan tidak ada baiknya sama sekali. Karena seluruh amalan bid’ah adalah keluar dari petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Meskipun kadar kesesatannya dan kejelekannya berbeda-beda.

Akhirnya, marilah kita senantiasa mengikuti wasiat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berpegang teguh di atas jalannya. Begitupula wasiat beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berhati-hati terhadap kerusakan yang sangat berbahaya, yaitu bid’ah serta orang-orang yang mengajaknya. Karena hal itu akan menjauhkan kita dari agama yang mulia.

بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ مَا تَسْمَعُوْنَ وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ إِنَّهُ هُوَ اْلغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


Khutbah Kedua

الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ أَمَرَنَا بِاتِّبَاعِ صِرَاطِهِ الْمُسْتَقِيْمِ وَنَهَانَا عَنِ اتِّبَاعِ سُبُلِ أَصْحَابِ الْجَحِيْمِ وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، الْمَلِكُ الْبَرُّ الرَّحِيْمُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ بَلَّغَ اْلبَلاَغَ الْمُبِيْنَ، وَقَالَ: عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ الَّذِيْنَ تَلَقَّوْا عَنْهُ الدِّيْنَ وَبَلَّغُوْهُ لِلْمُسْلِمِيْنَ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَسَلَّمَ تَسْلِيْمًا كَثِيْرًا، أَمَّا بَعْدُ:

Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,

Marilah kita berusaha untuk selalu menjaga diri-diri kita dari adzab Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan bertakwa kepada-Nya. Yaitu dengan senantiasa mengikuti ajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyelisihinya. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam orang-orang yang menyelisihi jalan rasul-Nya dengan ancaman yang keras. Sebagaimana hal ini tersebut di dalam firman-Nya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخَالِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (An-Nur: 50)

Hadirin rahimakumullah,

Ketahuilah bahwa bid’ah adalah bentuk penyelisihan paling besar dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah perbuatan syirik. Hal ini karena perbuatan bid’ah akan memecah-belah kaum muslimin serta menyeret pelakunya pada kerusakan agama dan hatinya. Perbuatan bid’ah akan menjadikan hati pelakunya menjadi benci kepada As-Sunnah. Karena, hati tidak akan menerima Sunnah Rasul jika sudah ditempati oleh bid’ah. Oleh karena itu, kita dapati orang yang melakukan atau bergelut dengan bid’ah serta menghidupkannya adalah orang yang jauh dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setan akan menghiasi amalan bid’ah sehingga akan menjadi sangat mudah bagi orang yang tertipu untuk mengamalkannya meskipun harus mengeluarkan banyak biaya dan menyita sebagian besar waktunya. Dan bid’ah akan menyeret pelakunya menjadi orang yang sombong untuk menerima kebenaran. Hal itu karena setiap pelaku bid’ah akan membanggakan dirinya dan menganggap cara serta amalannya adalah yang paling baik.

Hadirin rahimakumullah,

Ketahuilah, bahwa termasuk dari amalan bid’ah yang dilakukan oleh sebagian kaum muslimin adalah mengkhususkan pertengahan bulan Sya’ban atau yang dikenal dengan istilah Nishfu Sya’ban dengan shalat malam secara berjamaah.

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata dalam kitabnya Al-Majmu’: “Shalat yang dikenal dengan istilah shalat Ar-Ragha`ib yaitu shalat 12 rakaat yang dilakukan antara Maghrib dan ‘Isya pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab dan shalat pada malam Nishfu Sya’ban sebanyak seratus rakaat, keduanya adalah amalan bid’ah dan mungkar. Janganlah tertipu karena disebutkannya dua jenis shalat ini dalam kitab Qutul Qulub dan Ihya` ‘Ulumuddin. Dan jangan pula tertipu dengan hadits-hadits yang tersebut di dalam dua kitab tadi. Karena sesungguhnya semua itu batil.”

Berkata pula Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullahu: “Hadits-hadits yang menyebutkan keutamaan malam Nishfu Sya’ban adalah hadits-hadits yang dha’if. Tidak boleh dijadikan sebagai pegangan. Sementara hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan shalat pada malam Nishfu Sya’ban semuanya adalah hadits palsu, sebagaimana telah diingatkan oleh banyak ulama.”

Maka tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mengkhususkan serta mengistimewakan pertengahan bulan ini daripada hari-hari lainnya di bulan tersebut. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Al-Khulafa` Ar-Rasyidin tidak pernah melakukannya. Begitu pula tidak boleh bagi kaum muslimin untuk mendukung dan membantu pelaksanaannya. Karena hal itu sama saja dengan menghancurkan agama saudaranya. Bukan berarti tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk shalat malam pada hari tersebut. Akan tetapi mengistimewakan hari dan malam tersebut dari hari-hari lainnya di bulan Sya’ban untuk shalat atau ibadah lainnya bukanlah ajaran yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Akhirnya marilah kita senantiasa berhati-hati dari jalan-jalan yang menyimpang dari jalan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang-orang yang terbaik di umat ini baik dari kalangan sahabat, tabi'in, dan yang mengikuti mereka adalah satu-satunya jalan yang benar.

اللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ. اللَّهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَالْمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَالْمُشْرِكِيْنَ. وَدَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ، وَانْصُرْ عِبَادَكَ الْمُوَحِّدِيْنَ. اللَّهُمَّ أَصْلِحْ أَحْوَالَ الْمُسْلِمِيْنَ في كُلِ مَكَانٍ. اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُسْلِمِيْنَ والْمُسْلِمَاتِ، وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ اْلأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، إِنَّهُ سَمِيْعٌ مُجِيْبُ الدَّعَوَاتِ. رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ العِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ لِلهِ ربِّ الْعَالَمِيْنَ.





Sumber:
Penulis: Al-Ustadz Saifuddin Zuhri, Lc.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=543

Senin, November 22, 2010

Ukhuwah yang Membuahkan Mahabbah dan Rahmah

Di dalam Al-Qur’an, Allah Siubhanahu wa Ta’ala banyak memuji para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mana mereka adalah murid-murid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga telah menyebutkan dan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan mereka di dalam kitab Taurat dan Injil. Sebagaimana di dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
Mereka adalah generasi yang mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh generasi-generasi sebelum maupun sesudahnya. Generasi yang terbaik setelah para nabi dan para rasul ‘alaihimussalam.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Oleh karena itulah Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beriman sebagaimana keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terekam dalam firman-Nya:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Maka wajib untuk mengikuti jalan, ucapan-ucapan, dan keyakinan mereka. Ini adalah perkara yang paling besarnya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/120)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala melalui lisan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berdoa dalam setiap rakaat agar kita mendapatkan hidayah ke jalan mereka radhiyallahu ‘anhum, yang telah mengantarkan mereka untuk mendapatkan kenikmatan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang mengikuti/meneladani, maka hendaknya dia meneladani orang yang telah mati. Yaitu mereka para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaiknya umat ini. Hati-hati mereka paling bersih. Ilmunya paling dalam dan yang paling sedikit takallufnya (membebani diri). Yaitu kaum yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk menjadi para sahabat nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka (berjalan) di atas petunjuk yang lurus, demi Allah Siubhanahu wa Ta’ala Dzat yang memiliki Ka’bah.”
Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga menyatakan bahwa mengikuti jalan dan pemahaman yang tidak dijalani dan tidak dimiliki oleh para sahabat adalah kesesatan.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa tidak ada jalan yang selamat kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terkhusus pada zaman-zaman di mana merebak berbagai macam fitnah yang bersumber dari syubhat dan syahwat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah dia dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang pasti terjadi pada umatnya setelah beliau meninggal. Yaitu, banyak terjadi perselisihan di dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, di dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan yang akan terjadi pada umatnya menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan. Golongan tersebut adalah siapa saja yang berada di atas jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum di atasnya.
Dan demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini memerintahkan agar kita berpegang teguh dengan Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin setelah beliau meninggal. Maka hal ini mencakup seluruh perkara yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya di atasnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji jiwa pendidik dan sifat rahmah yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya agar kita meneladani beliau di dalam dakwah dan tarbiyah yang kita tegakkan, sehingga kita mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalan antara aku dan kalian seperti orang yang menyalakan api (di malam hari di tempat yang terbuka). Maka mulailah serangga-serangga dan anai-anai masuk ke dalam api tersebut padahal orang itu telah menghalaunya (agar tidak masuk ke dalam api). Dan aku pegangi pinggang-pinggang kalian supaya kalian tidak masuk ke dalam api neraka. Sedangkan kalian senantiasa berusaha untuk melepaskan diri dari tanganku.” (HR. Muslim)
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dibimbing dan dididik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, dengan izin Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata, mereka menjadi generasi yang terbaik dalam keilmuan dan amalan. Mereka adalah generasi yang dimuliakan dan didamba-dambakan. Kalau kita membaca kisah-kisah yang shahih tentang mereka, tentu kita akan mendapatkan berbagai macam bimbingan dan pelajaran yang menakjubkan.
Di antara ciri-ciri khas yang paling menonjol dalam kehidupan muamalah di antara mereka adalah sikap saling mencintai (tahabub) dan saling merahmati (tarahum). Sebagaimana apa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala firmankan tentang mereka:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 54)
Yaitu kehidupan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat permisalan tentangnya seperti satu tubuh, sebagaimana dalam sabdanya:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang bukti kecintaan Al-Anshar terhadap Muhajirin radhiyallahu ‘anhum di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 9-10)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata:
“Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian istri beliau, maka istri beliau menjawab: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.” Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya, maka istri tersebut menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga istri-istri beliau semuanya menjawab dengan jawaban yang sama: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa yang akan menjamu tamu ini?” Maka ada seorang Anshar menjawab: “Saya, wahai Rasulullah.” Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!”
Dalam riwayat yang lain dia berkata kepada istrinya: “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Istrinya menjawab: “Tidak, kecuali makan malam anak-anak kita.”
Dia berkata: “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa. Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Dan apabila tamu kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah makan!”
Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan, sehingga suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Maka tatkala masuk pagi hari, dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda: “Sungguh-sungguh Allah Siubhanahu wa Ta’ala takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.” (Riyadhus Shalihin 569)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum bagaimana mereka saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata. Dan di antara bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka radhiyallahu ‘anhum pada khususnya dan bagi umat secara umum adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu menjelaskan: “Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya yang mukmin, dan dia menginginkan untuk saudaranya sebagaimana dia menginginkan untuk dirinya dari berbagai macam kebaikan. Ini semuanya bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan dengki. Karena penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengharuskan pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang lain dengan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya. Sedangkan keimanan menuntut perkara yang bertolak belakang dengan perkara tersebut. Yaitu dia ingin saudara-saudaranya yang beriman seluruhnya, sama-sama mendapatkan kebaikan yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah berikan kepada dirinya dengan tanpa mengurangi akan haknya. Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji hamba-Nya yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi, di dalam firman-Nya:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash: 83) [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/171]
Berkata sebagian salaf rahimahumullah: “Orang-orang yang mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, maka mereka akan memerhatikan segala sesuatu dengan nur (ilmu) dari Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Mereka akan bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, namun mereka membenci amalan-amalannya. Mereka belas kasihan terhadap ahlul maksiat itu agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka lakukan, karena mereka pun belas kasihan terhadap badan-badan ahlul maksiat kalau disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Maka seharusnya seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan untuk dirinya, dan membenci kejelekan untuk saudaranya sebagaimana dia membenci kejelekan untuk dirinya. Maka apabila dia melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sepantasnya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (di atas) dipahami sesuai dengan keumuman persaudaraan (karena nasab ataupun agama), sehingga mencakup yang muslim maupun yang kafir. Maka seorang muslim itu mencintai untuk saudaranya yang kafir sebagaimana dia mencintai untuk dirinya. Dia mencintai saudaranya agar masuk Islam, sebagaimana dia mencintai untuk saudaranya agar tetap komitmen atau istiqamah dengan Islam. Oleh karena inilah, doa seorang muslim agar saudaranya yang kafir mendapatkan hidayah adalah perkara yang disunnahkan.” (Syarh Matan Arba’in lin Nawawi)
Faktor-faktor yang akan menumbuh-suburkan serta mengokohkan sikap saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata di antaranya:
1. Aqidah yang benar, manhaj (jalan) yang lurus, serta akhlak yang mulia
Dakwah salafiyyah yang mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang menebarkan bibit-bibit saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, dakwah yang menyentuh hati hamba-Nya. Itulah dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang perkara tersebut ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Allah Siubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah yang paling dia cintai daripada kecintaan dia kepada selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang, di mana dia tidaklah mencintainya kecuali karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan dia sangat benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah Siubhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api.”
Para dai yang mengajak umat untuk beraqidah yang shahihah, bermanhaj yang salimah (selamat), dan berakhlak yang jamilah, mereka adalah orang-orang yang paling peduli terhadap umat dan yang paling belas kasih terhadap mereka, sebagaimana firman Allah Siubhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya (sebagai suri tauladan mereka) dengan firman-Nya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara’: 215)

2. Menebarkan salam di antara kaum muslimin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka terdapat di dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa saling mencintai (mahabbah) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala adalah termasuk kesempurnaan iman. Bahwa iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan termasuk sebab-sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam tersebut kepada mereka. Di mana dia mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dia kenal ataukah tidak. Maka inilah di antara sebab yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

3. Saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka perkara yang wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim adalah senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Karena bukan termasuk perkara yang masuk di akal dan bukan pula termasuk adab kebiasaan yang terjadi, seseorang biasa saling membantu bersama orang yang dia tidak mencintainya. Dan tidak mungkin bisa saling membantu (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh karena inilah mahabbah (saling mencintai) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala termasuk sebagian tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

4. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
Nasihat itu maknanya adalah seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya, mengajak, membimbing, menjelaskan, dan mendorong saudaranya tersebut untuk melakukan kebaikan itu. (Syarh Riyadhush Shalihin 1/458)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk pemimpin muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Adapun nasihat bagi kaum muslimin secara keseluruhan adalah kamu mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kamu mencintai kebaikan untuk dirimu. Kamu bimbing mereka kepada kebaikan. Kamu tunjukkan mereka kepada kebenaran apabila mereka tersesat dari kebenaran tersebut. Kamu ingatkan mereka dengan kebenaran kalau mereka lupa. Dan kamu jadikan mereka sebagai saudara-saudaramu. Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Beliau rahimahullahu juga menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa nasihat adalah pembicaraan yang dilakukan antara kamu dengan saudaramu dengan diam-diam. Karena kalau kamu menasihatinya dengan diam-diam, niscaya kamu akan dapat memengaruhinya dalam keadaan dia yakin bahwa kamu adalah pemberi nasihat. Akan tetapi apabila engkau berbicara tentang kekurangan atau kesalahan dia di muka umum, maka rasa egonya bisa menyeret dia untuk berbuat dosa sehingga dia tidak akan menerima nasihat karena dia mengira bahwa yang kamu inginkan hanyalah balas dendam, mencelanya, atau menjatuhkan kedudukannya di hadapan manusia. Sehingga dia tidak mau menerima nasihat. Akan tetapi kalau nasihat tersebut dilakukan dengan diam-diam antara kamu dengan dia, niscaya dia (insya Allah) akan menghargai dan menerimanya.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/465-466)

5. Saling mengunjungi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah Siubhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya: “Kamu hendak pergi ke mana?” Dia menjawab: “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia menjawab: “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala.” Maka malaikat itu menyatakan: “Aku adalah utusan Allah Siubhanahu wa Ta’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah Siubhanahu wa Ta’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim)
Maka perhatikanlah kisah ziarah mubarakah (penuh berkah) yang dilakukan oleh kedua amirul mukminin Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma kepada Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
Abu Bakr berkata kepada ‘Umar setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal: “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana biasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya.” Maka setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis. Keduanya bertanya: “Apa yang menjadikan kamu menangis? Tidakkah kamu yakin bahwa apa yang di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha menjawab: “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka dia menyebabkan keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) menangis. Sehingga mulailah keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim 3454)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ziarah (kunjungan) itu memiliki banyak faedah, di antaranya: akan membuahkan pahala yang besar, melunakkan dan menyatukan hati, mengingatkan saudaranya yang lupa, memperingatkan saudaranya yang lalai, serta mengajarkan ilmu kepada saudaranya yang jahil. Dan di dalamnya ada kebaikan yang banyak. Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/116)
Namun yang harus kita perhatikan dan ingatkan adalah jangan sampai ibadah yang demikian mulianya ini dipalingkan oleh setan sebagai ajang untuk ghibah1 (mengumpat), namimah (adu domba), atau membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya serta belum jelas kebenarannya. Padahal hal-hal inilah yang akan menyusahkan pertanggungjawaban kita di hadapan Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ. حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (Fushshilat: 19-22)
Disamping itu, kita harus menjauhi berbagai macam prasangka jelek terhadap saudara kita dan mencari-cari kelemahannya. Karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Dan jangan kalian mencari-cari kelemahannya. Karena barangsiapa mencari-cari kelemahan saudaranya yang muslim, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan mencari-cari kelemahannya. Dan barangsiapa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala mencari-cari kelemahannya, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Maka yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya adalah menutupi kelemahannya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Maka apabila keadaan darurat tersebut mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia akan melakukannya (demi kepentingan yang syar’i). Akan tetapi kalau bukan karena keadaan darurat, maka yang lebih utama adalah menutupi kekurangan tersebut. Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, di mana al-haq tersamar baginya. Maka kemudian dia berbicara dengan ucapan yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Sedangkan seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

6. Menunaikan hak-hak saudara
Dengan ditunaikannya hak-haknya, maka akan menguatkan ikatan persaudaraan dan kecintaan pada masing-masingnya. Dan adapun sebagian hak-hak seorang muslim yang wajib untuk ditegakkan adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ؛ رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam. Ditanyakan: “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya).”
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, agar Dia melimpahkan hidayah taufiq kepada kita semua untuk menerima segala sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridhai, serta menjadikan kita sebagai da’i yang ikhlas, dan menjauhkan kita dari berbagai macam tipu daya setan dari golongan jin dan manusia. Kita pun memohon hanya kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata untuk melunakkan hati kita dan menyatukannya di atas kebenaran.
Amin ya Rabbal ‘alamin.

1 Silakan para pembaca menyimak kembali: Nikmat Lisan untuk Apa Kita Gunakan? (Asy Syariah Vol. V/No. 52/1430 H/2009 hal. 40) bahaya dari ghibah, namimah, dan berbicara yang tidak ada faedahnya.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=886
Di dalam Al-Qur’an, Allah Siubhanahu wa Ta’ala banyak memuji para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang mana mereka adalah murid-murid Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga telah menyebutkan dan menceritakan tentang keutamaan-keutamaan mereka di dalam kitab Taurat dan Injil. Sebagaimana di dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللهِ وَرِضْوَانًا سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ ذَلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنْجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَى عَلَى سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ الْكُفَّارَ وَعَدَ اللهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengannya adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya. Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang shalih di antara mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al-Fath: 29)
Mereka adalah generasi yang mendapatkan keutamaan-keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh generasi-generasi sebelum maupun sesudahnya. Generasi yang terbaik setelah para nabi dan para rasul ‘alaihimussalam.
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar.” (At-Taubah: 100)
Oleh karena itulah Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan kita untuk beriman sebagaimana keimanan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terekam dalam firman-Nya:
فَإِنْ ءَامَنُوا بِمِثْلِ مَا ءَامَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ فَسَيَكْفِيكَهُمُ اللهُ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Maka jika mereka beriman kepada apa yang kamu telah beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk. Dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka berada dalam permusuhan (dengan kamu). Maka Allah akan memelihara kamu dari mereka. Dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” (Al-Baqarah: 137)
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, serta ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Ku-beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (Luqman: 15)
Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullahu mengatakan: “Dan seluruh sahabat radhiyallahu ‘anhum adalah orang-orang yang kembali kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Maka wajib untuk mengikuti jalan, ucapan-ucapan, dan keyakinan mereka. Ini adalah perkara yang paling besarnya.” (I’lamul Muwaqqi’in 4/120)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala melalui lisan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kita untuk berdoa dalam setiap rakaat agar kita mendapatkan hidayah ke jalan mereka radhiyallahu ‘anhum, yang telah mengantarkan mereka untuk mendapatkan kenikmatan ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shalih.
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ. صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka.” (Al-Fatihah: 6-7)
Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata: “Barangsiapa yang mengikuti/meneladani, maka hendaknya dia meneladani orang yang telah mati. Yaitu mereka para sahabat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adalah generasi terbaiknya umat ini. Hati-hati mereka paling bersih. Ilmunya paling dalam dan yang paling sedikit takallufnya (membebani diri). Yaitu kaum yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah memilih mereka untuk menjadi para sahabat nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka (berjalan) di atas petunjuk yang lurus, demi Allah Siubhanahu wa Ta’ala Dzat yang memiliki Ka’bah.”
Allah Siubhanahu wa Ta’ala juga menyatakan bahwa mengikuti jalan dan pemahaman yang tidak dijalani dan tidak dimiliki oleh para sahabat adalah kesesatan.
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu, dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisa’: 115)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan dengan jelas dan tegas bahwa tidak ada jalan yang selamat kecuali jalan yang ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Terkhusus pada zaman-zaman di mana merebak berbagai macam fitnah yang bersumber dari syubhat dan syahwat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ الْمَهْدِيِّينَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Maka barangsiapa yang hidup di antara kalian niscaya akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah Al-Khulafa’ Ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Peganglah dia dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian.”
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Ini adalah berita dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perkara yang pasti terjadi pada umatnya setelah beliau meninggal. Yaitu, banyak terjadi perselisihan di dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, di dalam ucapan, perbuatan, maupun keyakinan. Dan hal ini sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang perpecahan yang akan terjadi pada umatnya menjadi 73 golongan, semuanya di dalam neraka kecuali satu golongan. Golongan tersebut adalah siapa saja yang berada di atas jalan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ‘anhum di atasnya.
Dan demikianlah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits ini memerintahkan agar kita berpegang teguh dengan Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ Ar-Rasyidin setelah beliau meninggal. Maka hal ini mencakup seluruh perkara yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para khalifahnya di atasnya, baik berupa keyakinan, amalan, maupun ucapan. Inilah sunnah yang sempurna.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 2/120)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji jiwa pendidik dan sifat rahmah yang ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umatnya agar kita meneladani beliau di dalam dakwah dan tarbiyah yang kita tegakkan, sehingga kita mendapatkan keberhasilan dan kesuksesan.
لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.” (At-Taubah: 128)
Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَثَلِي وَمَثَلُكُمْ كَمَثَلِ رَجُلٍ أَوْقَدَ نَارًا فَجَعَلَ الْجَنَادِبُ وَالْفَرَاشُ يَقَعْنَ فِيهَا وَهُوَ يَذُبُّهُنَّ عَنْهَا وَأَنَا آخِذٌ بِحُجَزِكُمْ عَنْ النَّارِ وَأَنْتُمْ تَفَلَّتُونَ مِنْ يَدِي
“Permisalan antara aku dan kalian seperti orang yang menyalakan api (di malam hari di tempat yang terbuka). Maka mulailah serangga-serangga dan anai-anai masuk ke dalam api tersebut padahal orang itu telah menghalaunya (agar tidak masuk ke dalam api). Dan aku pegangi pinggang-pinggang kalian supaya kalian tidak masuk ke dalam api neraka. Sedangkan kalian senantiasa berusaha untuk melepaskan diri dari tanganku.” (HR. Muslim)
Para sahabat radhiyallahu ‘anhum yang dibimbing dan dididik oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara langsung, dengan izin Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata, mereka menjadi generasi yang terbaik dalam keilmuan dan amalan. Mereka adalah generasi yang dimuliakan dan didamba-dambakan. Kalau kita membaca kisah-kisah yang shahih tentang mereka, tentu kita akan mendapatkan berbagai macam bimbingan dan pelajaran yang menakjubkan.
Di antara ciri-ciri khas yang paling menonjol dalam kehidupan muamalah di antara mereka adalah sikap saling mencintai (tahabub) dan saling merahmati (tarahum). Sebagaimana apa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala firmankan tentang mereka:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ
“Muhammad itu adalah utusan Allah. Dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا مَنْ يَرْتَدَّ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَسَوْفَ يَأْتِي اللهُ بِقَوْمٍ يُحِبُّهُمْ وَيُحِبُّونَهُ أَذِلَّةٍ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (Al-Ma’idah: 54)
Yaitu kehidupan yang Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membuat permisalan tentangnya seperti satu tubuh, sebagaimana dalam sabdanya:
مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى
“Permisalan orang-orang yang beriman dalam cinta-mencintai, rahmat-merahmati, dan sayang-menyayangi di antara mereka seperti satu tubuh. Apabila salah satu anggota tubuh merintih, niscaya seluruh anggota tubuh yang lain akan turut merasakannya dengan tidak bisa tidur pada malam hari dan rasa demam badannya.” (Muttafaq ‘alaih dari An-Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala menceritakan tentang bukti kecintaan Al-Anshar terhadap Muhajirin radhiyallahu ‘anhum di dalam firman-Nya:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha penyantun lagi Maha penyayang’.” (Al-Hasyr: 9-10)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian dia berkata:
“Sesungguhnya aku orang yang fakir (dan dalam kesulitan hidup).” Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus utusan kepada sebagian istri beliau, maka istri beliau menjawab: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.” Kemudian beliau mengutus ke istri yang lainnya, maka istri tersebut menjawab dengan jawaban yang sama. Sehingga istri-istri beliau semuanya menjawab dengan jawaban yang sama: “Demi Dzat yang mengutusmu dengan membawa kebenaran, saya tidak memiliki kecuali air minum.”
Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Siapa yang akan menjamu tamu ini?” Maka ada seorang Anshar menjawab: “Saya, wahai Rasulullah.” Dia lalu berangkat bersama dengan tamu tersebut ke rumahnya. Kemudian dia berkata kepada istrinya: “Muliakanlah tamu Rasulullah ini!”
Dalam riwayat yang lain dia berkata kepada istrinya: “Apakah kamu memiliki sesuatu?” Istrinya menjawab: “Tidak, kecuali makan malam anak-anak kita.”
Dia berkata: “Beri mereka (anak-anak) sesuatu yang membuat mereka lupa. Apabila mereka ingin makan malam, tidurkanlah mereka. Dan apabila tamu kita telah masuk, matikan pelita dan tampakkanlah bahwa kita telah makan!”
Kemudian anak-anak mereka tidur dan tamu tersebut makan, sehingga suami istri tersebut tidur dalam keadaan lapar. Maka tatkala masuk pagi hari, dia datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda: “Sungguh-sungguh Allah Siubhanahu wa Ta’ala takjub dengan perbuatan kalian terhadap tamu tersebut tadi malam.” (Riyadhus Shalihin 569)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa membimbing, menuntun, dan mengarahkan para sahabat radhiyallahu ‘anhum bagaimana mereka saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata. Dan di antara bimbingan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap mereka radhiyallahu ‘anhum pada khususnya dan bagi umat secara umum adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidak sempurna keimanan salah seorang di antara kalian, sampai dia mencintai untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai untuk dirinya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu menjelaskan: “Dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu terdapat dalil yang menunjukkan bahwa seorang mukmin akan senang terhadap segala sesuatu yang menyenangkan saudaranya yang mukmin, dan dia menginginkan untuk saudaranya sebagaimana dia menginginkan untuk dirinya dari berbagai macam kebaikan. Ini semuanya bersumber dari hati yang selamat dari penyakit khianat, iri, dan dengki. Karena penyakit hasad (iri dan dengki) akan mengharuskan pemiliknya untuk membenci orang yang mengungguli dia dalam kebaikan atau menyamainya. Dia ingin menjadi orang yang berbeda dengan orang lain dengan keutamaan-keutamaan yang ada pada dirinya. Sedangkan keimanan menuntut perkara yang bertolak belakang dengan perkara tersebut. Yaitu dia ingin saudara-saudaranya yang beriman seluruhnya, sama-sama mendapatkan kebaikan yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala telah berikan kepada dirinya dengan tanpa mengurangi akan haknya. Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memuji hamba-Nya yang tidak menginginkan kesombongan dan kerusakan di muka bumi, di dalam firman-Nya:
تِلْكَ الدَّارُ الْآخِرَةُ نَجْعَلُهَا لِلَّذِينَ لَا يُرِيدُونَ عُلُوًّا فِي الْأَرْضِ وَلَا فَسَادًا
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” (Al-Qashash: 83) [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/171]
Berkata sebagian salaf rahimahumullah: “Orang-orang yang mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, maka mereka akan memerhatikan segala sesuatu dengan nur (ilmu) dari Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Mereka akan bersikap belas kasih terhadap orang-orang yang bermaksiat kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, namun mereka membenci amalan-amalannya. Mereka belas kasihan terhadap ahlul maksiat itu agar meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut dengan nasihat-nasihat yang mereka lakukan, karena mereka pun belas kasihan terhadap badan-badan ahlul maksiat kalau disentuh api neraka.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullahu berkata: “Maka seharusnya seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya sebagaimana dia mencintai kebaikan untuk dirinya, dan membenci kejelekan untuk saudaranya sebagaimana dia membenci kejelekan untuk dirinya. Maka apabila dia melihat kekurangan atau kesalahan pada saudaranya yang muslim, niscaya dia akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk memperbaiki.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/172)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata: “Sepantasnya hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu (di atas) dipahami sesuai dengan keumuman persaudaraan (karena nasab ataupun agama), sehingga mencakup yang muslim maupun yang kafir. Maka seorang muslim itu mencintai untuk saudaranya yang kafir sebagaimana dia mencintai untuk dirinya. Dia mencintai saudaranya agar masuk Islam, sebagaimana dia mencintai untuk saudaranya agar tetap komitmen atau istiqamah dengan Islam. Oleh karena inilah, doa seorang muslim agar saudaranya yang kafir mendapatkan hidayah adalah perkara yang disunnahkan.” (Syarh Matan Arba’in lin Nawawi)
Faktor-faktor yang akan menumbuh-suburkan serta mengokohkan sikap saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata di antaranya:
1. Aqidah yang benar, manhaj (jalan) yang lurus, serta akhlak yang mulia
Dakwah salafiyyah yang mencontoh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah dakwah yang menebarkan bibit-bibit saling merahmati dan saling mencintai karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala, dakwah yang menyentuh hati hamba-Nya. Itulah dakwah yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiyallahu ‘anhum, sebagaimana firman-Nya:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu darinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali ‘Imran: 103)
Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ؛ أَنْ يَكُونَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
“Ada tiga perkara, barangsiapa yang perkara tersebut ada pada dirinya, niscaya dia akan mendapatkan manisnya iman. Allah Siubhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya adalah yang paling dia cintai daripada kecintaan dia kepada selain keduanya. Dan dia mencintai seseorang, di mana dia tidaklah mencintainya kecuali karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan dia sangat benci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah Siubhanahu wa Ta’ala menyelamatkannya dari kekafiran tersebut, sebagaimana dia sangat benci untuk dilemparkan ke dalam api.”
Para dai yang mengajak umat untuk beraqidah yang shahihah, bermanhaj yang salimah (selamat), dan berakhlak yang jamilah, mereka adalah orang-orang yang paling peduli terhadap umat dan yang paling belas kasih terhadap mereka, sebagaimana firman Allah Siubhanahu wa Ta’ala:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: ‘Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?’.” (Fushshilat: 33)
Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala memerintahkan Rasul-Nya (sebagai suri tauladan mereka) dengan firman-Nya:
وَاخْفِضْ جَنَاحَكَ لِمَنِ اتَّبَعَكَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman.” (Asy-Syu’ara’: 215)

2. Menebarkan salam di antara kaum muslimin
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَدْخُلُوا الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوا وَلَا تُؤْمِنُوا حَتَّى تَحَابُّوا، أَوَ لَا أَدُلُّكُمْ عَلَى شَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلَامَ بَيْنَكُمْ
“Kalian tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Dan kalian tidak akan beriman (dengan iman yang sempurna) sampai kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu, yang apabila kalian melakukannya niscaya kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.” (HR. Muslim)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka terdapat di dalam hadits ini dalil yang menunjukkan bahwa saling mencintai (mahabbah) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala adalah termasuk kesempurnaan iman. Bahwa iman seorang hamba tidak akan sempurna sampai dia mencintai saudaranya karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Dan termasuk sebab-sebab yang akan menumbuhkan kecintaan adalah menebarkan salam di antara saudara-saudaranya muslim, yaitu menampakkan salam tersebut kepada mereka. Di mana dia mengucapkan salam kepada orang yang dijumpainya, baik dia kenal ataukah tidak. Maka inilah di antara sebab yang akan menumbuhkan mahabbah.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

3. Saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (Al-Ma’idah: 2)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Dan Allah Siubhanahu wa Ta’ala senantiasa menolong hamba selama hamba tersebut berusaha menolong saudaranya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Maka perkara yang wajib untuk dilakukan oleh seorang muslim adalah senantiasa berusaha melakukan sebab-sebab yang akan menumbuhkan kasih sayang di antara kaum muslimin. Karena bukan termasuk perkara yang masuk di akal dan bukan pula termasuk adab kebiasaan yang terjadi, seseorang biasa saling membantu bersama orang yang dia tidak mencintainya. Dan tidak mungkin bisa saling membantu (ta’awun) dalam kebaikan dan ketakwaan kecuali dengan sebab saling mencintai. Oleh karena inilah mahabbah (saling mencintai) karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala termasuk sebagian tanda kesempurnaan iman.” (Syarh Riyadhush Shalihin 2/127)

4. Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran
Nasihat itu maknanya adalah seorang muslim mencintai kebaikan untuk saudaranya, mengajak, membimbing, menjelaskan, dan mendorong saudaranya tersebut untuk melakukan kebaikan itu. (Syarh Riyadhush Shalihin 1/458)
Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ
“Dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasihati supaya menetapi kesabaran.” (Al-’Ashr: 3)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ. قُلْنَا: لِمَنْ؟ قَالَ: لِلهِ، وَلِكِتَابِهِ، وَلِرَسُولِهِ، وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya: “Untuk siapa?” Beliau bersabda: “Untuk Allah, untuk kitab-Nya, untuk Rasul-Nya, dan untuk pemimpin muslimin serta orang-orang awamnya.” (HR. Muslim dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus Ad-Dari radhiyallahu ‘anhu)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Adapun nasihat bagi kaum muslimin secara keseluruhan adalah kamu mencintai kebaikan untuk mereka sebagaimana kamu mencintai kebaikan untuk dirimu. Kamu bimbing mereka kepada kebaikan. Kamu tunjukkan mereka kepada kebenaran apabila mereka tersesat dari kebenaran tersebut. Kamu ingatkan mereka dengan kebenaran kalau mereka lupa. Dan kamu jadikan mereka sebagai saudara-saudaramu. Karena Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya.” (Muttafaq ‘alaih dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma)
Beliau rahimahullahu juga menyatakan: “Dan ketahuilah bahwa nasihat adalah pembicaraan yang dilakukan antara kamu dengan saudaramu dengan diam-diam. Karena kalau kamu menasihatinya dengan diam-diam, niscaya kamu akan dapat memengaruhinya dalam keadaan dia yakin bahwa kamu adalah pemberi nasihat. Akan tetapi apabila engkau berbicara tentang kekurangan atau kesalahan dia di muka umum, maka rasa egonya bisa menyeret dia untuk berbuat dosa sehingga dia tidak akan menerima nasihat karena dia mengira bahwa yang kamu inginkan hanyalah balas dendam, mencelanya, atau menjatuhkan kedudukannya di hadapan manusia. Sehingga dia tidak mau menerima nasihat. Akan tetapi kalau nasihat tersebut dilakukan dengan diam-diam antara kamu dengan dia, niscaya dia (insya Allah) akan menghargai dan menerimanya.” (Syarh Riyadhush Shalihin 1/465-466)

5. Saling mengunjungi
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَنَّ رَجُلًا زَارَ أَخًا لَهُ فِي قَرْيَةٍ أُخْرَى فَأَرْصَدَ اللهُ لَهُ عَلَى مَدْرَجَتِهِ مَلَكًا، فَلَمَّا أَتَى عَلَيْهِ قَالَ: أَيْنَ تُرِيدُ؟ قَالَ: أُرِيدُ أَخًا لِي فِي هَذِهِ الْقَرْيَةِ. قَالَ: هَلْ لَكَ عَلَيْهِ مِنْ نِعْمَةٍ تَرُبُّهَا؟ قَالَ: لَا غَيْرَ أَنِّي أَحْبَبْتُهُ فِي اللهِ عَزَّ وَجَلَّ. قَالَ: فَإِنِّي رَسُولُ اللهِ إِلَيْكَ بِأَنَّ اللهَ قَدْ أَحَبَّكَ كَمَا أَحْبَبْتَهُ فِيهِ
Ada seseorang mengunjungi saudaranya di sebuah desa. Maka Allah Siubhanahu wa Ta’ala mengutus malaikat-Nya untuk menjaganya di dalam perjalanannya. Maka tatkala malaikat tersebut menemuinya, malaikat itu bertanya: “Kamu hendak pergi ke mana?” Dia menjawab: “Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini.” Malaikat itu bertanya lagi: “Apakah kamu memiliki suatu kenikmatan yang bisa diberikan kepadanya?” Dia menjawab: “Tidak. Hanya saja aku mencintai dia karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala.” Maka malaikat itu menyatakan: “Aku adalah utusan Allah Siubhanahu wa Ta’ala kepadamu (untuk mengabarkan kepadamu) bahwa Allah Siubhanahu wa Ta’ala sungguh mencintaimu sebagaimana kamu mencintainya karena-Nya.” (HR. Muslim)
Maka perhatikanlah kisah ziarah mubarakah (penuh berkah) yang dilakukan oleh kedua amirul mukminin Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma kepada Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:
Abu Bakr berkata kepada ‘Umar setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal: “Berangkatlah bersama kami mengunjungi Ummu Aiman sebagaimana biasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengunjunginya.” Maka setelah keduanya sampai, Ummu Aiman menangis. Keduanya bertanya: “Apa yang menjadikan kamu menangis? Tidakkah kamu yakin bahwa apa yang di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Ummu Aiman radhiyallahu ‘anha menjawab: “Aku menangis bukan karena aku tidak meyakini bahwa apa yang ada di sisi Allah Siubhanahu wa Ta’ala itu lebih baik bagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Akan tetapi aku menangis karena wahyu telah terputus dari langit.” Maka dia menyebabkan keduanya (Abu Bakr dan ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma) menangis. Sehingga mulailah keduanya menangis bersamanya. (HR. Muslim 3454)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullahu berkata: “Ziarah (kunjungan) itu memiliki banyak faedah, di antaranya: akan membuahkan pahala yang besar, melunakkan dan menyatukan hati, mengingatkan saudaranya yang lupa, memperingatkan saudaranya yang lalai, serta mengajarkan ilmu kepada saudaranya yang jahil. Dan di dalamnya ada kebaikan yang banyak. Orang yang mengamalkannya akan mengetahui kebaikan tersebut.” (Syarh Riyadhush Shalihin, 2/116)
Namun yang harus kita perhatikan dan ingatkan adalah jangan sampai ibadah yang demikian mulianya ini dipalingkan oleh setan sebagai ajang untuk ghibah1 (mengumpat), namimah (adu domba), atau membicarakan hal-hal yang tidak ada faedahnya serta belum jelas kebenarannya. Padahal hal-hal inilah yang akan menyusahkan pertanggungjawaban kita di hadapan Allah Siubhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana firman-Nya:
وَيَوْمَ يُحْشَرُ أَعْدَاءُ اللهِ إِلَى النَّارِ فَهُمْ يُوزَعُونَ. حَتَّى إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ. وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا قَالُوا أَنْطَقَنَا اللهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ. وَمَا كُنْتُمْ تَسْتَتِرُونَ أَنْ يَشْهَدَ عَلَيْكُمْ سَمْعُكُمْ وَلَا أَبْصَارُكُمْ وَلَا جُلُودُكُمْ وَلَكِنْ ظَنَنْتُمْ أَنَّ اللهَ لَا يَعْلَمُ كَثِيرًا مِمَّا تَعْمَلُونَ
Dan (ingatlah) hari (ketika) musuh-musuh Allah digiring ke dalam neraka lalu mereka dikumpulkan (semuanya). Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan, dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan mereka berkata kepada kulit mereka: “Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?” Kulit mereka menjawab: “Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dia-lah yang menciptakan kamu pada kali yang pertama dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan. Kamu sekali-kali tidak dapat bersembunyi dari persaksian pendengaran, penglihatan dan kulitmu terhadapmu bahkan kamu mengira bahwa Allah tidak mengetahui kebanyakan dari apa yang kamu kerjakan. (Fushshilat: 19-22)
Disamping itu, kita harus menjauhi berbagai macam prasangka jelek terhadap saudara kita dan mencari-cari kelemahannya. Karena Allah Siubhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha penerima taubat lagi Maha penyayang.” (Al-Hujurat: 12)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ الْإِيمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لَا تُؤْذُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تُعَيِّرُوهُمْ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang telah masuk Islam dengan lisannya dalam keadaan imannya belum masuk ke dalam hatinya. Jangan kalian menyakiti orang-orang muslim. Jangan kalian merendahkan mereka. Dan jangan kalian mencari-cari kelemahannya. Karena barangsiapa mencari-cari kelemahan saudaranya yang muslim, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan mencari-cari kelemahannya. Dan barangsiapa yang Allah Siubhanahu wa Ta’ala mencari-cari kelemahannya, niscaya Allah Siubhanahu wa Ta’ala akan membongkar kelemahan atau kekurangannya walaupun dia berada di dalam rumahnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032)
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullahu berkata: “Termasuk tabiat manusia biasa, ada pada dirinya kekurangan, kelemahan, dan kesalahan. Maka yang wajib bagi seorang muslim terhadap saudaranya adalah menutupi kelemahannya dan tidak menyebarkan kelemahan tersebut kecuali dalam keadaan darurat. Maka apabila keadaan darurat tersebut mengharuskan untuk membongkar aibnya dan menyebarkannya, niscaya dia akan melakukannya (demi kepentingan yang syar’i). Akan tetapi kalau bukan karena keadaan darurat, maka yang lebih utama adalah menutupi kekurangan tersebut. Dia adalah manusia biasa. Barangkali dia berbuat salah karena dorongan syahwat atau syubhat yang ada pada dirinya, di mana al-haq tersamar baginya. Maka kemudian dia berbicara dengan ucapan yang batil atau melakukan perbuatan yang menyimpang. Sedangkan seorang mukmin diperintahkan untuk menutupi kekurangan saudaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
لَا يَسْتُرُ عَبْدٌ عَبْدًا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah seorang hamba menutupi kekurangan hamba yang lainnya di dunia kecuali Allah akan menutupi kekurangan atau kesalahan dia pada hari kiamat.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

6. Menunaikan hak-hak saudara
Dengan ditunaikannya hak-haknya, maka akan menguatkan ikatan persaudaraan dan kecintaan pada masing-masingnya. Dan adapun sebagian hak-hak seorang muslim yang wajib untuk ditegakkan adalah sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ خَمْسٌ؛ رَدُّ السَّلَامِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ، وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ، وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada lima: membalas salam, menjenguk orang sakit, mengikuti jenazah, memenuhi undangan, dan menjawab orang yang bersin.”
Dalam riwayat Muslim:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ سِتٌّ. قِيلَ: مَا هُنَّ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا لَقِيتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ، وَإِذَا اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَسَمِّتْهُ، وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ، وَإِذَا مَاتَ فَاتَّبِعْهُ
“Hak seorang muslim atas muslim lainnya ada enam. Ditanyakan: “Apa saja wahai Rasulullah?” Beliau berkata: “Bila engkau bertemu dengannya maka ucapkanlah salam kepadanya, bila dia mengundangmu maka penuhilah undangannya, bila dia meminta nasihat maka berilah dia nasihat, bila dia bersin lalu memuji Allah maka jawablah, bila dia sakit maka jenguklah, dan bila dia mati maka ikutilah (jenazahnya).”
Akhirnya, kita memohon kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala, agar Dia melimpahkan hidayah taufiq kepada kita semua untuk menerima segala sesuatu yang Dia cintai dan Dia ridhai, serta menjadikan kita sebagai da’i yang ikhlas, dan menjauhkan kita dari berbagai macam tipu daya setan dari golongan jin dan manusia. Kita pun memohon hanya kepada Allah Siubhanahu wa Ta’ala semata untuk melunakkan hati kita dan menyatukannya di atas kebenaran.
Amin ya Rabbal ‘alamin.

1 Silakan para pembaca menyimak kembali: Nikmat Lisan untuk Apa Kita Gunakan? (Asy Syariah Vol. V/No. 52/1430 H/2009 hal. 40) bahaya dari ghibah, namimah, dan berbicara yang tidak ada faedahnya.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=886