Jumat, Desember 31, 2010

Mengapa Musibah Terus Mendera?

Oleh
Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al Halabi

_______________________________________________________________________

Pembaca budiman,
Alhamdulillah, kaum muslimin di negeri kita kembali mendapatkan muhibah Masyayikh Yordania, yaitu Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari Hafizhahullah dan Fadhilatusy-Syaikh Salim bin Id al-Hilali Hafizhahullah.

Beliau berdua telah menyampaikan muhadharah dengan tema sebab-sebab turunnya musibah dan adzab,serta jalan keluarnya, dilangsungkan di Masjid Istiqlal, Jakarta, hari Sabtu 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M. Tema ini sengaja diangkat, untuk mengingatkan segenap kaum Muslimin, agar berintrospeksi diri, bahwa banyaknya musibah, tidak lain karena kebodohan terhadap din (agama) dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Sehingga untuk itu solusinya, tidak lain kecuali dengan ilmu dan selalu ber-ittiba kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Berikut ini adalah ceramah Fadhilatusy-Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari Hafizhahullah:
_______________________________________________________________________

Sesungguhnya kami memuji Allah Tabaraka wa Ta'ala atas apa yang telah Dia siapkan, berupa kesempatan yang baik ini. Yaitu, kami berkumpul di dalam kesempatan ini dengan ikhwan kami seagama dan dalam satu manhaj (jalan); mengikuti Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, serta pemahaman para Salaf yang shalih. Walaupun kita berada dalam batas geografi yang berbeda, dan tempat yang saling berjauhan, namun kemuliaan manhaj ini, kesempurnaan dan kebaikannya, tidaklah memecah-belah antar kita. Maka, jadilah pertemuan ini dalam bagian sejumlah perjumpaan yang telah mengumpulkan kami bersama saudara-saudara kami di negara ini, sejak beberapa tahun yang lalu, lewat ceramah-ceramah dan kajian-kajian ilmiah bersama. Kami bersyukur kepada Allah Rabbil 'Alamin atas nikmat ini. Betapa berharganya kenikmatan ini.

Rasa terima kasih juga kami haturkan kepada orang-orang yang memiliki jasa (andil) yang diberkahi dalam mengatur dan menyiapkan pertemuan-pertemuan ini. Khususnya, saudara-saudara (panitia) atau Ta'mir Masjid Istiqlal yang telah memberikan kesempatan ini. Dan ini termasuk dalam bingkai saling menolong yang terpuji secara syar'i. Allah Ta'ala berfirman :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa” [al- Maidah : 2]

Maka kami ucapkan kepada mereka terima kasih yang banyak. Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لايثكر الله من لا يثكر البا س

“Orang yang tidak bisa berterima kasih kepada manusia, dia tidak akan bisa bersyukur kepada Allah” [1]

Karena itu, ungkapan syukur kita kepada orang yang berhak menerimanya [2], merupakan bentuk syukur kepada Allah. Allah Ta'ala berfirman:

لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu” [Ibrahim : 7].

Selanjutnya, syukur kita kepada Rabb kita, akan menambah nikmat Rabb kita kepada kita, dan memperbanyak karunia-Nya kepada kita. Allah Ta’ala berfirman :

وَمَا بِكُم مِّن نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ

“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” [an-Nahl : 53]

Dan sebagaimana firman-Nya:

وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا

“Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya” [an-Nahl :18]

Jauhnya jarak kita dari sikap syukur kepada Rabb, menjadi ukuran sejauh mana keburukan, celaka dan kesesatan serta perbuatan jelek yang melanda umat, sehingga Allah menimpakan adzab-adzab-Nya. Sebuah siksaan yang hampir-hampir tidak akan hilang, kecuali dengan kembali sepenuhnya kepada agama Allah, mensyukuri nikmat-Nya kembali, dan memperbaharui kepada keteguhan di atas perintah Allah Azza wa Jalla.

Karena, syukur nikmat merupakan sebab turunnya rahmat Allah, dan jalan menuju keridhaan-Nya. Sebaliknya, mengingkari nikmat menjadi faktor pencetus datangnya siksa dan merupakan jalan menuju kemurkaan-Nya. Selanjutnya, siksaan dan kemurkaan-Nya ini pasti akan menyebabkan umat menjadi lemah, terbelakang, dan terpuruk.

Orang yang melihat sembari merenung, dan orang yang memperhatikan sambil berpikir, akan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa kondisi umat ini, umat Islam, pada zaman ini, berada dalam kehinaan dan tidak lurus. Umat Islam berada atau hampir berada di bagian belakang kafilah, setelah dahulunya mereka menjadi pengendali dan terdepan [3]. Padahal, umat Islam adalah umat yang memiliki harta kekayaan, sumber daya manusia, fasilitas-fasilitas, kuantitas yang banyak, dan potensi-potensi.

Akan tetapi, kemunduran masih terus terjadi, menjadi umat yang paling rendah, terlemah dan terburuk. Mereka dikuasai (musuh), seolah-olah pedang berada di atas leher (mereka). Apakah sebabnya? Apakah penyakitnya? Dan apakah obat penyembuhnya?

Tidak mungkin yang menjadi penyakitnya adalah karena sedikitnya harta, atau kekurangan sumber daya manusia, maupun sedikitnya sumber penghasilan. Karena, semua ini melimpah. Jadi, apakah sebenarnya penyakit umat ini? Adakah jalan untuk mengetahui obatnya, hingga bisa dimanfaatkan, dan digunakan, selanjutnya kita pun bisa keluar dari keadaan-keadaan yang berat dan susah ini, keadaan yang buruk, yang sedang menyelimuti umat ini dan hampir-hampir tidak bisa lepas darinya, kecuali dengan curahan taufik Allah Azza wa Jalla bagi umat ini.

Wahai saudara-saudara seagama,
Kenyataannya memang pahit. Sesungguhnya, ada beberapa sebab dan bermacam-macam penyakit, hal itulah yang menjerumuskan umat ke dalam musibah-musibah, bencana-bencana dan ujian-ujian ini. Umat tidak akan dapat keluar dan melepaskan diri dari semua musibah ini, kecuali dengan taufik Allah Azza wa Jalla , dengan tambahan karunia dan kenikmatan dari-Nya.

Permasalahan besar seperti ini tidak mungkin diselesaikan secara parsial, hanya melalui seminar-seminar, ceramah, kajian, dengan satu atau beberapa kalimat. Semua ini kami sampaikan, untuk tujuan saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, dalam rangka mengajak untuk berpegang teguh dengan tali Allah, dalam upaya menjalin ta'awun (saling menolong) di atas kebajikan dan takwa. Maka, kami ingin mengatakan sebagai peringatan, sesungguhnya sebab-sebab yang telah menjerumuskan umat ini ke dalam belitan bencana dan ujian ini banyak, bahkan sangat beragam. Akan tetapi, secara global bermuara pada dua bahaya besar yang telah menimpa agama umat ini. Padahal, agama merupakan sebab kelestarian umat ini, petunjuk bagi umat dalam menangani urusan mereka. Bila penyebab ini tiada, maka pengaruhnya pun sirna.

Saya hanya ingin menyebutkan dua penyakit saja, yang pertama adalah penyakit kebodohan, tidak mengerti din (agama); dan tidak mengetahui syari'at Rabbul 'Alamin. Saya akan menyebutkan sebagian dalil-dalil tentang hal ini, insya Allah.

Dalam Shahihain (dua kitab Shahih), Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim, dari sahabat yang agung, ‘Abdullah bin 'Amr bin al 'Ash, dia mengatakan: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu (dari manusia) secara langsung, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mematikan ulama. Sehingga ketika tidak tersisa seorang 'alimpun, orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh, lalu orang-orang bertanya kepada mereka, lalu mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan” [4]

Mereka (para pemimpin yang bodoh itu) menjadi orang-orang yang sesat atas ulah mereka ini. Tidak hanya sampai di sini saja, bahkan mereka juga menjadi orang-orang menyesatkan. Jadi, petunjuk hadits ini begitu jelas, maknanya sangat gamblang, bahwa kedangkalan ilmu (agama) dan berkurangnya jumlah ulama (yang baik) termasuk penyakit terbesar dan penyakit terparah yang menimpa umat di halaman rumahnya sendiri, dan menimpa penduduknya, terutama cengkeraman musuh (atas diri kita).

Wahai saudara-saudaraku.
Sungguh, mengetahui penyakit ini akan membuat kita berhasil mengetahui inti dari permasalahan ini, sehingga kita akan memahaminya berdasarkan ilmu, agama, dan realita, untuk mengetahui penyakit dan obatnya; daripada mengkaji satu masalah yang tidak benar atau mengungkap sesuatu yang tidak sesuai fakta. Jika demikian, justru penyakit itu akan semakin parah, dan pemberian obatnya pun keliru. Dampaknya, umat tidak akan merasakan manfaatnya, bahkan musibah dan ujian akan semakin meningkat.

Ilmu syar'i (agama) yang sarat kebijaksanaan ini bukanlah ibarat hiburan, dan bukan pula perkara yang hukumnya sekedar mustahab (dianjurkan) saja. Akan tetapi hukumnya adalah fardhu 'ain (kewajiban individu) atas setiap muslim, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

طلب العلم فر يضة على كل مسلم

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim”.

Dan tidak diragukan lagi, bahwa kata muslim (dalam hadits ini, Red.) mencakup laki-laki dan wanita. Oleh karena itu, ilmu syar'i merupakan tonggak umat, memiliki peran serta dan penjaga eksistensinya. Allah Ta'ala berfirman:

هُوَ الَّذِي يُرِيكُمُ الْبَرْقَ خَوْفًا وَطَمَعًا وَيُنشِئُ السَّحَابَ الثِّقَالَ

“Artinya : Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”[ar-Ra'd :11]

Sungguh, Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum, yang sebelumnya memiliki kemuliaan, ketahanan, kekuatan, dan memiliki peran, serta keteguhan, menjadi kaum yang lemah, penuh kekurangan, tercabik-cabik dan terpuruk, sampai mereka sendiri mau merubah keadaan yang ada pada diri mereka, yang berupa gejala-gejala buruk dalam menyikapi agama. Yang terburuk adalah kebodohan (terhadap agama), dan yang paling parah yaitu kedangkalan ilmu, sampai mereka kembali kepada masa lalunya yang mulia dan reputasinya terdahulu.

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan kejadian ini, mengisyaratkan kepada kenyataan, yang tidak ada seorang pun yang menolaknya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Artinya : Sesungguhnya menjelang hari Kiamat terdapat tahun-tahun yang menipu, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang terpercaya dianggap khianat, orang yang berdusta dipercaya, orang yang jujur didustakan, dan ruwaibidhah akan berbicara,” para sahabat bertanya,"Apakah ruwaibidhah, wahai Rasulullah?" Beliau menjawab,"Seorang yang hina dan bodoh berbicara tentang urusan orang banyak".[5]

Seorang yang tafih/safih (hina, bodoh) ini, tanda dan sifat pertamanya adalah bodoh, tidak memiliki ilmu dan tidak memiliki pemahaman. Maka, marilah kita renungkan keadaan tabib (dokter) ini, dia mengobati orang lain, padahal dia sendiri sakit. Nabi n bersabda tentang tabib yang mengobati badan :

Barangsiapa mengobati, sedangkan dia (sebelumnya) tidak dikenal (dengan) keahlian dalam pengobatan, maka dia menanggung.[6].

(Jika ini berkaitan dengan masalah pengobatan jasmani, Red.), maka bagaimana dengan terapi pengobatan (yang berhubungan dengan masalah-masalah) agama? Bagaimana mereka ini (berani) mengeluarkan fatwa kepada umat, berupa fatwa-fatwa yang menenggelamkan umat dalam kelalaian dan menambah keterpurukannya, serta menghalangi dari sebab kebangkitannya?

Semua ini dilakukan atas nama ilmu, padahal demi Allah, itu merupakan kebodohan. Semua itu dengan disampaikan atas nama agama, padahal demi Allah, itu merupakan kelalaian. Semua itu dikatakan atas nama petunjuk, padahal demi Allah, itu merupakan kesesatan. Adakah setelah kebenaran selain kesesatan saja?

Dahulu, ketika para ulama membimbing dan memimpin, umat berada di atas kebaikan, umat berada di depan dan menjadi maju. Namun, ketika para ulama itu mengalami kemunduran, umat pun terpengaruh. Tatkala Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah memimpin, dan tatkala ilmi berada di puncak pimpinan, keadaan itu menyebabkan kemajuan duniawi.

Setiap orang mengetahui bahwa jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah tidak hanya melalui penyebaran ilmu saja, dengan membantah ahli bid'ah dan ahli ahwa' (orang-orang yang melakukan bid'ah dan mengikuti hawa-nafsu), menyanggah orang-orang yang menyimpang dan orang-orang yang rusak keyakinannya. Akan tetapi, jihad beliau itu sangat kompleks dan luas. Beliau berjihad dengan pedang dan tombak, sebagaimana beliau berjihad dengan pena dan penjelasan. Inilah Syaikhul Islam, yang memimpin tentara, lasykar-lasykar Islam dan di front depan dalam pertempuran Syaqhab (ÔóÞúÍóÈõ) di Damaskus pada abad ke-8. Beliau rahimahullah memerangi musuh-musuh Allah, yaitu bangsa Tartar dan para pembela mereka yang hendak menyerang umat Islam di daerahnya sendiri. Beliau menghadang mereka dengan kuat, dengan sikap yang agung, yang besar, dan indah. Sejarah selalu menyebutnya dan mempersaksikannya, karena beliau rahimahullah memandang ilmu dengan setinggi-tingginya. Beliau bernaung di bawah bendera sulthan, dalam ketaatan kepada Allah, dan dalam perkara yang ma'ruf (baik). Bukan bertolak dari sekedar semangat yang kosong dan perasaan yang membinasakan, sebagaimana dilakukan oleh banyak orang yang mengaku ingin berjihad tanpa ilmu belakangan ini. Mereka ini tidaklah menegakkan ilmu dengan sebenarnya, tidak mengerti kedudukan ilmu dengan bentuk sebenarnya. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan, walaupun dengan menamakan agama, walaupun dengan nama jihad, walaupun dengan nama syari'at; mereka ibarat jauh panggang dari api.

Sekarang telah datang Tartar yang baru (yakni orang-orang kafir Barat, Red.). Dewasa ini, mereka menyerang umat di halaman rumahnya sendiri. Mereka menyerang wawasan umat, sejarahnya, dan kemuliannya, serta menerjang negara-negara kaum Muslimin. Akan tetapi, umat ini -sangat disayangkan- belum bisa melahirkan Ibnu Taimiyah yang lain, tidak mampu memunculkan seorang ulama yang agung, yang disegani lagi cerdas, yang menempatkan hak kepada pemiliknya, dan mengagungkan kedudukan syari'at. Karenanya, umat terus-menerus tidak beranjak dari tempatnya, yaitu kelemahan dan kemundurannya, sampai Allah mengizinkan datangnya (kemuliaan) yang baru melalui sikap kembali secara kuat menuju manhaj Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. Tidak ada jalan ke arah sana kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu, kecuali dengan ilmu. Dan, hal ini tidak akan terwujud, melainkan dengan taufik Allah Azza wa Jalla . Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

إِن تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَانًا

“Jika kamu bertakwa kepada Allah, Dia akan memberikan furqan (pembeda antara al haq dengan kebatilan) kepadamu” [al-Anfal : 29]

وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya” [ath-Thalaq : 4]

Oleh karena itu, ilmu merupakan batu pertama untuk melakukan ishlah (perbaikan), pada sebuah istana yang besar; yang pertama kali dimulai adalah dengan batu bata ini, agar ilmu agama ini menjadi asas yang menjadi landasan kebaikan manusia.

Akan tetapi, ilmu yang sedang kita bicarakan ini, dan selalu kita sampaikan, bagaimanakah ciri khasnya? Apakah tanda-tandanya? Apakah sebuah ilmu yang merujuk pikiran dan hawa nafsu belaka, berdasarkan persangkaan dan perkiraan semata, ataukah ilmu tersebut yang berasaskan al Kitab dan as-Sunnah?

Ilmu yang tegak di atas cahaya, petunjuk terbaik dan perilaku paling sempurna adalah ilmu yang telah disampaikan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda:

“Artinya : Aku telah tinggalkan pada kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnahku” [8]

Inilah ilmu yang dimaksud. Inilah cahaya-cahaya dan pengaruh-pengaruhnya. Dengan ilmu, kebodohan akan hilang. Seiring dengan sirnanya kebodohan, maka siang menjadi nampak, cahayanya bersinar, dan malam pun menghilang bersama dengan kegelapan dan kesuramannya.

Bukankah waktunya sudah dekat? Benar, demi Allah. Akan tetapi, hal ini menuntut adanya kebangkitan ilmiyah, jiwa perintis yang kuat, tidak berhenti dan tidak lemah dari diri kita. Membutuhkan kebangkitan ilmu yang tegak di atas Kitab Allah dan Sunnah Nabi.

Saudara-saudaraku seagama., demikianlah penyakit pertama, yaitu kebodohan. Sedangkan obatnya adalah ilmu.

Adapun penyakit kedua yaitu penyakit bid'ah, dan obatnya adalah Sunnah, penawarnya adalah ittiba` (mengikuti) Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Allah Tabaraka wa Ta'ala berfirman tentang beliau:

وَإِن تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا

“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk” [an-Nur : 54]

Jadi, umat ini akan bisa meraih hidayah dengan ilmu yang berasaskan Sunnah, sehingga semua bid'ah bisa dijauhi dengan segala kotorannya, kesesatannya, dan kegelapannya. Inilah yang akan dibicarakan oleh yang mulia Syaikh Salim al Hilali pada pembahasan berikutnya.

Semoga shalawat, salam dan berkah dilimpahkan kepada Nabi kita Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluarga beliau dan para sahabat beliau semuanya. Akhir perkataan kami adalah alhamdulillah Rabbil-'Alamin.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XI/1428H/2007. Disunting dari muhadharah di Masjid Istiqlal Jakarta, Sabtu, 22 Muharram 1428H/10 Februari 2007M, Diterjemahkan oleh Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari]
__________
Footnotes
[1]. Hadist ini kami dapati dengan lafazh : “Barangsiapa tidak mensyukuri manusia, dia tidak mensyukuri Allah”. [HR Ahmad, Ibnu Abi Ashim, dan Ibnu Baththah, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah no. 6677]
[2]. Yaitu kepada orang yang telah berbuat baik kepada kita
[3]. Kafilah berasal dari bahasa Arab “Qafilah”, yaitu rombongan banyak orang yang bergerak pulang dari safar atau memulai safar. Rombongan ini membawa binatang tunggangannya, barang-barangnya dan perbekalannya. Maksudnya, bahwa kaum muslimin dahulu menjadi pemimpin bangsa-bangsa, namun sekarang terbelakang.
[4]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun sebagian lafazhnya yang termaktub dalam Shahih Al-Bukhari : “ Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hamba secara langsung, tetapi dia mencabut ilmu dengan meafatkan ulama. Sehingga ketika Allah pun tidak menyisakan seorang alim pun, lalu mereka itu ditanya, lantas berfatwa tanpa ilmu. Akibatnya, mereka sesat dan menyesatkan” [HR Bukhari, no. 100]
[5]. ]. Hadits ini disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Atsari –hafizhahullah- secara makna. Adapun lafazh hadits yang kami dapati adalah, salah satunya : “ Akan datang kepada manusia tahun-tahun yang menipu, orang yang berdusta dibenarkan, orang yang benar di dustakan, orang yang berkhianat diberi amanat, orang yang amanat dianggap khianat, dan Ruwaibidhah akan berbicara pada masa itu’. Beliau ditanya : ‘Apakah Ruwaibidhah?’ Beliau menjawab, ‘Seorang yang hina lagi bodoh (berbicara tentang) urusan orang banyak” [HR Ibnu Majah, no. 4036 dari Abu Hurairah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani]
[6]. Yakni, menanggung jika ada kebinasaan atau semacamnya. HR Abu Dawud no. 4586, An-Nasai no. 4830, Ibnu Majah no. 3466. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani.
[7]. Syaqhab adalah nama desa kecil di dekat Damaskus, di perbatasan Hauran. Jaraknya dengan Damaskus adalah 37km. Dinukil dari Muqif Ibni Taimiyyah minal Asy’irah, hal.164
[8]. Hadits shahih lighairihi dengan penguatnya. Riwayat Malik 2/899, no. 1661 dengan lafzh : “Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya : Kitab Allah dan Sunnah NabiNya. Silahkan lihat At-Ta’zhim wal Minnah di Intisharis Sunnah, hal. 13-14, karya Syaikh Salim Al-Hilali.

Kamis, Desember 30, 2010

PENGERTIAN SUNNAH

Oleh
Syaikh Dr Said bin Ali bin Wahf Al-Qahthani



Sunnah itu memiliki penganut. Dan para penganutnya memiliki aqidah atau keyakinan dan selalu bersatu di atas kebenaran. Maka sudah sepantasnya penulis memaparkan di sini pengertian dari ketiga kata tersebut : Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.


Pengertian Aqidah Secara Bahasa Dan Menurut Istilah

Aqidah secara bahasa diambil dari kata ‘aqad yakni ikatan dan buhulan yang kuat. Bisa juga berarti teguh, permanent, saling mengikat dan rapat. Bila dikatakan tali itu di-‘aqad-kan, artinya diikat. Bisa juga digunakann dalam ikatan jual beli atau perjanjian. Meng-‘aqad sarung, berarti mengikatnya dengan kuat. Kata aqad adalah lawan dari hall (melepas/mengurai)[1].

Pengertian aqidah menurut istilah adalah : Bahwa aqidah itu digunakan dalam arti iman yang teguh, kokoh dan kuat yang tidak akan terasuki oleh keragu-raguan. Yakni keyakinan yang menyebabkan seseorang itu diberi jaminan keamanan, hati dan nuraninya terikatt pada keyakinan itu, lalu dijadikan sebagai madzhab dan agamanya. Apabila iman yang teguh, kokoh, kuat dan pasti itu benar, maka aqidah seseorang juga menjadi benar, seperti aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Kalau keimanan itu batil, maka aqidah pemiliknya juga batil, seperti aqidah yang dimiliki oleh kelompok-kelompok sesat. [2]


Pengertian Ahlus Sunnah

Sunnah secara bahasa artinya adalah jalan atau riwayat hidup, baik ataupun buruk. [3] Sementara sunnah menurut istilah para ulama aqidah Islam adalah petunjuk yang dijalani oleh Rasulullah dan para sahabat beliau ; dalam ilmu, amalan, keyakinan, ucapan dan perbuatan. Itulah ajaran sunnah yang wajib diikuti dan dipuji pelakunya, serta harus dicela orang yang meninggalkannya. Oleh sebab itu dikatakan ; si Fulan temasuk Ahlus Sunnah. Artinya, ia orang yang mengikuti jalan yang lurus dan terpuji.[4]

Al-Hafizh Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah menyatakan : “Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk diantaranya adalah berpegang teguh pada sesuatu yang dijalankan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Al-Khulafa’ Ar-Rasyidun, berupa keyakinan, amalan dan ucapan. Itulah bentuk sunnah yang sempurna” [Jami’ul Ulumiwal Hikam I : 120]

Syaikhul Islam Ibnu Timiyah rahimahullah menyatakan : “Sunnah adalah sesuatu yang ditegakkan di atas dalil syari’at, yakni ketaatan kepada Allah dan RasulNya, baik itu perbuatan beliau, atau perbuatan yang dilakukan di masa hidup beliau, atau belum pernah beliau lakukan dan tidak pula pernah dilakukan di masa hidup beliau karena pada masa itu tidak ada hal yang mengharuskan itu dilakukan pada masa hidup beliau, atau karena ada hal yang menghalanginya” [Majmu’ Al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah XXI : 317]

Dengan demikian perngertian itu, berarti adalah mengikuti jejak Rasulullah secara lahir dan batin, dan mengikuti jalan hidup orang-orang terdahulu dari generasi awal umat ini dari kalangan Al-Muhajirin dan Al-Anshar. [Refernsi sebelumnya III : 157]


Pengertian Jama’ah

Jama’ah secara bahasa diambil dari kata dasar jama’a (mengumpulkan). Dari akar kata itulah muncul kata-kata semacam ijma’ (kesepakatan) dan ijtima’ (pertemuan), lawan kata dari tafarruq (perpisahan).

Ibnu Faris menyatakan : “Huruf Jim, Mim dan ‘Ain berasal dari satu kata dasar yang menunjukkan pengumpulan sesuatu. Saya menjamak sesuatu artinya mengumpulkannya sedemikian rupa.[5]

Sementara Jama’ah menurut istilah ulama aqidah Islam yang tidak lain adalah generasi As-Salaf dari umat Islam dari kalangan sahabat, tabi’in dan yang mengikuti jejak mereka hingga hari Kiamat, yang mereka bersatu dalam kebenaran yang jelas dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. [6]

Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu menyebutkan : “Jama’ah adalah sesuatu yang bersesuaian dengan kebenaran meski hanya engkau seorang diri”.

Nu’aim bin Hammad menyatakan : “Yakni apabila jama’ah kaum muslimin sudah rusak, hendaknya engkau berpegang pada sesuatu yang dilaksanakan oleh jama’ah itu sebelum ia rusak, meski hanya engkau seorang diri. Karena pada saat itu, engkaulah jama’ah itu sendiri” [7]


[Disalin dari kitab Nurus Sunnah wa Zhulumatul Bid'ah Fi Dhauil Kitabi was Sunnah, edisi Indonesia Mengupas Sunnah, Membedah Bid’ah, hal. 9-12 Darul Haq]

_________
Foote Note
[1] Lihat Lisanul Arab oleh Ibnu Mandzur, bab huruf daal, pasal huruf ‘ain III:296. Lihat juga Qamus Al-Muhith oleh fairuz Abadi, bab huruf daal pasal huruf ‘ain, hal.383. Lihat juga Mu’jamul Maqayis Fil Lughah oelh Ibnu Faris kitab Al-Ain hal.679.
[2] Lihat Mabahits Fi Aqidah Ahlus Sunnah, oleh Doktor Nashir Al-Aql, hal.9-10
[3] Lihat Lisanul Arab oleh Ibnu Manzhur bab ; Nuun, pasal huruf sien XIII : 225.
[4] Lihat Mabahits Fi Aqidah Ahlus Sunnah, oleh Doktor Nashir Al-Aql, hal. 15
[5] Mu’jamul Maqayis Fil Lughah oleh Ibnu Faris, kitab huruf Jiim hal. 224
[6] Lihat Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah oleh Ibnu Abil Izzi hal. 68 dan Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyah tulisan Khalil Hirras hal, 61
[7] Oleh Imam Ibnul Qayyim dalam Ighatsatul Lahfan I : 70, lalu dinisbatkan kepada Al-Baihaqi.





Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=611&bagian=0

Rabu, Desember 29, 2010

Bila Waktu itu Tiba

Dan bila waktu itu telah tiba, dan pasti, kita akan meninggalkan dunia ini, dan ........

Ketika kita meninggalkan dunia ini menuju kedunia yang lain, ibaratnya seperti sebuah perjalanan menuju kesuatu negeri.

Dimana keterangan tentang negeri tersebut tidak akan ditemukan dalam brosur yang dikeluarkan oleh biro perjalanan, tetapi dijelaskan didalam Al-Quran dan Hadist.

Dimana pesawat yang akan ditumpangi dan yang akan menghantarkan kita bukanlah pesawat Garuda Indonesia atau Saudi airlines, tetapi Keranda Jenazah.

Barang bawaan kita tidak dibatasi hanya 23 kg. tapi untuk perjalanan ini berapapun berat dan banyaknya amal perbuatan kita. Kita tidak akan ditagih atas kelebihan barang bawaan. Semuanya gratis berkat kemurahan Sang Pencipta.

Pakaian yang dikenakan bukanlah stelan jas yang mahal buatan Piere Cardin atau sejenisnya, tetapi kain kafan putih tanpa jahitan.

Parfum yang dipakai bukanlah buatan Channel atau Shalimar, tetapi kampar dan air mawar.

Passport kita bukan passpor dinas, diplomatik atau paspor haji, tetapi Al-Islam.

Kemudian visa masuk tidak dibatasi selama 6 bulan, tetapi visa bebas tanpa batas dengan stempel 'Laila haillallah'.

Pramugari yang melayani bukanlah gadis cantik dengan senyuman menawan, tetapi malaikat Izrail

Pelayanan selama penerbangan bukanlah di kelas business atau ekonomi tetapi ambulan limosin atau truk sampah, tergantung bagamaiana prilaku kita semasa hidup.

Tujuan kita bukanlah Jeddah International Terminal tetapi Qabarastaan atau TPU.

Bandara yang menjadi tempat transit kita adalah Alam Barzakh.

Ruang tunggu bukanlah ruangan berhamparkan karpet yang ber AC, tetapi ruang gelap dengan luas 1.5 x 2 m yang bernama Kuburan.

Petugas Immigrasi yg memeriksa bukanlah petugas imigrasi dari Kerajaan Saudi tetapi malaikat Munkar dan Nakir.

Dan tidak diperlukan pengeledahan barang bawaan oleh Petugas Bea dan Cukai atau detector.

Tujuan akhir kita apakah Surga dimana dibawahnya sungai mengalir, atau sebalik nya, tergantung amal yang kita bawa.

Kita tidak perlu membayar untuk perjalanan tersebut, karena gratis. Jadi kartu ATM, credit card and tabungan anda tidak diperlukan lagi.

Jangan khawatir Pesawatnya akan dibajak karena terroris Amerika tidak ada disana.

Makanan tidak dihidangkan dalam penerbangan ini, karena itu tidak perlu risau memikirkan makanan halaal atau haram.

Tidak perlu pusing memikirkan tempat untuk bersandar, karena tubuh kita telah terbujur kaku.

Jangan khawatir penerbangan akan ditunda, karena jadwal penerbangan selalu tepat waktu, baik berangkat maupun tibanya.

Jangan pikirkan tentang hiburan selama penerbangan karena kita sudah tidak memiliki cita rasa lagi.

Tak perlu dirisaukan mengenai booking untuk perjalanan ini, karena sudah dibookingkan sejak kita dalam masih kandungan ibu kita.

Tak perlu dipikirkan siapa yang akan duduk disebelah kita. Karena kita satu-satunya penumpang disana. Nikmati perjalanan tsb, sekiranya jika bisa menikmatinya.

Satu hal yang perlu di ingat, bahwa jadwal perjalanan ini tidak akan diberitahukan sebelumnya. Persoalannya, apakah kita sudah siap untuk itu ?

Masing-masing kita pasti akan menempuh perjalanan tersebut, dan setiap orang akan diberikan tiket gratis untuk satu kali perjalanan (one way ticket), yakni perjalanan yang tidak akan pernah kembali lagi.

BERJIHADLAH DENGAN ILMU DAN DENGAN AL-QUR’AN

Oleh
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh



Pertanyaan.
Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Ali Syaikh ditanya : Apakah arahan dan bimbingan Syaikh kepada peserta daurah yang berasal dari negeri yang banyak didapati perbuatan bid’ah dan kesyirikan ?

Jawaban
Menyebarkan ilmu adalah ibadah dan jihad, Allah Jalla Jalaluhu memerintahkan NabiNya yang pada waktu itu berada di Mekkah untuk berjihad kepada kaum musyrikin (orang-orang yang mempersekutukan Allah Jalla Jalaluhu) dengan ilmu.

Allah Jalla Jalaluhu berfirman.

“Artinya : Maka janganlah engkau mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar” [Al-Furqon : 53]

Yaitu berjihad “ dengan ilmu” dan “dengan Al-Qur’an”. Dengannya kebaikan dan pengaruh akan menetap.

Penuntut ilmu itu mempengaruhi dan menyebarkan kebaikan, oleh karena itu dalam hadits disebutkan.

“Artinya : Keutamaan seorang yang berilmu atau ahli ibadah adalah sebagaimana keutamaanku atas orang yang terendah dari kalian”.

Adapun orang yang shalih itu hanya bagi dirinya sendiri, tidaklah memberi pengaruh kecuali kepada dirinya sendiri, maka tidak syak lagi keutamaan ilmu sangat agung. Jika seseorang siap untuk mengajarkan (ilmu) di negerinya maka hal ini baik. Dari kebiasaan manusia ia akan menuju (dalam menuntut ilmu) kepada para ulama yang terkemuka dan berpaling dari penuntut ilmu yang (tingkatan ilmunya) dibawah ulama. Saya katakan perkara ini sesuai dengan tabi’at (manusia).

Dan peran penuntut ilmu yang menghadiri majelis ilmu yang menerangkan “matan-matan pendek” (tulisan ringkas dari seorang ulama yang belum dijelaskan) dan mereka menguasai ilmu tauhid, atau sejarah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar pergi ke negeri lain dan mengadakan daurah ilmiyah, (di Afrika, Indonesia) serta (hendaknya) mengerluarkan harta dan (mengajarkan) ilmu tentang aqidah, disertai sikap taqwa kepada Allah Jalla Jalaluhu terhadap apa yang mereka ucapkan.

Dan ilmu yang paling utama (yang seharusnya disampaikan) di suatu negeri yang tersebar bid’ah dan kesyirikan adalah ilmu tauhid yaitu ilmu (yang menjelaskan) hak Allah Jalla Jalaluhu yang wajib ditunaikan hambaNya. Ilmu inilah yang dibawa oleh para rasul dan didakwahkan mereka, maka ilmu inilah yang paling utama untuk anda wariskan dan kekalkan di setiap tempat manapun. Kemudian anda ajarkan Al-Qur’an dan hadits, karena inilah yang kekal dan diterima, lalu ajarkan arbain Nawawi atau semisalnya, jangan pedulikan keritikan dan pengingkaran ulama di negeri itu, (karena mereka berkhayal dengan was-was syaithan), dan jangan pedulikan permusuhan syaithan terhadap wali-wali Allah Jalla Jalaluhu.

Oleh karena itu jihad yang paling utama terhadap musuh-musuh Allah Jalla Jalaluhu dan syaithan adalah menyebarkan ilmu. Sebarkanlah ilmu di setiap tempat sesuai kemampuanmu dan bertaqwalah keapda Allah Jalla Jalaluhu, dan oleh sebab itu.

“Artinya : Dan katakanlah : “Ya Allah tambahkanlah kepadaku ilmu” [Thaha : 114]


[Disalin dari Majalah Adz-Dzakhiirah Al-Islamiyyah, Edisi 02 Dzulqo’dah 1423/Januari 2003. Diterbitkan : Ma’had Ali Al-Irsyad Jl Sultan Iskandar Muda 45 Surabaya]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=1747&bagian=0

Selasa, Desember 28, 2010

BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI

BEBERAPA CONTOH BID’AH MASA KINI

Di antaranya adalah :

[a]. Perayaan bertepatan dengan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Rabiul Awwal.

[b].Tabarruk (mengambil berkah) dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan, dan dari orang-orang baik, yang hidup ataupun yang sudah meninggal.

[c]. Bid’ah dalam hal ibadah dan taqarrub kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
Bid’ah-bid’ah modern banyak sekali macamnya, seiring dengan berlalunya zaman, sedikitnya ilmu, banyaknya para penyeru (da’i) yang mengajak kepada bid’ah dan penyimpangan, dan merebaknya tasyabuh (meniru) orang-orang kafir, baik dalam masalah adat kebiasaan maupun ritual agama mereka. Hal ini menunjukkan kebenaran (fakta) sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Sungguh kalian akan mengikuti cara-cara kaum sebelum kalian” [Hadits Riwayat At-Turmudzi, dan ia men-shahihkannya]

[1]. Perayaan Bertepatan Dengan Kelahiran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pada Bulan Rabiul Awwal.

Merayakan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, karena perayaan tersebut tidak ada dasarnya dalam Kitab dan Sunnah, juga dalam perbuatan Salaf Shalih dan pada generasi-generasi pilihan terdahulu. Perayaan maulid Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam baru terjadi setelah abad ke empat Hijriyah.

Imam Abu Ja’far Tajuddin berkata : “Saya tidak tahu bahwa perayaan ini mempunyai dasar dalam Kitab dan Sunnah, dan tidak pula keterangan yang dinukil bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh seorang dari para ulama yang merupakan panutan dalam beragama, yang sangat kuat dan berpegang teguh terhadap atsar (keterangan) generasi terdahulu. Perayaan itu tiada lain adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang yang tidak punya kerjaan dan merupakan tempat pelampiasan nafsu yang sangat dimanfaatkan oleh orang-orang yang hobi makan” [Risalatul Maurid fi Amalil Maulid]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Begitu pula praktek yang diada-adakan oleh sebagian manusia, baik karena hanya meniru orang-orang nasrani sehubungan dengan kelahiran Nabi Isa ‘Alaihis Salam atau karena alasan cinta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka menjadikan kelahiran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai sebuah perayaan. Padahal tanggal kelahiran beliau masih menjadi ajang perselisihan.

Dan hal semacam ini belum pernah dilakukan oleh ulama salaf (terdahulu). Jika sekiranya hal tersebut memang merupakan kebaikan yang murni atau merupakan pendapat yang kuat, tentu mereka itu lebih berhak (pasti) melakukannya dari pada kita, sebab mereka itu lebih cinta dan lebih hormat pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari pada kita. Mereka itu lebih giat terhadap perbuatan baik.

Sebenarnya, kecintaan dan penghormatan terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tercermin dalam meniru, mentaati dan mengikuti perintah beliau, menghidupkan sunnah beliau baik lahir maupun bathin dan menyebarkan agama yang dibawanya, serta memperjuangkannya dengan hati, tangan dan lisan. Begitulah jalan generasi awal terdahulu, dari kaum Muhajirin, Anshar dan Tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik” [Iqtida ‘Ash-Shirath Al-Mustaqim 1/615]

[2]. Tabbaruk (Mengambil Berkah) Dari Tempat-Tempat Tertentu, Barang-Barang Peninggalan, Dan Dari Orang-Orang Baik, Yang Hidup Ataupun Yang Sudah Meninggal.

Termasuk di antara bid’ah juga adalah tabarruk (mengharapkan berkah) dari makhluk. Dan ini merupakan salah satu bentuk dari watsaniyah (pengabdian terhadap mahluk) dan juga dijadikan jaringan bisnis untuk mendapatkan uang dari orang-orang awam.

Tabarruk artinya memohon berkah dan berkah artinya tetapnya dan bertambahnya kebaikan yang ada pada sesuatu. Dan memohon tetap dan bertambahnya kebaikan tidaklah mungkin bisa diharapkan kecuali dari yang memiliki dan mampu untuk itu dan dia adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah-lah yang menurunkan berkah dan mengekalkannya. Adapun mahluk, dia tidak mampu menetapkan dan mengekalkannya.

Maka, praktek tabarruk dari tempat-tempat tertentu, barang-barang peninggalan dan orang-orang baik, baik yang hidup ataupun yang sudah meninggal tidak boleh dilakukan karena praktek ini bisa termasuk syirik bila ada keyakinan bahwa barang-barang tersebut dapat memberikan berkah, atau termasuk media menuju syirik, bila ada keyakinan bahwa menziarahi barang-barang tersebut, memegangnya dan mengusapnya merupakan penyebab untuk mendapatkan berkah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Adapun tabarruk yang dilakukan para sahabat dengan rambut, ludah dan sesuatu yang terpisah/terlepas dari tubuh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disinggung terdahulu, hal tersebut hanya khusus Rasulullah di masa hidup beliau dan saat beliau berada di antara mereka ; dengan dalil bahwa para sahabat tidak ber-tabarruk dengan bekas kamar dan kuburan beliau setelah wafat.

Mereka juga tidak pergi ke tempat-tempat shalat atau tempat-tempat duduk untuk ber-tabarruk, apalagi kuburan-kuburan para wali. Mereka juga tidak ber-tabarruk dari orang-orang shalih seperti Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu dan yang lainnya dari para sahabat yang mulia. Baik semasa hidup ataupun setelah meninggal. Mereka tidak pergi ke Gua Hira untuk shalat dan berdo’a di situ, dan tidak pula ke tempat-tempat lainnya, seperti gunung-gunung yang katanya disana terdapat kuburan nabi-nabi dan lain sebagainya, tidak pula ke tempat yang dibangun di atas peninggalan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu, tidak ada seorangpun dari ulama salaf yang mengusap-ngusap dan mencium tempat-tempat shalat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, di Madinah ataupun di Makkah. Apabila tempat yang pernah di injak kaki Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yan mulia dan juga dipakai untuk shalat, tidak ada syari’at yang mengajarkan umat beliau untuk mengusap-ngusap atau menciuminya, maka bagaimana bisa dijadikan hujjah untuk tabarruk, dengan mengatakan bahwa (si fulan yang wali) –bukan lagi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah shalat atau tidur disana ?! Para ulama telah mengetahui secara pasti berdasarkan dalil-dalil dari syariat Islam, bahwa menciumi dan mengusap-ngusap sesuatu untuk ber-tabarruk tidaklah termasuk syariat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [Lihat Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim 2/759-802]

[3] Bid’ah Dalam Hal Ibadah Dan Taqarrub Kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Bid’ah-bid’ah yang berkaitan dengan ibadah, pada saat ini cukup banyak. Pada dasarnya ibadah itu bersifat tauqif (terbatas pada ada dan tidak adanya dalil), oleh karenanya tidak ada sesuatu yang disyariatkan dalam hal ibadah kecuali dengan dalil. Sesuatu yang tidak ada dalilnya termasuk kategori bid’ah, berdasarkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa mengerjakan amalan yang tidak ada padanya perintah kami maka dia tertolak” [Hadits Riwayat Muslim]

Ibadah-ibadah yang banyak dipraktekkan pada masa sekarang ini, sungguh banyak sekali, di antaranya ; Mengeraskan niat ketika shalat. Misalnya dengan membaca dengan suara keras.

“Artinya : Aku berniat untuk shalat ini dan itu karena Allah Ta’ala”

Ini termasuk bid’ah, karena tidak diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Katakanlah (kepada mereka), ‘Apakah kalian akan memberitahukan kepada Allah tentang agamamu (keyakinanmu), padahal Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Hujarat : 16]

Niat itu tempatnya adalah hati. Jadi dia adalah aktifitas hati bukan aktifitas lisan. Termasuk juga dzikir berjama’ah setelah shalat. Sebab yang disyariatkan yaitu bahwa setiap membaca dzikir yang diajarkan itu sendiri-sendiri, di antara juga adalah meminta membaca surat Al-Fatihah pada kesempatan-kesempatan tertentu dan setelah membaca do’a serta ditujukan kepada orang-orang yang sudah meninggal. Termasuk juga dalam katagori bid’ah, mengadakan acara duka cita untuk orang-orang yang sudah meninggal, membuatkan makanan, menyewa tukang-tukang baca dengan dugaan bahwa hal tersebut dapat memberikan manfaat kepada si mayyit. Semua itu adalah bid’ah yang tidak mempunyai dasar sama sekali dan termasuk beban dan belenggu yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sekali-kali tidak menurunkan hujjah untuk itu.

Termasuk bid’ah pula yaitu perayaan-perayaan yang diadakan pada kesempatan-kesempatan keagamaan seperti Isra’ Mi’raj dan hijrahnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Perayaan-perayaan tersebut sama sekali tidak mempunyai dasar dalam syari’at, termasuk pula hal-hal yang dilakukan khusus pada bulan Rajab, shalat sunnah dan puasa khusus. Sebab tidak ada bedanya dengan keistimewaannya dibandingkan dengan bulan-bulan yang lain, baik dalam pelaksanaan umrah, puasa, shalat, menyembelih kurban dan lain sebagainya.

Yang termasuk bid’ah pula yaitu dzikir-dzikir sufi dengan segala macamnya. Semuanya bid’ah dan diada-adakan karena dia bertentangan dengan dzikir-dzikir yang disyariatkan baik dari segi redaksinya, bentuk pembacaannya dan waktu-waktunya.

Di antaranya pula adalah mengkhususkan malam Nisfu Sya’ban dengan ibadah tertentu seperti shalat malam dan berpuasa pada siang harinya. Tidak ada keterangan yang pasti dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang amalan khususnya untuk saat itu, termasuk bid’ah pula yaitu membangun di atas kuburan dan mejadikannya seperti masjid serta menziarahinya untuk ber-tabarruk dan bertawasul kepada orang mati dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan lain yang berbau syirik.

Akhirnya, kami ingin mengatakan bahwa bid’ah-bid’ah itu ialah pengantar pada kekafiran. Bid’ah adalah menambah-nambahkan ke dalam agama ini sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan RasulNya. Bid’ah lebih jelek dari maksiat besar sekalipun. Syetan akan bergembira dengan terjadinya praktek bid’ah melebihi kegembiraannya terhadap maksiat yang besar. Sebab, orang yang melakukan maksiat, dia tahu apa yang dia lakukannya itu maksiat (pelanggaran) maka (ada kemungkinan) dia akan bertaubat. Sementara orang yang melakukan bid’ah, dia meyakini bahwa perbuatannya itu adalah cara mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka dia tidak akan bertaubat. Bid’ah-bid’ah itu akan dapat mengikis sunnah-sunnah dan menjadikan pelakunya enggan untuk mengamalkannya.

Bid’ah akan dapat menjauhkan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan mendatangkan kemarahan dan siksaanNya serta menjadi penyebab rusak dan melencengnya hati dari kebenaran.

SIKAP TERHADAP AHLI BID’AH
Diharamkanmengunjungi dan duduk-duduk dengan ahli bid’ah kecuali dengan maksud menasehati dan membantah bid’ahnya. Karena bergaul dengan ahli bid’ah akan berpengaruh negatif, dia akan menularkan permusuhannya pada yang lain. Kita wajib memberikan peringatan kepada masyarakat dari mereka dan bahaya mereka. Apabila kita sudah bisa menyelamatkan dan mencegah mereka dari praktek bid’ah. Dan kalau tidak, maka diharuskan kepada para ulama dan pemimpin umat Islam untuk menentang bid’ah-bid’ah dan mencegah para pelakunya serta meredam bahaya mereka. Karena bahaya mereka terhadap Islam sangatlah besar. Suatu hal yang perlu pula untuk diketahui bahwa negara-negara kafir sangat mendukung para pelaku bid’ah dan membantu mereka untuk menyebar luaskan bid’ah-bid’ah mereka dengan berbagai macam cara, sebab didalamnya terdapat proses penghangusan Islam dan pengrusakan terhadap gambaran Islam yang sebenarnya.

Kita memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Dia akan menolong agamaNya, meninggikan kalimatNya, serta menghinakan musuh-musuhNya.

Semoga shalawat dan salam tercurahkan keharibaan Nabi Muhammad Shallallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan sahabat-sahabat beliau.

[Disalin dari buku At-Tauhid Lish-Shaffits Tsani Al-‘Aliy, Penulis Syaikh Dr Sahlih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan, edisi Indonesia Kitab Tauhid-3, Penerjemah Ainul Haris Arifin, hal 152-159, Darul Haq]




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=551&bagian=0

Senin, Desember 27, 2010

AREMANIA - the best Supporter

satu bahasa salam satu jiwa
satu kata arema


kami ini arek-arek malang
kami datang penuh kedamaian
kami ada dimana-mana dari pelosok desa
sampai ujung dunia

dari dulu hingga sekarang
kami datang pasti bawa uang
anti anarki anti penjarahan
inilah kami arek-arek malang

satukan tekadmu kobarkan semangatmu
arema semangat hidupku
gak kemana-mana ada dimana-mana
arema jiwa ragaku
arema jiwa ragaku

soldo iwak kebo
remifasol iwak mendol
mire mire tahu tempe ganok ndase
angkat tanganmu goyang badanmu
kita berdendang berikan dukungan

ayo aremaku hantam musuhmu
tunjukkan selalu kemampuanmu
jangan membikin malu
di depan pendukungmu
kami ingin kamu jadi nomor satu
inilah kami pendukung beratmu
datang bersatu untuk membelamu
bila kamu berada kami selalu ada
karena kami aremania
karena kami aremania

SALAF DAN SALAFIYAH SECARA BAHASA ISTILAH DAN PERIODISASI ZAMAN

Oleh
Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaaly




Saya menginginkan orang yang berjalan di atas manhaj salaf dengan ilmu, dan ini syaratnya :

"Artinya : Katakanlah : Inilah (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik" [Yusuf : 108]

Untuk mengetahui bahwa penunjukkan dan pecahan kata ini mengalahkan ikatan fanatisme kelompok yang merusak dan melampui lorong sempit kerahasiaan karena dia itu sangat jelas seperti jelasnya matahari di siang hari.

"Artinya : Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang salih dan berkata : 'Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri" [Fush shilat : 33]

Kata salaf secara bahasa bermakna orang yang telah terdahulu dalam ilmu, iman, keutamaan dan kebaikan.

Berkata Ibnul Mandzur (Lisanul Arab 9/159) : Salaf juga berarti orang-orang yang mendahului kamu dari nenek moyang, orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan denganmu dan memiliki umur lebih serta keutamaan yang lebih banyak. Oleh karena itu, generasi pertama dari Tabi'in dinamakan As-Salafush Shalih.

Saya berkata : Dan dengan makna ini adalah perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada putrinya Fathimah Radhiyallahu 'anha.

"Artinya : Sesungguhnya sebaik-baik pendahulu (salaf) bagimu adalah aku"
[Hadits Shahih Riwayat Muslim No. 2450]

Dan diriwayatkan dari beliau Shallallahu 'alihi wa sallam bahwa beliau berkata kepada putri beliau Zainab Radhiyallahu 'anha ketika dia meninggal.

"Artinya : Susullah salaf shalih (pendahulu kita yang sholeh) kita Utsman bin Madz'un" [Hadits Shahih Riwayat Ahmad 1/237-238 dan Ibnu Saad dalam Thobaqaat 8/37 dan di shahihkan oleh Ahmad Syakir dalam Syarah Musnad No. 3103, akan tetapi dimasukkan oleh Al-Albani dalam Silsilah Dhoifh No. 1715]

Adapun secara istilah, maka dia adalah sifat pasti yang khusus untuk para sahabat ketika dimutlakkan dan yang selain mereka diikutsertakan karena mengikuti mereka.

Al-Qalsyaany berkata dalam Tahrirul Maqaalah min Syarhir Risalah (q 36) : As-Salaf Ash-Shalih adalah generasi pertama yang mendalam ilmunya lagi mengikuti petunjuk Rasulullah dan menjaga sunnahnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memilih mereka untuk menegakkan agamaNya dan meridhoi mereka sebagai imam-imam umat. Mereka telah benar-benar berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menghabiskan umurnya untuk memberikan nasihat dan manfaat kepada umat, serta mengorbankan dirinya untuk mencari keridhoan-Nya.

Sungguh Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memuji mereka dalam kitabNya dengan firmanNya.

"Artinya : Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka" [Al-Fath : 29]

Dan firman Allah.
"Artinya : (Juga) bagi para fuqara yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar" [Al-Hasr : 8]

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebut kaum muhajirin dan Anshor kemudian memuji itiba' (sikap ikut) kepada mereka dan meridhoi hal tersebut demikian juga orang yang menyusul setelah mereka dan Allah Subahanahu wa Ta'ala mengancam dengan adzab orang yang menyelisihi mereka dan mengikuti jalan selain jalan mereka, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu'min. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali" [An-Nisa' : 115]

Maka merupakan suatu kewajiban mengikuti mereka pada hal-hal yang telah mereka nukilkan dan mencontoh jejak mereka pada hal-hal yang telah mereka amalkan serta memohonkan ampunan bagi mereka, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar) mereka berkata : "Ya Rabb kami, beri ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang" [Al-Hasr : 10]

Istilah ini pun diakui oleh orang-orang terdahulu dan mutaakhirin dari ahli kalam.

Al-Ghazaali berkata dalam kitab Iljaamul Awaam an Ilmil Kalaam hal 62 ketika mendefnisikan kata As-Salaf : Saya maksudkan adalah madzhab sahabat dan tabiin.

Al-Bajuuri berkata dalam kitab Syarah Jauharuttauhid hal. 111 : Yang dimaksud dengan salaf adalah orang-orang yang terdahulu yaitu para Nabi, sahabat, tabi'in dan tabiit-tabiin.

Istilah inipun telah dipakai oleh para ulama pada generasi-generasi yang utama untuk menunjukkan masa shohabat dan manhaj mereka, diantaranya :

[1]. Berkata Imam Bukhari (6/66 Fathul Bariy) : Rasyid bin Sa'ad berkata : Dulu para salaf menyukai kuda jantan, karena dia lebih cepat dan lebih kuat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar menafsirkan perkataan Rasyid ini dengan mengatakan : Yaitu dari para sahabat dan orang setelah mereka.

Saya berkata : Yang dimaksud adalah shahabat karena Rasyid bin Saad adalah seorang Tabi'in maka sudah tentu yang dimaksud di sini adalah shahabat.

[2]. Berkata Imam Bukhari (9/552 Fathul Bariy) : Bab As-Salaf tidak pernah menyimpan di rumah atau di perjalanan mereka makanan daging dan yang lainnya.

Saya berkata ; Yang dimaksud adalah shahabat.

[3]. Imam Bukhari berkata (1/342 Fathul Bariy) : Dan Az-Zuhri berkata tentang tulang-tulang bangkai seperti gajah dan yang sejenisnya : Saya menjumpai orang-orang dari kalangan ulama Salaf bersisir dan berminyak dengannya dan mereka tidak mempersoalkan hal itu.

Saya berkata : Yang dimaksud adalah sahabat karena Az-Zuhri adalah seorang tabiin.

[4]. Imam Muslim telah mengeluarkan dalam Muqadimah shahihnya hal.16 dari jalan periwayatan Muhammad bin Abdillah, beliau berkata aku telah mendengar Ali bin Syaqiiq berkata ; Saya telah mendengar Abdullah bin Almubarak berkata - di hadapan manusia banyak- : Tinggalkanlah hadits Amru bin Tsaabit, karena dia mencela salaf.

Saya berkata : Yang dimaksud adalah sahabat.

[5]. Al-Uza'iy berkata : Bersabarlah dirimu di atas sunnah, tetaplah berdiri di tempat kaum tersebut berdiri, katakanlah sebagaimana yang mereka katakan, tinggalkanlah apa yang mereka tinggalkan dan tempuhlah jalannya As-Salaf Ash-Shalih, karena akan mencukupi kamu apa saja yang mencukupi mereka [Dikeluarkan oleh Al-Aajury dalam As-Syari'at hal.57]

Saya berkata : Yang dimaksud adalah sahabat. Oleh karena itu, kata As-Salaf telah mengambil makna istilah ini dan tidak lebih dari itu. Adapun dari sisi periodisasi (perkembangan zaman), maka dia dipergunakan untuk menunjukkan generasi terbaik dan yang paling benar untuk dicontoh dan diikuti, yaitu tiga generasi pertama yang telah dipersaksikan dari lisan sebaik-baiknya manusia Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa mereka memiliki keutamaan dengan sabdanya.

"Artinya : Sebaik-baik manusia adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya kemudian generasi sesudahnya lagi kemudian datang kaum yang syahadahnya salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului syahadahnya" [Dan dia adalah hadits Mutawatir akan datang Takhrijnya]

Akan tetapi periodisasi ini kurang sempurna untuk membatasi pengertian salaf ketika kita lihat banyak dari kelompok-kelompok sesat telah muncul pada zaman-zaman tersebut, oleh karena itu keberadaan seseorang pada zaman tersebut tidaklah cukup untuk menghukum keberadaannnya di atas manhaj salaf kalau tidak sesuai dengan para sahabat dalam memahami Al-Kitab dan As-Sunnah. Oleh karena itu para Ulama mengkaitkan istilah ini dengan As-Salaf Ash-Shalih.

Dengan ini jelaslah bahwa istilah Salaf ketika dipakai tidaklah melihat kepada dahulunya zaman akan tetapi melihat kepada para sahabat Nabi dan yang mengikuti mereka dengan baik. Dan diatas tinjauan inilah dipakai istilah salaf yaitu dipakai untuk orang yang menjaga keselamatan aqidah dan manhaj di atas pemahaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya Radhiyallahu a'nhuma sebelum terjadinya perselisihan dan perpecahan.

Adapun nisbat Salafiyah adalah nisbat kepada Salaf dan ini adalah penisbatan terpuji kepada manhaj yang benar dan bukanlah madzhab baru yang dibuat-buat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu' Fatawa 4/149 : Tidak ada celanya atas orang yang menampakkan manhaj Salaf, menisbatkan kepadanya dan bangga dengannya, bahkan pernyataan itu wajib diterima menurut kesepakatan Ulama, karena madzhab Salaf tidak lain adalah kebenaran itu sendiri.

Sebagian orang dari orang yang mengerti akan tetapi berpaling ketika menyebut Salafiyah, mereka terkadang menyangka bahwa Salafiyah adalah perkembangan baru dari Jama'ah Islamiyah yang baru yang melepaskan diri dari lingkungan Jama'ah Islam yang satu dengan mengambil untuk dirinya satu pengertian yang khusus dari makna nama ini saja sehingga berbeda dengan kaum muslimin yang lainnya dalam masalah hukum, kecenderungan-kecenderungan bahkan dalam tabia'at dan norma-norma etika (akhlak).[1]

Tidaklah demikian itu ada dalam manhaj salafi, karena salafiyah adalah Islam yang murni (bersih) secara sempurna dan menyeluruh baik kitab maupun sunnah dari pengaruh-pengaruh endapan peradaban lama dan warisan kelompok-kelompok sesat yang beraneka ragam sesuai dengan pemahaman Salaf yang telah dipuji oleh nash-nash al-Kitab dan As-Sunnah.

Prasangka itu hanyalah rekaan prasangka salah dari suatu kaum yang tidak menyukai kata yang baik dan penuh barokah ini, yang asal kata ini memiliki hubungan erat dengan sejarah umat Islam sampai bertemu generasi awal, sehingga mereka menganggap bahwa kata ini dilahirkan dari gerakan pembaharuan yang dikembangkan oleh Jamaluddin Al-Afghaniy dan Muhammad Abduh pada masa penjajahan Inggris di Mesir.[2]

Orang yang menyatakan persangkaan ini atau yang menukilkannya tidak mengetahui sejarah kata ini yang bersambung dengan As-Salaf Ash-Shalih secara makna, pecahan kata dan periodisasi. Padahal para ulama terdahulu telah mensifatkan setiap orang yang mengikuti pemahaman para sahabat dalam aqidah dan manhaj dengan Salafi. Seperti ahli sejarah Islam Al-Imam Adz-Dzahaabiy dalam Siyar 'Alam an-Nubala 16/457 menukil perkataan Ad-Daroquthniy : Tidak ada sesuatu yang paling aku benci melebihi ilmu kalam. Kemudian Adz-Dzahaabiy berkata : Dia tidak masuk sama sekali ke dalam ilmu kalam dan jidal (ilmu debat) dan tidak pula mendalami hal itu, bahkan di adalah seorang Salafi.


[Disalin dari Kitab Limadza Ikhtartu Al-Manhaj As-Salafy, edisi Indonesia Mengapa Memilih Manhaj Salaf (Studi Kritis Solusi Problematika Umat) oleh Syaikh Abu Usamah Salim bin 'Ied Al-Hilaly, terbitan Pustaka Imam Bukhari, penerjemah Kholid Syamhudi]
_________
Foote Note.
[1] Lihatlah tulisan Dr. Al-Buthiy dalam kitabnya As-Salafiyah Marhalatun Zamaniyatun Mubarokatun La Madzhabun Islamiyatun, kitab ini lahiriyahnya rahmat tetapimsebaliknya merupakan adzab.
[a] Dia berusaha mencela As-Salaf dalam manhaj ilmiyah mereka dalam talaqiy, pengambilan dalil (istidlal) dan penetapan hukum (istimbath), dengan demikian dia telah menjadikan mereka seperti orang-orang ummiy yang tidak mengerti Al-Kitab kecuali hanya dengan angan-angan.
[b] Dia telah menjadikan manhaj Salaf (As-Salafiyah) fase sejarah yang telah lalu dan hiloang tidak akan kembali ada kecuali kenangan dan angan-angan.
[c] Mengklaim bid'ahnya intisab (penisbatan) kepada salaf, maka dia telah mengingkari satu perkara yang sudah dikenal dan tersebar sepanjang zaman secara turun temurun.
[d] Dia berputar seputar manhaj Salaf dalam rangka membenarkan madzhab khalaf dimana akhirnya dia menetapkan bahwa manhaj khalaf adalah penjaga dari kesesatan hawa nafsu dan menyembunyikan kenyataan-kenyataan sejarah yang membuktikan bahwa manhaj khalaf telah mengantar kepada kerusakan peribadi muslim dan pelecehan manhaj Islam.
[2] Dakwaan-dakwaan ini memiliki beberapa kesalahan :
[a] Gerakan yang dipelopori oleh Jamaludin Al-Afghaniy dan Muhammad Abduh bukanlah salafiyah akan tetapi dia adalah gerakan aqliyah kholafiyah dimana mereka menjadikan akal sebagai penentu daripada naql (nash-nash Al-Kitab dan As-Sunnah).
[b] Telah muncul penelitian yang banyak seputar hakikat Al-Afghaniy dan pendorong gerakannya yang memberikan syubhat (keraguan) yang banyak seputar sosok ini yang membuat orang yang memperhatikan sejarahnya untuk was-was dan berhati-hati darinya.
[c] Bukti-bukti sejarah telah menegaskan keterlibatan Muhammad Abduh pada gerakan Al-Masuniyah dan dia dianggap tertipu oleh propagandanya dan tidak mengerti hakikat gerakan Masoni tersebut.
[d] Pengkaitan As-Salafiyah dengan gerakan Al-Afghaniy dan Muhammad Abduh adalah tuduhan jelek terhadapnya walaupun secara tersembunyi dari apa yang telah dituduhkan mereka kepadanya dari keterikatan dan motivasi yang tidak jelas.




Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=456&bagian=0

Kamis, Desember 16, 2010

Kerinduan yang Tak Terbendung

Bila kerinduan melanda seseorang, maka tak ada yang mampu membendungnya. Kerinduan laksana gelombang samudra yang sulit ditaklukkan. Dia akan berhenti jika berlabuh di tepi pantai. Demikianlah perumpamaan kaum beriman yang merindukan ibadah sholat. Ibadah yang terasa manis di hati. Hati mereka tak akan tenang, kecuali jika mereka telah menundukkan kepala mereka sambil menghadapkan hati mereka kepada Allah. Hari-hari yang mereka lalui, tak ada yang lebih indah dan berkesan, selain waktu mereka berada di masjid. Mereka gelisah ketika dipanggil oleh Allah sebagai Kekasih mereka, sehingga mereka rela meninggalkan dalam -waktu sementara- segala kesibukan mereka demi bermunajat dengan Sang Kekasih, Allah Robbul alamin.


Kerinduan ini hanyalah dipacu oleh keimanan kepada Allah. Karenanya kalian akan melihat oarang-orang yang menghadiri masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang beriman. Allah -Ta’ala- berfirman,

"Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk". (QS. At-Taubah : 18 ).

Begitu derasnya dorongan iman ini sampai orang-orang beriman akan bergegas dan meninggalkan pekerjaan dan urusannya ketika mereka dipanggil oleh Allah. Hatinya tak tenang; ia selalu rindu sehingga tak ada yang terpikir dibenaknya, kecuali ucapan, "Kapankah waktunya sholat jama’ah?" Inilah orang yang akan di naungi oleh Allah pada hari matahari didekatkan dengan sedekat-dekatnya.

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللهُ تَعَالَى فِيْ ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَدْلٌ وَشَابٌّ نَشَأَ فِيْ عِبَادَةِ اللهِ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِيْ الْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللهِ اِجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ إِنِّيْ أَخَافُ اللهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِيْنُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

"Ada tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah dalam naungan-Nya pada hari tak ada naungan, kecuali naungan-Nya: pemimpin yang adil, seorang pemuda yang tumbuh di atas ibadah kepada Allah, seorang laki-laki yang hatinya terpaut di masjid, dua orang yang saling mencintai karena Allah; keduanya bersama karena-Nya, dan berpisah karena-Nya, seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan, dan kecantikan, lalu laki-laki itu berkata, "Aku takut kepada Allah", seorang yang bershodaqoh dengan suatu shodaqoh, lalu ia infaqkan sehinnga tangan kirinya tak tahu apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya, dan seorang yang mengingat Allah dalam keadaan sendiri, lalu kedua matanya bercucuran". [HR. Al-Bukhoriy dalam Kitab Az-Zakah (1357), dan Muslim dalam Kitab Az-Zakah (1031)]

Kerinduan seperti inilah yang mendorong para tauladan kita dari kalangan salaf (para sahabat, dan tabi’in) untuk melakukan perkara-perkara berikut:


* Hadir Sholat Jama’ah Walau Sakit


Seorang tabi’in yang bernama Ar-Robi’ bin Khusyaim, pada diri beliau ada suatu penyakit. Beliau dipapa diantara dua orang. Lalu dikatakan kepada Ar-Robi’, “Wahai Abu Yazid, Sesungguhnya engaku berada dalam suatu udzur, jika engka mau (tak hadir sholat jama’ah) boleh”. Beliau menjawab, “Betul, aku mendengarkan mu’adzdzin berkumandang, “Hayya alash sholah hayya alal falah”. Barangsiapa yang mendengarkan adzan, maka hendaklah ia mendatanginya, sekalipun merangkak, sekalipun merayap”. HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (1/350)

Abu Abdir Rahman Abdullah bin Habib bin Robi’ah As-Sulamiy -rahimahullah- berkata, “Beliau diusung ke masjid, sedang ia sakit”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf (1/350) Dalam riwayat lain, “Beliau memerintahkan mereka untuk mengusungnya dalam keadaan becek dan hujan ke masjid, sedang ia sakit”. [HR. Ibnul Mubarok dalam Az-Zuhd(419)]

Demikianlah manisnya sholat jama’ah di mata salafush sholeh -rahimahullah-, sehingga mereka amat rindu menghadirinya, sekalipun harus menanggung penderitaan yang berat dan kondisi yang susah. Karena segala sesuatu yang dikerjakan jika dilandasi dengan kesadaran dan ilmu tentang pentingnya sesuatu, maka ia akan melakukannya, walaupun harus melintasi aral dan rintangan yang berat.


* Mencari Jama’ah


Diantara bentuk tingginya perhatian salaf dengan sholat jama’ah, jika luput dan tidak sempat mendapatkan sholat jama’ah di suatu masjid, maka mereka tidak putus asa, bahkan berusaha mencari masjid lain yang kemungkinannya belum usai dari melaksanakan sholat jama’ah. Beikut ini silakan dengarkan penuturan Mu’awiyah bin Qurroh -rahimahullah-,

كَانَ حُذَيْفَةُ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلَاةُ فِيْ مَسْجِدِ قَوْمِهِ يُعَلِّقُ نَعْلَيْهِ وَيَتَّبِعُ الْمَسَاجِدَ حَتَّى يُصَلِّيَهَا فِيْ جَمَاعَةٍ

“Dulu Hudzaifah -radhiyallahu anhu- , jika luput dari sholat jama’ah di masjid kaumnya, maka beliau menggantung (baca: melepas) kedua sandalnya, dan mencari-cari masjid sehingga beliau bisa melaksanakannya secara berjama’ah”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalamAl-Mushonnaf (5990)]

Begitulah kaum salaf dalam menjaga sholat jama’ah. Maka jadikanlah mereka sebagai panutan dan kepercayaan, sebab jika seorang hamba betul-betul menjaga hak-hak Robbnya dengan perhatian yang tinggi, maka tentunya ia tak akan menyia-nyiakan hak para hamba Allah. Motivasi mereka dalam berbuat kebaikan, cuma ada dua, mengharapkan pahala di sisi Allah sebagai bekal menuju akhirat, dan takut kepada Allah jangan sampai Allah tidak menerima amal kebaikannya di saat ia berbuat baik, dan jangan sampai Allah menyiksa dirinya di saat ia berbuat maksiat.

Mereka tidaklah seperti generasi yang di zaman kita, jangankan mencari sholat jama’ah di tempat lain, datang ke masjid saja, malasnya bukan kepalang. Generasi ini lebih senang berongkang-ongkang kaki di rumah, berjalan-jalan santai di tepi pantai, dan mendengarkan perkara haram –semisal musik- dibandingkan datang ke masjid merendahkan diri di hadapan Allah bersama hamba-hamba-Nya. Dia malah memperhambakan dirinya kepada setan dan hawa nafsunya. Generasi ini ibaratnya telur yang dikeluarkan oleh ayam. Mau dikatakan bukan dari ayam, padahal kenyataan membuktikan ia berasal dari ayam, tak ada kesamaan!! Artinya, generasi seperti ini dilahirkan dari keluarga muslim, akan tetapi ia tidak menunjukkan dirinya sebagai muslim. Namun jika silsilah keturunannya dirunut, ia dari keluarga muslim. Nas’alullahas salamah wal afiyah fid dunyah wal akhiroh…


* Menunda Pengobatan karena Sholat Jama’ah


Berobat merupakan perkara yang dianjurkan dalam agama kita agar seorang hamba bisa beribadah kepada Allah dengan baik. Namun ada sebagian salaf tidaklah terpengaruh oleh penyakit yang dideritanya, dan ia bersabar dalam taat kepada Allah. Lezatnya ibadah melalaikan dirinya dari segala penderitaan dan penyakit yang ia alami. Sa’id bin Al-Musayyib adalah termasuk diantara mereka. Diriwayatkan, “Beliau pernah mengadukan matanya. Maka mereka berkata, “Wahai Abu Muhammad, andaikan engkau keluar ke lembah Al-Aqiq, lalu engkau menyaksikan pemandangan yang hijau, niscaya engkau akan mendapatkan kelegaan karenanya”. Beliau menjawab, “Apa yang aku lakukan untuk bisa menghadiri sholat Isya’ dan shubuh?”.” [HR. Ibnu Sa’d dalam Ath-Thobaqot (5/132). Lihat As-Siyar (4/240)]

Perhatikan bagaimana sikap dan jawaban Sa’id bin Al-Musayyib -rahimahullah- , beliau tak tega meninggalkan sholat Isya’ dan shubuh secara berjama’ah di masjid. Bahkan ia rela menunda pengobatan penyakitnya demi meraih keuntungan akhirat. Karenanya, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy –rahimahullah- berkata, “Tidaklah dikumandangkan (adzan) sholat sejak 40 tahun lalu, kecuali Sa’id ibnul Musayyib berada di dalam masjid”.[Lihat Tahdzib At-Tahdzib(4/87)]


* Masjid Dijadikan Rumah


Ciri seorang mukmin yang hakiki, hatinya selalu terpaut dengan masjid. Seakan-akan masjid merupakan tempat tinggal mereka, karena mereka lalu-lalang ke masjid di waktu-waktu sholat sehingga ia laksana penghuni masjid. Setiap lima waktu dan ada waktu senggang ia melazimi masjid beribadah dan berdzikir disana. Bahkan hal ini mereka wariskan dan wasiatkan kepada teman, dan keturunan mereka.

Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda,

الْمَسْجِدُ بَيْتُ كُلِّ تَقِيٍّ

“Masjid adalah rumah orang-orang yang bertaqwa". [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (6143), Abu Nu’aim (6/176), Al-Qudho’iy dalam Musnad Asy-Syihab (73), Al-Baihaqiy dalam Asy-Syu’ab (2950). Di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (716)]


* Rela Menghukum Anak


Terkadang seorang anak akan menjadi ujian bagi seorang ayah. Di saat itulah, seorang ayah harus pandai-pandai menghadapi ujian tersebut sehingga bisa terarah kepada solusi yang bermamfaat baginya dan anaknya. Dulu, para salaf amat tinggi perhatian mereka kepada agama anak-anaknya, utamanya dalam perkara sholat –setelah aqidahnya-. Mereka rela memberikan hukuman bagi anaknya karena melalaikan sholat jama’ah di masjid.

Konon kabarnya, Abdul Aziz bin Marwan pernah mengutus anaknya, yaitu Umar bin Abdul Aziz ke Madinah dalam rangka belajar. Ayahnya menulis surat kepada Sholih bin Kaisan agar ia menjaganya. Sholih bin Kaisan mengharuskannya sholat jama’ah. Kemudian suatu hari, Umar bin Abdul Aziz terlambat melaksanakan sholat. Maka Sholih bin Kaisan -rahimahullah- bertanya, “Apa yang menghalangimu?!”. Umar menjawab, “Tukang sisirku mengatur rambutku”. Sholih bin Kaisan berkata, “Apakah pengaturan rambutmu menyebabkan engkau lebih mengutamakannya dibandingkan sholat?!” Maka Sholih bin Kaisan pun menulis surat ke orang tua Umar tentang kejadian tersebut. Akhirnya Abdul Aziz mengirim seorang utusan. Utusan itu tidaklah berbicara dengan Umar sampai ia mencukur rambut Umar.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’(5/116)]


* Perhatian Pemerintah terhadap Sholat Jama’ah


Masyarakat salaf adalah masyarakat yang taat dan bertaqwa kepada Allah. Oleh karena itu, mereka dipimpin oleh orang-orang yang baik lagi bertaqwa. Diantara tanda ketaqwaan mereka, lihatlah tingginya perhatian mereka kepada sholat jama’ah, sampai ada diantara mereka sengaja menanyakan dan memantau kondisi jama’ah masjidnya yang tak hadir sholat jama’ah.

Abu Bakar bin Sulaiman bin Abi Hatsmah , berkata, “Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu anhu- merasa kehilangan Sulaiman bin Abi Hatsmah ketika sholat Shubuh, dan keesokan harinya, Umar beliau ke pasar, sedang rumah Sulaiman antara pasar dan masjid Nabawi. Kemudian beliau mampir ke Asy-Syifa’, ibu Sulaiman seraaya bertkata kepadanya, “Aku tak melihat Sulaiman ketika sholat Shubuh”. Asy-Syifa’ menjawab, “Sesungguhnya ia sholat (lail) semalam suntuk, lalu iapun dikuasai oleh rasa kantuk”. Umarpun berkata, “Betul-betul aku menghadiri sholat shubuh bersama jama’ah, itu lebih aku cintai dibandingkan aku sholat (lail) semalam suntuk”.”. HR. Abdur Rozzaq dalamAl-Mushonnaf(201), dan Malik dalam Al-Muwaththo’: Kitabush Sholah, (7) via Tanwir Al-Hawalik (hal. 153) karya As-Suyuthiy, cet. Darul Kutub Al-Ilmiyyah]

Umar bin Al-Khoththob -radhiyallahu anhu- pernah kehilangan seseorang ketika sholat shubuh. Umarpun mengutus seseorang kepada orang tersebut, lalu iapun datang. Umar bertanya, “Dimana engkau?”. Katanya, “Aku sakit. Andaikan utusanmu tak datang kepadaku, maka aku tak akan keluar”. Umar berkata, “Andaikan engkau keluar menuju seseorang, maka keluarlah untuk sholat”. [HR. Ibnu Abi Syaibah dalamAl-Mushonnaf(1/244-245)]

Bukan Cuma Umar -radhiyallahu anhu-, bahkan kholifah yang lainnya juga memiliki perhatian yang tinggi terhadap sholat jama’ah. Utsman bin Affan -radhiyallahu anhu- pernah datang untuk sholat Isya’. Beliau melihat penghuni masjid masih sedikit. Maka beliaupun berbaring di belakang masjid untuk menunggu manusia sampai banyak. Lalu ia didatangi oleh Ibnu Abi Amrah dan duduk di depannya. Utsmanpun bertanya tentang siapa dirinya. Maka Ibnu Abi Amrah mengabarkannya. Lalu Utsman bertanya, “Apa yang ada padamu berupa (hafalan) Al-Qur’an?” Maka ia mengabarkannya. Utsman berkata, “Barangsiapa yang menghadiri sholat Isya’, seakan-akan ia bangkit sholat sunnah separuh malam. Barangsiapa yang menghadiri sholat Shubuh, seakan-akan ia sholat sunnah semalam suntuk”. [HR. Malik dalam Al-Muwaththo’ via At-Tamhid (4/232) karya Ibnu Abdil Barr, cet. Al-Faruq Al-Haditsah]

Seorang Gubernur kota Makkah yang bernama Attab bin Usaid Al-Umawiy-radhiyallahu anhu- pernah berkaata, “Wahai penduduk Makkah, demi Allah tak ada yang sampai berita salah seorang diantara kalian ada yang tertinggal sholat di masjid, kecuali aku akan tebas lehernya”. [Lihat Ash-Sholah(hal.122) karya Ibnul Qoyyim, dan Ghoyah Al-Maram bi Akhbar Sulthonah Al-Haram (1/18-19) karya Izzuddin Al-Hasyimiy Al-Qurosiy]

Usai membawakan kisah ini, Ibnu Qoyyim Al-Jauziyyah-rahimahullah- berkata, “Para sahabat Rasulullah -Shollallahu alaihi wa sallam- berterima kasih kepadanya atas sikap seperti ini, menambahkan bagi ketinggian derajat di mata mereka. Pendapat yang kami taat kepada Allah karenanya, tidak boleh bagi seorangpun tertinggal dari sholat jama’ah di masjid, kecuali karena ada halangan ”. [Lihat Ash-Sholah wa Hukm Tarikiha (hal. 122) karya Ibnul Qoyyim, takhrij Usamah bin Abdul Alim, cet. Dar Ibnu Rajab, 1423 H]

Inilah secuplik gambaran kerinduan generasi terbaik (salaf) dari kalangan sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in. Semoga kisah kehidupan mereka bisa kita teladani sehingga dikumpulkan oleh Allah bersama mereka di dalam surga.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 49 Tahun I. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel. HP : 08124173512 (a/n Ust. Abu Fa’izah). Pimpinan Redaksi/Penanggung Jawab : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Dewan Redaksi : Santri Ma’had Tanwirus Sunnah – Gowa. Editor/Pengasuh : Ust. Abu Fa’izah Abdul Qadir Al Atsary, Lc. Layout : Abu Muhammad Mulyadi. Untuk berlangganan/pemesanan hubungi : Ilham Al-Atsary (085255974201). (infaq Rp. 200,-/exp)

http://almakassari.com/?p=207

Rabu, Desember 08, 2010

KARIR WANITA DAN WANITA KARIR




Diskursus tentang karir wanita dan wanita karir dewasa ini semakin hangat, terutama di negeri ini dan mendapatkan dukungan serta perhatian serius dari berbagai kalangan, khususnya yang menamakan diri mereka kaum Feminis dan pemerhati wanita.

Mereka selalu mengangkat tema “pengungkungan” Islam terhadap wanita dan mempromosikan motto emansipasi dan persamaan hak di segala bidang tanpa kecuali atau yang belakangan lebih dikenal dengan sebutan kesetaraan gender. Banyak wanita muslimah terkecoh olehnya, terutama mereka yang tidak memiliki ‘basic’ keagamaan yang kuat dan memadai.

Karena merupakan masalah yang urgen dan berimplikasi serius, maka tulisan kita kali ini mengangkat tema tersebut.

Semoga tulisan ini menggugah wanita-wanita muslimah untuk kembali kepada fithrah mereka. Amîn.

Kondisi Wanita di Dunia Barat

1.              Dari sisi historis, terjunnya kaum wanita ke lapangan untuk bekerja dan berkarir semata-mata karena unsur keterpaksaan. Ada dua hal penting yang melatarbelakanginya :

Pertama, terjadinya revolusi industri mengundang arus urbanisasi kaum petani pedesaan, tergiur untuk mengadu nasib di perkotaan, karena himpitan sistem kapitalis yang melahirkan tuan-tuan tanah yang rakus. Berangkat ke perkotaan, mereka berharap menda-patkan kehidupan yang lebih layak namun realitanya, justru semakin sengsara. Mereka mendapat upah yang rendah. 

Ke dua, kaum kapitalis dan tuan-tuan tanah yang rakus  sengaja mengguna-kan momen terjunnya kaum wanita dan anak-anak, dengan lebih memberikan porsi kepada mereka di lapangan pekerjaan, karena mau diupah lebih murah daripada kaum lelaki, meskipun dalam jam kerja yang panjang.

2.              Kehidupan yang dialami oleh wanita di Barat yang demikian mengenaskan, sehingga menggerakkan nurani sekelompok pakar untuk membentuk sebuah organisasi kewanitaan yang diberi nama “Humanitarian Movment” yang bertujuan untuk membatasi eksploitasi kaum kapitalis terhadap para buruh, khususnya dari kalangan anak-anak. Organisasi ini berhasil mengupayakan undang-undang perlindungan anak, akan tetapi tidak demikian halnya dengan kaum wanita. Mereka tetap saja dihisap darahnya oleh kaum kapitalis tersebut.

3.              Hingga saat ini pun, kedudukan wanita karir di Barat belum terangkat dan masih saja mengenaskan, meskipun sudah mendapatkan sebagian hak mereka. Di antara indikasinya,  mendapatkan upah lebih kecil daripada kaum laki-laki, keharusan membayar mahar kepada laki-laki bila ingin menikah, keharusan menanggung beban penghidupan keluarga bersama sang suami, dan lain sebagainya.

Beberapa Dampak Negatif dari Terjunnya Wanita untuk Berkarir

Di antara dampak-dampak negatif tersebut adalah:

1.        Penelitian kedokteran di lapangan (dunia Barat) menunjukkan telah terjadi perubahan yang amat signifikan terhadap bentuk tubuh wanita karir secara biologis, sehingga menyebabkannya kehilangan naluri kewanitaan, tetapi tidak berubah jenis kelamin menjadi laki-laki. Jenis wanita sema-cam ini dijuluki sebagai jenis kelamin ke tiga. Menurut data statistik, kebanyakan penyebab kemandulan para istri yang bekerja sebagai wanita-wanita karir tersebut bukan karena penyakit yang biasa dialami oleh anggota badan, tetapi lebih diakibatkan oleh ulah wanita di masyarakat Eropa yang secara total, baik dari aspek materil, pemikiran maupun biologis lari dari fithrahnya (yakni sifat keibuan). Penyebab lainnya adalah upaya mereka untuk mendapatkan persamaan hak dengan kaum laki-laki dalam segala bidang. Hal inilah yang secara perlahan melenyapkan sifat keibuan mereka, banyaknya terjadi kemandulan serta mandegnya ASI sebagai akibat perbauran dengan kaum laki-laki.

2.        Di Barat, muncul fenomena yang mengkhawatirkan sekali akibat terjunnya kaum wanita sebagai wanita karir, yaitu terjadinya  tindak kekerasan terhadap anak-anak kecil berupa pukulan yang keras, sehingga dapat mengakibatkan mereka meninggal dunia, gila atau cacat fisik. Majalah-majalah yang beredar di sana menyebutkan nama penyakit baru ini dengan sebutan Battered Baby Syn (penyakit anak yang dipukul). Majalah Hexagon dalam volume No. 5 tahun 1978 menyebutkan bahwa banyak sekali rumah sakit-rumah sakit di Eropa dan Amerika yang menampung anak-anak kecil yang dipukul secara keras oleh ibu-ibu mereka atau terkadang oleh bapak-bapak mereka.

3.        DR. Ahmad Al-Barr mengatakan, “Pada tahun 1967, lebih dari 6500 anak kecil yang dirawat di beberapa rumah sakit di Inggris yang berakhir dengan meninggal sekitar 20% dari mereka, sedangkan sisanya mengalami cacat fisik dan mental secara akut. Ada lagi, sekitar ratusan orang yang mengalami kebutaan dan lainnya ketulian…setiap tahunnya, ada yang mengalami cacat fisik, ediot dan lumpuh akibat pukulan keras”.

4.        Para wanita karir yang menjadi ibu rumah tangga tidak dapat memberikan pelayanan secara kontinyu terhadap anak-anak mereka yang masih kecil, karena hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk karir mereka.

5.        Berkurangnya angka kelahiran, sehingga pemerintah negara tersebut saat ini menggalakkan kampanye memperbanyak anak dan memberikan penghargaan bagi keluarga yang memiliki banyak anak. Hal ini tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang ada di dunia Islam.

Saksi Mereka Berbicara

1.      Seorang Filosof bidang ekonomi, Joel Simon berkata, “Mereka (para wanita) telah direkrut oleh pemerintah untuk bekerja di pabrik-pabrik dan mendapatkan sejumlah uang sebagai imbalannya, akan tetapi hal itu harus mereka bayar mahal, yaitu dengan rontoknya sendi-sendi rumah tangga mereka”.

2.      Sebuah lembaga pengkajian strategis di Amerika telah mengadakan ‘polling’ seputar pendapat para wanita karir tentang karir seorang wanita. Dari hasil ‘polling’ tersebut didapat kesimpulan: “Bahwa sesungguhnya wanita saat ini sangat keletihan dan 65% dari mereka lebih mengutamakan untuk kembali ke rumah mereka…”.

Karir Wanita dalam Perspektif Islam

Allah Ta’ala menciptakan laki-laki dan wanita dengan karakteristik yang berbeda. Secara alami (sunnatullah), laki-laki memiliki otot-otot yang kekar, kemampuan untuk melakukan pekerja-an yang berat, pantang menyerah, sabar dan lain-lain. Cocok dengan pekerjaan yang melelahkan dan sesuai dengan tugasnya yaitu menghidupi keluarga secara layak.

Sedangkan bentuk kesulitan yang dialami wanita yaitu: Mengandung, melahirkan, menyusui, mengasuh dan mendidik anak, serta menstruasi yang mengakibatkan kondisinya labil, selera makan berkurang,  pusing-pusing, rasa sakit di perut serta melemahnya daya pikir, sebagaimana disitir di dalam Al-Qur’an , “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua  orang ibu bapanya; Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.” (QS. Luqman: 14).

Ketika dia melahirkan bayinya, dia harus beristirahat, menunggu hingga 40 hari atau 60 hari dalam kondisi sakit dan merasakan keluhan yang demikian banyak, tetapi harus dia tanggung juga. Ditambah lagi masa menyusui dan mengasuh yang menghabiskan waktu selama dua tahun. Selama masa tersebut, si bayi menikmati makanan dan gizi yang dimakan oleh sang ibu, sehingga mengurangi staminanya.

Oleh karena itu, Dienul Islam menghendaki agar wanita melakukan pekerjaan/karir yang tidak bertentangan dengan kodrat kewanitaannya dan tidak mengungkung haknya di dalam bekerja, kecuali pada aspek-aspek yang dapat menjaga kehormatan dirinya, kemuliaannya dan ketenangannya serta menjaganya dari pelecehan dan pencampakan.

Dienul Islam telah menjamin kehidupan yang bahagia dan damai bagi wanita dan tidak membuatnya perlu untuk bekerja di luar rumah dalam kondisi normal. Islam membebankan ke atas pundak laki-laki untuk bekerja dengan giat dan bersusah payah demi menghidupi keluarganya.

Maka, selagi si wanita tidak atau belum bersuami dan tidak di dalam masa menunggu (‘iddah) karena diceraikan oleh suami atau ditinggal mati, maka nafkahnya dibebankan ke atas pundak orangtuanya atau anak-anaknya yang lain, berdasarkan perincian yang disebutkan oleh para ulama fiqih kita.

Bila si wanita ini menikah, maka sang suamilah yang mengambil alih beban dan tanggung jawab terhadap semua urusannya. Dan bila dia diceraikan, maka selama masa ‘iddah (menunggu) sang suami masih berkewajiban memberikan nafkah, membayar mahar yang tertunda, memberikan nafkah anak-anaknya serta membayar biaya pengasuhan dan penyusuan mereka, sedangkan si wanita tadi tidak sedikit pun dituntut dari hal tersebut.

Selain itu, bila si wanita tidak memiliki orang yang bertanggung jawab terhadap kebutuhannya, maka negara Islam yang berkewajiban atas nafkahnya dari Baitul Mal kaum Muslimin.

Solusi Islam Terhadap Diskursus Karir Wanita

Ada kondisi yang teramat mendesak yang menyebabkan seorang wanita terpaksa bekerja ke luar rumah dengan persyaratan sebagai berikut:

-          Disetujui oleh kedua orangtuanya atau wakilnya atau suaminya, sebab persetujuannya adalah wajib secara agama dan qadla’ (hukum).
-          Pekerjaan tersebut terhindar dari ikhtilath (berbaur dengan bukan mahram), khalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan laki-laki asing; Sebab ada dampak negatif yang besar. Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidaklah seorang laki-laki berkhalwat (bersunyi-sunyi, menyendiri) dengan seorang wanita, kecuali bila bersama laki-laki (yang merupakan) mahramnya”. (HR. Bukhari).
-          Menutupi seluruh tubuhnya di hadapan laki-laki asing dan menjauhi semua hal yang berindikasi fitnah, baik di dalam berpakaian, berhias atau pun berwangi-wangian (menggunakan parfum). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Siapapun wanita yang memakai wangi-wangian kemudian keluar menuju masjid, maka shalatnya tidak diterima hingga ia mandi.” (HR. Ibnu Majah). Dalam riwayat lain : “Siapapun wanita yang memakai wangi-wangian kemudian keluar, lalu melewati sekelompok kaum lelaki agar mereka mencium baunya maka wanita itu adalah seorang pezina.” (HR. Abu Daud, Nasa’i, Tirmidzi, Ahmad, dan Darimi)
-          Komitmen dengan akhlaq Islami dan hendaknya menampakkan keseriusan dan sungguh-sungguh di dalam berbicara, alias tidak dibuat-buat dan sengaja melunak-lunakkan suara, sebagaimana Firman Allah subhanhu wata’ala terhadap umumul mukminin junjungan kita, “Hai istri-istri Nabi, kalian tidak sama dengan siapapun perempuan lain jika kaian benar-benar bertaqwa, maka janganlah kamu tunduk (lembut, merendahkan suara) dalam berbicara sehingga orang-orang yang hatinya berpenyakit punya hasrat tidak baik (kepada kalian), tetapi katakanlah (kepada laki-laki) perkataan yang lugas.” .(Al-Ahzab: 32)
-          Hendaknya pekerjaan tersebut sesuai dengan tabi’at dan kodratnya seperti dalam bidang pengajaran, kebidanan, menjahit dan lain-lain.

Penutup

Sudah waktunya kita memahami betapa agungnya dien ini di dalam setiap produk hukumnya, berpegang teguh dengannya, menjadikannya sebagai hukum yang berlaku terhadap semua aturan di dalam kehidupan kita serta berkeyakinan secara penuh, bahwa ia akan selalu cocok dan sesuai di dalam setiap masa dan tempat.

Jumat, Desember 03, 2010

Keajaiban Memulai Dari Hal-Hal Kecil

“Sukses adalah akumulasi dari usaha-usaha kecil, yang dilakukan secara berulang-ulang.”
- Robert Collier -


Apakah anda memiliki target-target penting yang ingin anda capai dalam hidup anda dimana untuk memulainya saja anda sangat bersusah payah? Atau target-target yang sudah anda coba beberapa kali untuk meraihnya namun selalu saja gagal. Sampai-sampai anda berpikir, ada area-area dalam hidup anda yang anda sepertinya tak bisa sukses.
Anda mungkin sukses besar dalam karir, namun anda kesulitan untuk bisa berolahraga teratur minimal seminggu dua kali. Atau anda mendapatkan kelancaran membuka sebuah usaha tahun ini namun program diet anda selalu saja gagal.
Masalahnya mungkin saja anda mencoba untuk berubah terlalu cepat atau terlalu berlebihan. Saya disini akan mencoba berbagi pengalaman bagaimana melakukan suatu perubahan yang permanen. Proses ini jelas memerlukan waktu. Saya tidak bisa memberikan cara bagaimana melakukan perubahan dalam ‘semalam’ karena saya belum pernah melakukannya dan saya pikir hal itu tidak mungkin.
Biasanya orang-orang memiliki komitmen di setiap akhir tahun untuk melakukan perubahan-perubahan di tahun yang baru. Jika anda seperti kebanyakan orang ingin melakukan perubahan-perubahan tersebut dalam sekejap, besar kemungkinan anda akan gagal.

Coba anda sekarang ingat-ingat kembali, apakah ada target-target anda tahun ini yang belum terpenuhi

Saya akan membantu mengingatkan. Mungkin anda ingin :
- Menurunkan berat badan sebanyak 20 kg
- Berhenti merokok
- Mengurangi caffeine
- Jogging mengelilingi komplek setiap pagi
- Bangun pukul 5 pagi setiap hari
- Mulai merintis bisnis online
- ….. (silahkan anda mengisi sendiri)
Semuanya itu adalah target-target penting dalam hidup anda dan memerlukan usaha yang keras untuk merubahnya. Alangkah lebih baik jika anda melakukan langkah-langkah yang lebih terpola dan terkendali meskipun memakan waktu yang lebih lama. Kenapa? Karena sekali anda berubah, perubahan anda akan lebih permanen dibandingkan anda melakukannya dengan terburu-buru.

Identifikasi posisi anda saat ini

Sebelum memulai suatu perubahan, anda perlu mengetahui posisi anda saat ini berada dimana, misalnya : berapa berat badan anda saat ini, berapa batang/bungkus anda merokok setiap hari, berapa sering anda minum kopi, berapa kali anda berolah raga dalam sebulan, dst.

Ambillah langkah-langkah kecil untuk mencapainya

Mungkin akan ada jarak yang sangat besar antara posisi anda saat ini dengan apa yang ingin anda capai, dan anda sepertinya merasa tidak memiliki kekuatan, semangat ataupun disiplin untuk mencapainya.
Jika anda hanya memikirkan bagaimana mencapai target anda dengan segera, kemungkinan besar anda akan mengalami frustasi/stress.
Pecahlah target anda (break down) menjadi aktivitas-aktivitas kecil, sebagai contoh : jika anda ingin menurunkan berat badan sebanyak 20 kg, bagilah target tersebut menjadi ½ kg per minggu. Ya, anda akan menghabiskan waktu 40 minggu untuk menurunkan berat badan anda, tetapi waktu tersebut pasti akan anda lewati.
Jangan meremehkan kemampuan anda dalam mencapai sesuatu dengan melakukan hal-hal kecil. Daripada anda mencoba mencapai target tersebut dengan cepat, dengan melakukan hal-hal yang ’radikal’, misalkan hanya makan 1 hari sekali atau minum obat pencuci perut, namun setelah 1-2 minggu anda menyerah karena tidak tahan. Anda berarti hanya membuang waktu berharga anda dan fakta ini malah bisa menyakitkan anda : anda mungkin berpikiran ”benar kan, saya tidak bisa sukses”, ”benar kan, saya tidak bisa konsisten dan disiplin.”, dsb.
Oke, cukup teorinya, sekarang saya akan memberikan beberapa contoh praktis :
1)
Target : berhenti mengkonsumsi caffeine
Posisi saat ini : minum 3 gelas kopi setiap hari
Langkah : mengurangi minum kopi menjadi sehari sekali untuk minggu pertama (total 7 gelas seminggu), minggu ke-2 total 6 gelas seminggu, minggu ke-3 total 5 gelas seminggu dst.
Total waktu dibutuhkan : 8 minggu
2)
Target : bangun pukul 5 pagi setiap hari
Posisi saat ini : bangun pukul 7 pagi
Langkah : pasang beker anda 15 menit lebih awal setiap 1 minggu – jangan langsung memundurkan menjadi 2 jam! Percayalah anda akan tersiksa.
Total waktu dibutuhkan : 8 minggu
3)
Target : membuat 100 halaman ebook
Posisi saat ini : 0 halaman
Langkah : setiap hari anda menulis 1 halaman, kecuali hari Sabtu dan Minggu anda menulis 2 halaman. Jadi selama seminggu anda menulis sebanyak 9 halaman.
Total waktu dibutuhkan : 11 minggu
Anda dapat melihat bahwa target-target diatas menjadi masuk akal dan sangat mungkin tercapai dengan aktivitas-aktivitas kecil, termasuk target-target yang pernah anda coba meraihnya namun gagal. Apapun yang anda inginkan, anda dapat meraihnya selama anda tidak menginginkan hasil yang instan. Tidak ada cara instan untuk mencapai kesuksesan.
Mudah-mudahan artikel ini bermanfaat bagi anda. Selamat mencoba.