Rabu, Januari 14, 2009

Agar amal tak sia2

“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kalian kepada Allah, juga taatlah kalian kepada RasulNya, dan janganlah kalian mensia-siakan (pahala) amal kalian“. (Muhammad: 33)

Memang Ramadhan dalam konteks waktu dan salah satu dari bulan Allah sudah berlalu meninggalkan kita. Namun semangat dan nilai Ramadhan sepatutnya tetap hadir menyertai keseharian kita. Ramadhan bukan “satu-satunya” bulan untuk beramal dan bertaqarub kepada Allah. Ramadhan hanya momentum untuk meningkatkan dan memaksimalkan kebaikan kita sebagai bekal menghadapi sebelas bulan berikutnya. Untuk itu, Ramadhan akan senantiasa hadir menyambangi kita pada setiap tahunnya. Alangkah rugi dan pelitnya seseorang yang hanya mau bersemangat beribadah dan beramal shalih hanya di bulan tertentu. Demikian juga tidaklah baik seseorang yang hanya mampu beribadah dengan baik dan maksimal di tempat tertentu yang mengandung nilai pahala lebih, seperti di Mekkah misalnya ketika menunaikan ibadah umrah atau haji, namun setelah pulang ke tanah air, kelesuan beribadah kembali terjadi di mana-mana.

Ayat ini oleh sebagian mufassir dijadikan dasar akan hilangnya pahala amal kebaikan yang berhasil dilakukan oleh seseorang jika setelah kebaikan itu ia kembali terjerumus ke dalam dosa dan kemaksiatan, atau jika ia tidak mampu mempertahankan kebaikan tersebut di waktu berikutnya. Ayat ini juga secara korelatif memiliki hubung kait yang erat dengan ayat sebelumnya: “Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah serta memusuhi Rasul setelah petunjuk itu jelas bagi mereka, mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun. dan Allah akan menghapuskan (pahala) amal-amal mereka.” (Muhammad: 32).

Kontens kedua ayat tersebut intinya berbicara tentang perilaku yang dapat menyia-nyiakan amal kebaikan, Perbedaannya, pada ayat 32 ini ancaman Allah ditujukan kepada mereka yang menghalangi manusia dari jalan Allah dan memusuhi Rasulullah saw, sehingga pada ayat 33 Allah mengingatkan orang-orang yang beriman agar tidak menyia-nyiakan amal ketaatan mereka dengan apapun bentuknya seperti yang diancamkan oleh Allah kepada golongan yang ingkar sebelum mereka. Di sini bentuk kasih sayang Allah terhadap kekasih-Nya dari orang-orang beriman sangat ketara agar mereka tetap ta’at kepad-aNya kapanpun dan di manapun, tanpa ada batasan waktu dan tempat, apalagi alasan sempat dan tidak sempat.

Ayat ketiga yang berbicara tentang perilaku yang dapat mensia-siakan amal baik seseorang adalah surah Al-Hujurat: 2 yang bermaksud:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (Al-Hujurat: 2).

Adab kepada Rasulullah saw. dalam berbicara yang disebutkan oleh ayat ini langsung diperintahkan oleh Allah sawt. yang ditujukan secara langsung juga kepada orang yang beriman, karena pada hakikatnya taat kepada Rasulullah adalah taat kepada Allah, “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa’: 80).

Justeru tidak berakhlak baik kepada Rasulullah dalam segala bentuknya dapat mengakibatkan hapusnya pahala kebaikan yang dilakukan oleh orang yang beriman.

Terdapat banyak pendapat para ulama tentang sikap dan perilaku yang mengakibatkan terhapusnya amal baik seseorang.

Imam Ath-Thabari, Ibnu Katsir dan Al-Qurthubi misalnya menyebutkan bahwa mensia-siakan amal adalah dengan melakukan kaba’ir (dosa-dosa besar. Pendapat seperti ini pernah dikemukakan oleh Hasan Al-Bashri dengan berhujjah dengan surat Al-Hujurat: 2, bahwa tidak beradab kepada Rasulullah merupakan dosa besar yang dapat menghapus pahala amal shalih seseorang.

Imam Qatadah pula berpendapat bahwa amal kebaikan akan sia-sia apabila setelah itu diiringi dengan kembali melakukan dosa dan kemaksiatan. Sedangkan Ibnu Abbas berpandangan bahwa amal kebaikan itu dikhawatirkan akan hapus pahalanya jika disertai dengan riya’ dan ‘ujub (berbangga diri).

Secara umum pendapat mereka berkisar pada segala jenis kemaksiatan dan dosa, apapun bentuknya dikhawatirkan akan menghapus dan mensia-siakan amal taat yang pernah dilakukan oleh seseorang.

Pandangan para ulama di atas diperkuat oleh sebab turun ayat ini seperti yang diriwayatkan oleh Abul Aliyah. Abul Aliyah menukil riwayat tentang sebab turun ayat ini bahwa para sahabat sebelum turun ayat ini memandang tidak masalah berbuat dosa karena mereka telah beriman, seperti juga mereka menganggap bahwa tidak ada gunanya amal jika disertai dengan syirik. Maka turunlah ayat ini yang menegur mereka agar berhati-hati dengan setiap dosa karena dapat mensia-siakan amal.

Oleh karena itu, seorang muslim “yang cerdas” adalah seorang yang mampu meneruskan musim ketaatan pasca Ramadhan. Demikian pula, sejatinya orang yang telah mengukir prestasi dengan beramal dan menjalankan ketaatan yang maksimal di bulan Ramadhan, sangat disayangkan jika setelah melewatinya kembali masuk dalam kelompok pelaku maksiat. Sebagaimana orang-orang yang sudah berhasil merasakan lezatnya ketaatan, indahnya ibadah, sangat disayangkan jika harus kalah dan kembali pada kesengsaraan karena berlumuran dosa dan kemaksiatan. Padahal di antara tanda diterimanya suatu amal ibadah seseorang adalah jika dia dapat konsisten dan lebih banyak lagi melakukan amal tanpa melihat waktu atau bulan tertentu dan tempat tertentu yang memiliki keutamaan. “Jadilah hamba Rabbani, dan bukan hamba Ramadhani.” Dan itulah makna hakiki dari firman Allah swt, “Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal)”. (Al-Hijr: 99).

So, jangan sia-siakan kebaikan ini dan jadikan “musim Ramadhan” terus mengisi waktu-waktu kita. Amin

Hijrah Spiritual dan Intelektual Menjelang Pergantian Tahun

Pada penghujung tahun ini, kita kembali dihadapkan pada dua pergantian tahun yang sama-sama dimaknai sebagai momentum penting dalam dinamika kehidupan umat manusia, yakni pergantian tahun Hijrah dan Masehi. Semangat yang muncul pada setiap pergantian tahun seringkali membawa kita pada imaji sebuah perubahan. Ya, tentu saja, kita memiliki harapan besar di balik perubahan itu agar kehidupan mendatang jauh lebih baik ketimbang kehidupan masa lalu.

Hijrah yang dilakukan oleh teladan umat sepanjang masa, Rasulullah Muhammad SAW, merupakan peristiwa heroik dalam upaya membangun kehidupan umat dari masa-masa yang kelam menuju masa-masa yang penuh pencerahan. Dari situlah semangat perubahan terus terabadikan dari generasi ke generasi. Simbol-simbol lahiriah ketika umat Muhammad berbondong-bondong melakukan “migrasi” akibat situasi chaos yang membuat kehidupan mereka merasa sangat tidak nyaman pun telah mengalami banyak pergeseran.

Dalam konteks keindonesiaan, simbol-simbol lahiriah di balik peristiwa hijrah semacam itu, jelas sudah jauh bergeser maknanya. Hijrah agaknya tak harus dimaknai bermigrasi dari satu tempat ke tempat lain, tetapi justru yang lebih penting adalah bagaimana agar kita mampu berhijrah dan bermigrasi secara spiritual dan intelektual. Spiritual berkaitan dengan fondasi rohaniah secara vertikal sebagai wujud sikap kepasrahan total kepada Sang Pemilik Kehidupan, sedangkan intelektual berkaitan dengan kepekaan akal budi dalam membangun semangat kesetiakawanan sosial secara horisontal di tengah kehidupan nyata.

Jika kedua nilai hijrah ini bisa diimplementasikan dalam kehidupan nyata, bisa jadi tak ada lagi para wakil rakyat yang diuber-uber KPK karena diduga menilap uang negara, penggusuran dan penyingkiran masyarakat miskin, atau berbagai aksi kekerasan yang nyata-nyata telah mengusik keharmonisan dan kedamaian hidup.

Nah, selamat menyongsong Tahun Baru 1430 Hijrah dan 2009 Masehi, semoga kita tetap bersemangat untuk melakukan sebuah perubahan besar pada tahun yang akan datang. **

Be careful about Najwa

“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan (pembicaraan rahasia) mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena semata-mata mencari ridha Allah, maka kelak Kami memberikan kepadanya pahala yang besar (surga)”. (An-Nisa’: 114)

Kata kunci (keyword) dalam ayat ini adalah “najwa“. Secara bahasa, najwa merupakan sebuah istilah yang menunjuk pada pembicaraan rahasia (berbisik-bisik) yang berlangsung antara dua orang atau lebih tentang sesuatu hal. Namun istilah ini lebih banyak berkonotasi negatif karena seringkali pada realitasnya, kebanyakan materi najwa adalah dalam konteks kemaksiatan dan tuduhan negatif tentang orang lain atau ghibah. Sampai Allah swt menafikan adanya kebaikan yang diharapkan dari model pembicaraan seperti ini. “Tidak ada kebaikan pada najwa” demikian klausul pertama dari ayat di atas melainkan jika materi yang dibicarakan adalah materi yang mengarah kepada kebaikan dan ishlah.

Ungkapan “kebanyakan” pada ayat di atas boleh jadi mengisyaratkan banyak dan maraknya aktivitas ini di tengah-tengah masyarakat. Bahkan seringkali dijadikan alternatif di sela-sela kejenuhan rutinitas dunia kerja atau di saat waktu luang dan kosong dari aktifitas yang bermanfaat. Padahal diantara indera manusia yang paling aktif dan produktif bekerja adalah mulut, sehingga indera ini perlu dikawal dan diarahkan kepada kebaikan. “Barangsiapa yang mampu menjaga lisannya dan anggota yang berada diantara kedua pahanya, maka aku jamin baginya surga”. (H.R. Tirmidzi) Demikian jaminan Rasulullah saw terhadap mereka yang mampu bersikap bijak dan arif dalam memanfaatkan anugerah Allah yang berupa lisan.

Dalam memahami ayat ini, sahabat Sofyan Ats-Tsauri, mengkaitkannya dengan hadits Rasulullah saw yang menyebutkan bahwa seluruh pembicaraan anak Adam akan memberikan keburukan kepadanya, kecuali jika dalam rangka berdzikir kepada Allah atau memerintah kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran. Tepat seperti tiga alternatif yang disodorkan Allah dalam konteks najwa: “kecuali bisikan-bisikan tentang memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia”. Karena jika tidak, dalam pembicaraan seseorang dengan saudaranya secara sembunyi-sembunyi seringkali diintai dan dijadikan perangkap syetan dalam rangka memperkeruh dan menyebabkan kedukaan di tengah orang-orang yang beriman, “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syaitan, supaya orang-orang yang beriman itu berduka cita”. (Al-Mujadilah: 10)

Secara korelatif dan berdasarkan susunannya dalam mushaf, ayat ini muncul setelah 9 ayat sebelumnya diturunkan berhubungan dengan peristiwa pencurian yang dilakukan oleh seorang laki-laki Anshor, Thu’mah bin Ubairiq. Ia menyembunyikan barang curian milik Qatadah bin An-Nu’man di rumah seorang yahudi, Zaid bin As-Samin agar tuduhan diarahkan kepadanya. Ketika peristiwa ini diketahui, Thu’mah tidak mengakui perbuatannya, mala ia menuduh orang yahudi yang mencuri barang itu. Bukan itu saja, kerabat-kerabat Thu’mah mengadukan kasus ini kepada Nabi dan meminta beliau membela Thu’mah dan menghukum yahudi, kendatipun mereka tahu bahwa yang mencuri barang itu adalah Thu’mah. Nabi sendiri hampir-hampir membenarkan tuduhan Thu’mah dan kerabatnya sampai turun ayat “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena membela orang-orang yang khianat”. (An-Nisa’: 105). Betapa kejahatan berawal dari tuduhan yang dilakukan secara kolektif yang merupakan materi yang banyak dibicarakan dalam najwa di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Ash-Shabuni, relevansi ayat di atas dengan ayat-ayat sebelumnya dapat dipahami dari tiga hal berikut: Pertama, apapun materi pembicaraan, baik secara rahasia (berbisik-berbisik) maupun terang-terangan tidak akan lepas dari pengetahuan Allah swt. Kedua, segala rencana dan usaha, meskipun dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dan rahasia akan diketahui Allah swt. Ketiga, tidak ada kebaikan yang diharapkan dari pembicaraan rahasia (berbisik-bisik) kecuali dengan tujuan kebaikan dan perdamaian (ishlah).

Secara tematis, pembahasan tentang tema “najwa” secara lebih luas ditemukan dalam surah Al-Mujadilah ayat 7 hingga ayat 10. Lebih khusus, larangan berbuat demikian secara tegas ditujukan kepada orang-orang yang beriman. “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang perbuatan dosa, permusuhan dan durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebaikan dan takwa. Dan bertakwalah kepada Allah yang kepadaNya kamu sekalian akan dikembalikan”. (Al-Mujadilah: 9). Menurut Al-Qurthubi, larangan yang ditujukan kepada orang yang beriman tentang perbuatan ini disertai dengan perintah mengenainya. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melakukan pembicaraan rahasia seperti yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan orang-orang Munafik. Tetapi lakukanlah dengan tujuan meraih ketaatan, ketakwaan dan menghindar diri dari apa yang dilarang Allah swt“.

Kebiasaan jelek dari najwa orang-orang yahudi dan munafik terungkap dari sebab nuzul surah Al-Mujadilah ayat 8. Berdasarkan riwayat yang dikemukakan oleh Al-Qurthubi, ayat ini turun secara khusus tentang orang-orang yahudi dan munafik yang biasa melakukan najwa sambil memandang orang-orang beriman dengan pandangan yang menghina dan merendahkan. Sungguh amat buruk prilaku mereka yang kecam oleh Allah swt. Tentu orang-orang beriman harus berbeda dan menghindari perilaku buruk seperti mereka.

Abu Hayan menambahkan, kebiasaan yahudi dan munafik dalam melakukan pembicaraan rahasia adalah dalam konteks perbuatan dosa secara umum, kemudian dalam konteks menyulut permusuhan yang akan memberatkan jiwa seseorang karena terdapat tindakan menzalimi orang lain, dan terakhir dalam konteks yang lebih besar dari itu yaitu untuk merencanakan tindakan penghinaan dan pendurhakaan terhadap Rasulullah saw. Demikian bentuk dan materi pembicaraan orang-orang yahudi dan munafik yang diungkap oleh Al-Qur’an secara berurutan.

Pembicaraan rahasia yang berunsur penghinaan dan pelecehan terhadap Nabi pernah dilakukan oleh para pemuka Quraisy ketika mereka diundang makan bersama Rasulullah saw. Setelah Rasulullah bersama mereka, beliau membacakan ayat Al-Qur’an dan mengajak mereka beriman kepada Allah swt. Maka para pemuka Quraisy berbisik-bisik diantara mereka dengan mengatakan, “ia (Muhammad) adalah tukang sihir, orang gila dan hanya membawa cerita-cerita dongeng belaka”. Begitu tuduhan yang disebarkan diantara mereka terhadap Rasulullah saw yang ternyata banyak dibicarakan dalam forum pembicaraan rahasia diantara mereka. Allah swt mengungkapkan kejadian ini dalam firmanNya, “Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu, dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata: “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir”. (Al-Isra’: 47).

Memang tergelincirnya pembicaraan seseorang dari ruang kebaikan dan takwa tidak terlepas dari peran syetan yang senantiasa berperan aktif dalam menghiasi pembicaraan rahasia diantara mereka. “Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu adalah dari syetan, supaya orang yang beriman itu berduka cita, sedang pembicaraan itu tidaklah memberi mudharat sedikitpun kepada mereka kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allahlah hendaknya orang-orang yang beriman itu bertawakkal”. (Al-Mujadilah: 10)

Dalam konteks sekarang, betapa kita harus lebih banyak waspada terhadap apapun jenis pembicaraan yang kita lakukan agar terhindar dari pembicaraan yang justru akan menjadi bumerang dan berdampak buruk kepada diri kita, apalagi di tengah hiruk pikuk pembicaraan yang banyak bernuansa negatif, berunsur provokatif dan berbau tuduhan dan fitnah. Padahal dengan tegas, Allah menyatakan, “Tiada suatu ucapanpun yang diucapkan oleh seseorang melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir”. (Qaaf: 18). Hanya kepada Allah kita memohon perlindungan diri dari segala bisikan syetan dalam setiap pembicaraan kita agar terlepas dari jerat kemaksiatan dan kesesatan yang dihembuskannya.

Boikot


- Cafe Starbucks telah menyumbang ke Israel setiap tahunnya dua milyar dollar Amerika dari keuntungannya. Sedangkan pabrik rokok Marlboro menyumbang 12 % keuntungannya ke Israel setiap tahunya. Inilah dukungan nyata perusahaan-perusahaan Amerika kepada Zionis Israel, yang dengannya Israel membantai kemanusiaan warga Palestina. Tak terkecuali anak-anak dan wanita.

Reaksi atas kebiadaban Israel beragam bentuknya, salah satunya adalah seruan boikot produk-produk yang menyumbang mereka.

Adalah Organisasi-organisasi Muslim di Malaysia menyerukan boikot terhadap produk-produk AS, termasuk Coca Cola dan franchise kedai kopi Starbucks dalam aksi protes yang mereka gelar hari ini di Masjid Nasional di Kuala Lumpur.

Asosiasi Konsumen Islam Malaysia dan Asosiasi Pengelola Restoran Muslim Malaysia sambut baik seruan ini. Mereka tidak lagi menyediakan minuman Coca Cola dalam menu di restoran-restoran mereka yang jumlahnya ribuan.

“Kami berharap konsumen Muslim secara penuh ikut serta mengirimkan pesan yang kuat pada Israel dan sekutu-sekutunya agar tidak terus menerus menganiaya umat Islam,” demikian pernyataan Asosisasi Konsumen di Malaysia.

Mantan perdana menteri Malaysia Mahathir Mohammad juga menyerukan boikot secara luas produk-produk AS dan mata uang dollar sebagai bentuk protes atas dukungan AS pada Israel. “Mereka tidak akan mati jika tidak menggunakan produk AS,” kata Mahathir yang ikut berunjuk rasa bersama 5.000 warga Malaysia di depan kedubes AS.

Seruan boikot produk AS pro Zionis juga dilontarkan dalam aksi massa di Italia. “Kita tidak bisa tinggal diam melihat apa yang terjadi di Gaza. Kami sudah mempertimbangkan untuk membuat daftar pengusaha yang memiliki kaitan dengan Tel Aviv, karena masyarakat tidak banyak tahu siapa saja mereka,” kata Giancarlo Desiderati, anggota lembaga perdagangan di Italia.

Di antara daftar produk Amerika lainnya adalah” McDonalds, BURGER KING, KENTUCKY, PIZZA HUT, COCA COLA, PEPSI COLA.

Bagaimana dengan Indonesia, konsumen besar yang menggunakan produk-produk tersebut, beranikah memboikot, sebagaimana negara-negara lainnya?

Basic Three

“Sesungguhnya Allah menyuruh berlaku adil dan berbuat ihsan, serta memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran” (An-Nahl: 90).

Ayat ini merupakan diantara sekian ayat yang terbilang paling akrab di telinga kaum muslimin karena biasa dijadikan ayat penutup yang dibaca oleh khatib sebelum mengakhiri khutbah jum’at atau khutbah hari raya. Secara cermat ditemukan bahwa redaksi ayat ini bersifat umum, karena perintah Allah dalam ayat ini tidak ditujukan kepada sasaran tertentu, misalnya “Ya’murukum” (memerintah kalian) seperti dalam ayat-ayat yang lain, tetapi cukup dengan kata “Ya’muru” (memerintah). Sehingga ayat ini harus dipahami sebagai ayat universal yang mengikat seluruh hamba Allah tanpa ada beban fanatisme golongan, ideologi, suku bangsa dan sebagainya. Karena secara fithrah memang manusia dilahirkan membawa prinsip-prinsip kebaikan yang diperintahkan dalam ayat ini dan membenci perilaku keburukan yang dicegah dalam ayat ini. Bahkan dengan tegas -karena melihat kandungan yang terangkum di dalam ayat ini- Abdullah bin Mas’ud ra sampai menyimpulkan bahwa ayat ini adalah ayat yang paling komprehensif (yang paling luas cakupannya) di dalam Al-Qur’an tentang kebaikan-kebaikan yang diperintahkan dan keburukan-keburukan yang harus dicegah.

Bagi Utsman bin Madh’un, ayat ini memiliki keistimewaan dan kesan tersendiri. Pada mulanya, ia memeluk Islam hanya karena malu dengan Rasulullah saw. Namun ketika ia berada di sisi Rasulullah saw dan ikut menyaksikan peristiwa saat ayat ini turun, ia merasakan satu kekuatan iman yang menembus ke dalam hatinya. Ia mulai yakin akan keagungan prinsip-prinsip hidup dan kehidupan yang akan ditegakkan oleh Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bahkan berbangsa dan bernegara.

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad mengenai sebab turun ayat ini, bahwa Abdullah bin Abbas menceritakan, “Ketika Rasulullah saw sedang duduk di halaman rumahnya, tiba-tiba Utsman bin Madh’un melintas di depan. Maka Rasulullah memanggilnya dan mengajaknya duduk bersama. Namun ketika sedang berlangsung pembicaraan diantara keduanya, tiba-tiba Rasulullah menengadahkan pandangannya ke langit beberapa saat, kemudian menundukkan kepalanya dan bergeser dari tempat duduknya ke sebelah kanan. Beliau menganggukkan kepala seakan-akan mengiyakan apa yang disampaikan kepadanya. Selang beberapa saat, beliau kembali mengangkat pandangannya ke langit seperti yang terjadi pada kali pertama, lantas beliau kembali ke tempat duduknya di samping Utsman bin Madh’un. Maka melihat kejadian yang tidak biasa tersebut, Utsman bertanya kepada Rasulullah saw, “Hai Muhammad, kenapa aku melihat engkau tadi mengangkat pandanganmu ke langit dan mengangguk-anggukan kepala seakan-akan mengiayakan sesuatu dan engkau bergeser menjauh dariku?”. Rasulullah balik bertanya, “Apakah engkau tadi memperhatikan apa yang terjadi?”. Utsman menjawab singkat, “Ya”. Rasulullah berkata, “Telah datang kepadaku tadi seorang Rasul Allah”. Dengan nada terkejut Utsman bertanya, “Seorang Rasul Allah?”. Rasulullah menjawab, “Benar”. Utsman bertanya lagi, “Apakah yang ia sampaikan kepadamu?”. Rasulullah menjelaskan, “Ia datang membawa wahyu kepadaku” Lantas Rasulullah membacakan surah An-Nahl ayat 90″.

Dalam riwayat Al-Qurthubi, setelah kejadian ini, dengan modal keyakinan yang mendalam Utsman bin Madh’un lantas membacakan ayat ini kepada Al-Walid bin Al-Mughirah, seorang yang sangat dikenal piawai dalam dalam bidang sastra di kalangan orang-orang Arab pada masa itu. Demi mendengar ayat tersebut dibacakan kepadanya, spontan keluar dari lisannya pernyataan yang memeranjatkan semua orang, termasuk para pemuka Quraisy yang memang menaruh dendam kepada Rasulullah, “Demi Allah, sungguh Al-Qur’an ini memiliki kelezatan dan keindahan. Di atasnya berbuah dan di bawahnya berakar, dan ini bukanlah kata-kata manusia”. Bahkan diriwayatkan bahwa Al-Walid meminta Utsman untuk mengulangi bacaan ayat ini.

Berdasarkan komprehensifitas kandungan ayat ini, terdapat tiga prinsip yang terangkum di dalamnya yang ditawarkan oleh Al-Qur’an agar dijadikan landasan dalam upaya membangun umat dan menata sebuah masyarakat, yaitu prinsip keadilan, prinsip ihsan dan prinsip takaful yang dicontohkan dalam skala mikro dengan memberi bantuan kepada kaum kerabat. Ketiga sendi ini merupakan landasan aplikatif untuk membendung dan mengantisipasi gerak Al-Fahsya’ yaitu segala perbuatan yang didasarkan pada pemenuhan hawa nafsu, seperti zina, minuman yang memabukkan dan sebagainya. Al-Munkar, yaitu perbuatan buruk yang bertentangan dengan akal sehat, seperti mencuri, merampok dan tindakan aniaya lainnya. Al-Baghyu, yaitu tindakan yang mengarah kepada permusuhan, seperti kezaliman, tindakan sewenang-wenang dan sebagainya. Ketiga kekuatan perusak ini merupakan penyakit masyarakat yang akan senantiasa merongrong keutuhan dan eksistensi umat. Karenanya, sebuah masyarakat tidak mungkin bisa tegak di atas dasar kekejian, kemungkaran dan permusuhan. Demikian juga, sebuah masyarakat yang telah tersebar di tengah-tengahnya perbuatan keji dengan segala warna dan kemasannya, kemungkaran dengan segala daya tariknya dan permusuhan dengan segala bentuknya tidak akan mungkin bangkit dari keterpurukan dan senantiasa berada dalam kesengsaraan.

Ibnu Katsir mengomentari bahwa dalam ayat ini Allah memerintahkan semua hamba-hambaNya agar menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan dalam semua urusan dan selanjutnya menganjurkan bersikap ihsan dalam setiap perbuatan. Maka ayat ini merupakan dalil akan perintah berlaku adil dan anjuran untuk bersikap ihsan. Sedangkan hubungan yang ketara antara adil dan ihsan adalah bahwa keadilan merupakan sebuah kewajiban syariat, sedangkan ihsan merupakan sikap yang lebih di atas sikap adil. Karenanya berusaha mencapai derajat ihsan dalam semua perbuatan merupakan satu hal yang sangat dianjurkan.

Berbeda dengan Syekh Abu Hamid Al-Ghozali. Ia menuturkan pandangannya tentang konsep adil dan ihsan sebagai sebuah perintah yang harus dilaksanakan secara bersamaan. Ia menyatakan bahwa melalui ayat ini, Allah memerintahkan hambaNya agar bersikap adil dan ihsan secara bersamaan. Karena sikap adil hanya akan membawa kepada keselamatan. Seperti halnya dalam aktifitas perniagaan, hanya mengembalikan modal. Sedangkan sikap ihsanlah yang akan memberikan kemenangan dan kebahagiaan. Yaitu keuntungan yang lebih dari modal dalam konteks perniagaan. Sehingga, sepatutnya seorang hamba Allah tidak cukup berpuas hati karena hanya mampu melaksanakan adil tanpa dibarengi dengan ihsan. Oleh karenanya, Allah menggandengkan kedua sikap ini dalam ayatNya. Bahkan, Allah justru banyak memuji sikap ihsan di dalam ayat-ayatNya. Diantaranya, “Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan ihsan”. (Al-Kahfi: 30). “Dan berbuat ihsanlah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat ihsan kepadamu”. (Al-Qashash: 77)

Dalam konteks ini, Sayid Qutb memaparkan pemahaman tafsirnya dengan pendekatan ijtima’i yang menjadi ciri khas tafsirnya, bahwa di ayat inilah Al-Qur’an datang dengan membawa mabadi’ (prinsip-prinsip) yang akan menguatkan simpul-simpul yang terjalin di dalam sebuah masyarakat yang akan menjadi penenang bagi setiap individu, umat dan bangsa. Allah mengawalinya dengan prinsip Al-Adl yang harus dijadikan penopang sebagai kaidah yang baku dalam pergaulan sehari-hari. Terlebih lagi, prinsip Al-Adl di dalam ayat ini digandengkan dengan Al-Ihsan untuk melembutkan ketajaman keadilan yang solid. Karena kata Ihsan lebih luas penunjukannya. Maka ihsan mencakup seluruh sendi-sendi kehidupan dari hubungan seorang hamba dengan Rabbnya, hubungan dengan keluarganya, masyarakatnya dan dengan kemanusiaan dalam arti yang luas.

Menurut susunan kalimat dalam ayat ini, penyebutan “Ita’idzil Qurba” (memberi kepada kaum kerabat) setelah Al-Adl dan Al-Ihsan adalah untuk menunjukkan bentuk konkret salah satu dari perbuatan ihsan. Penyebutan khusus kalimat ini hanyalah dalam konteks ta’dzim (pengagungan) terhadap hubungan dengan kaum kerabat dan sebagai ta’kid (penegasan) terhadap konsep ihsan tersebut yang bisa dilakukan secara bertahap, dari wilayah yang paling dekat sampai ke wilayah yang jauh yang meliputi seluruh anggota masyarakat.

Betapa paksi keadilan, ihsan dan takaful dalam struktur bangunan masyarakat ini terasa semakin lenyap dan hilang dari kesehariannya, baik dalam skala pribadi, keluarga maupun masyarakat. Kalaupun ada, masih sangat terbatas dan sangat rapuh. Sedangkan tiga kekuatan penghancur yang tampil dalam kemasan kekejian, kemungkaran dan permusuhan justru semakin menunjukkan eksistensi kekuatannya di tengah umat yang sedang berusaha bangkit dari keterpurukan. Tiga kekuatan ini muncul serentak dalam beragam bentuk dan warnanya. Cukuplah ayat ini menjadi wejangan yang sangat berharga untuk mengembalikan izzatul Islam wal Muslimin. “Dia (Allah) memberi pengajaran kepadamu (dengan ayat ini) agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Allahu a’lam

Hijra Again

“Wahai kaum muslimin, kalian sudah sangat tahu urusan agama kalian, sampai tak ada satu pun di antara kalian yang tak mengetahuinya. Kalian juga tahu persoalan negeri ini hingga telah sampai kewajiban jihad kepada kalian semua. Atau apakah belum sampai juga pada kalian? Ya Allah, maka saksikanlah!! Berjihadlah wahai umat Islam!! Berjihadlah wahai kaum muslimin!!” Tegas Izzuddin Al-Qossam, imamnya syuhada Palestina, saat khutbah terakhir menjelang syahidnya.

Cahaya matahari menjadi saksi atas syahidnya seorang ulama mujahid. Syekh Al-Qossam, namun semangatnya masih tetap membakar jiwa seluruh rakyat Palestina. Sampai sekarang, namanya bahkan masih bisa membuat pasukan Israel terkencing-kencing, karena ia menjelma menjadi sekelompok ksatria yang mewarisi semangatnya: Brigade Syahid Izzuddin Al-Qossam.

Subuh adalah sepenggal waktu yang nyaman untuk dinikmati. Karena oksigen masih fresh seperti siraman embun yang jatuh ringan menutupi permukaan bumi. Subuh adalah sebening anak pra aqil baligh yang belum berdosa.Tapi perasaan nyaman terhadap subuh tidak terjadi di Akhros sebuah desa di dataran rendah seputar Haifa.

Sungguh, tiba-tiba subuh tidak lagi bening dan hening. Tikar sajadah baru saja dilipat. Lidah masih basah dengan wirid shabah. Tak ada teh panas yang dapat dinikmati, apalagi roti sebagai penganan pagi. Tidak perduli dengan segala burung yang bernyanyi merayakan datangnya matahari yang membagi sinarnya ke bumi. Pagi itu tepat 20 September 1935, Syekh Al-Qossam dan para sahabatnya harus berhadapan langsung dengan para penyerang yang datang tiba-tiba dari tiga penjuru sekaligus.

Dentuman senjata berat dan ledakan-ledakan terdengar mengusik keindahan pagi dan menyapu hawa dingin dengan panas mesiu. Kilatan senjata pembunuh itu merobek keceriaannya dan menggantinya dengan kepulan awan hitam yang meringis. Serangan membabi buta itu tidak meninggalkan sepenggal rasa kemanusiaan sedikitpun. Inggris dan Yahudi membumi hanguskan pemukiman Syekh Al-Qossam untuk mengakhiri perlawanannya.

Setelah beberapa jam membombardir, serangan itu terhenti tetapi serentetan tembakan sporadis masih terdengar, kemudian sepi. Sebuah ledakan mengguncang, kemudian sunyi kembali. Alam menjadi saksi atas pertempuran yang tak seimbang itu. Inggris mengerahkan 400 tentaranya demi menumpas puluhan pengikut Syekh Al-Qossam.

Di ufuk timur deretan awan lengkung seperti alis yang menyiratkan suasana kelam. Serentetan tembakan kembali terdengar, horison pun kini senyap seperti mata yang pejam. Sebuah ledakkan kembali berguncang, namun tiba-tiba langit seolah mengangkat pelupuknya, dan nyalang terbuka. Dipandanglah matahari, muram dan merah. Dengan berat ditataplah bumi, para pejuang tersungkur, tubuh-tubuhnya hancur, tanah bersimbah darah… Mentari yang baru muncul tak menemukan keceriaan pagi selamanya.

“Pasukan kami telah memasuki permukiman itu, dan sekarang mereka telah menguasai. Sekarang tidak ada konfrontasi, siapapun yang membawa senjata akan ditangkap,” kata komandan operasi Kerajaan Inggris.

“Kami sedang mengejar para buronan dan menahan mereka. Dalam beberapa jam ke depan operasi ini akan membawa hasil penuh.”

Sebelum peristiwa penyerbuan tentara Inggris dan sekutunya itu, sebenarnya Syekh telah mengambil ancang-ancang menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi dengan melatih para petani dan masyarakat untuk memegang senjata di dataran tinggi Junein. Namun sebelum revolusi sempat dikobarkan, Inggris dan Yahudi lebih dulu menyapu mereka dengan memperalat tentara Arab dan Palestina..

Syekh Al-Qossam bersama para sahabatnya bisa saja meloloskan diri, namun pantang baginya melarikan diri dari medan pertempuran. Pada waktu itu pasukannya berada pada tempat yang tidak menguntungkan untuk mengadakan perlawanan. Saat itu pasukannya berada di dataran rendah sedangkan musuh berada di balik perbukitan.

Inggris yang licik berhasil memperalat badan keamanan Arab Palestina untuk melancarkan aksinya membungkam perlawanan Syekh dengan meletakkan mereka di 3 barisan pertama. Siasat licik ini dijalankan setelah sebelumnya Inggris menuduh Izzuddin dan lainnya adalah perampok yang selalu membajak pedagang yang sering melewati kawasan tersebut.

Sebelum perlawanan dimulai, Syekh mengingatkan agar jangan melukai pasukan Arab karena mereka cuma diperalat dan tidak tahu apa-apa. Lalu ia mengumandangkan syiar: “Hadzaa jihadun fi sabilillah wal wathon, wa man kaana hadza jihaduhu la yastaslim lighoirillah” dan menyerukan: “muutuu syuhada’….!”

Penyerbuan atau lebih tepat sebagai pembantaian itu dimulai pukul 05.30 pagi dan berlangsung selama 4,5 jam. Setelah melakukan perlawanan keras, akhirnya Al-Qassam, Yusuf Al-Zaibari, Muhammad hanafi Al-Misri menemui Syahadah dan 4 orang tertangkap yaitu Arobi Badawi, Muhammad Yusuf, Ahmad Jabir, Hasan Al-Bari dan 2 orang tertangkap karena terluka, Namar bin As- Sa’adi dan As’ad Al-Muflih.

Mendung menyelimuti Haifa, mengiringi kepergian sang mujahid sejati yang dikenal sangat peduli dengan rakyat kecil. Jasadnya dimakamkan di kampung halamannya dekat Haifa.

Muhammad Izzuddin bin Abdul Qodir Mushthofa Al-Qosam, lahir di daerah pegunungan Qadha Al-Ladziqiyyah, Syria pada tahun 1882. Belajar di Al-Azhar dan ketika kembali di kampung halaman, ia langsung terjun ke medan da’wah. Ia sangat lihai berpidato. Kelihaiannya itu ia manfaatkan untuk mendakwahkan Islam kepada orang banyak. Sampai akhirnya menjadi khatib tetap di Masjid Raya Al-Manshur, Jabalah.

Keindahan gaya bahasa yang digunakannya sangat menyentuh hati para hadirin. Muhadharahnya disenangi dan ditunggu-tunggu oleh kaum muslimin. Kepiawaiannya memilih kata-kata bisa membangkitkan kesadaran hadirin untuk kembali berpegang teguh dengan ajaran agama Islam.

Ia selalu menekankan sifat tawadhu’, akhlak mulia, kecerdasan berinteraksi, istiqomah, pengendalian diri, meluaskan cara pandang, zuhud, sederhana, ikhlas serta siap berkorban tenaga, waktu dan istirahat demi Islam dalam setiap muhadharah yang disampaikannya. Hal-hal yang didakwahkannya ini senantiasa diusahakan agar dapat teraplikasi dalam keseharian dan benar-benar menjadi qudwah yang dicintai masyarakatnya.

Satu hal yang tak pernah lepas dari kehidupannya adalah kepeduliannya terhadap orang miskin dan dhuafa. Para petani diziarahinya sampai ke ladang-ladang tempat mereka bekerja. Para buruh tak lupa disapa dan diajaknya berbincang walaupun hanya sebentar. Ia tak segan-segan menemani mereka di meja makan atau membantu menyelesaikan pekerjaan mereka sekalipun hanya sesaat.

Menjalin ukhuwah dan gemar bermu’ayasah (berinteraksi di tengah-tengah masyarakat) benar-benar dihayati dan diterapkan dalam kehidupannya. Karena melalui jalan inilah seorang da’i mengerti dan memahami kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Inilah salah satu kunci keberhasilan Syekh Izzuddin dalam da’wahnya mengenalkan Islam kepada masyarakat di sekitarnya yang patut diteladani.

Beliau juga adalah salah seorang pemimpin gerakan revolusi Syria saat melawan Prancis antara 1918-1920, dan pindah ke Palestina setelah revolusi berakhir dan tinggal di Haifa.

Al-Syekh dikenal juga sebagai seorang pemberani. Beliaulah ulama yang paling banyak bersentuhan dengan jihad, suatu hari ia berkata di atas mimbar “Saya melihat seorang pemuda membawa sapu untuk menyapu jalan dan ia di tuduh membawa senapan, dan saya melihat seorang membawa sikat untuk menyemir sepatu dan ia di tuduh membawa pistol untuk membunuh orang asing”.

Tahun 1925 Al-Syekh mulai mendirikan gerakan jihad yang diyakininya sebagai satu-satunya sarana untuk membebaskan Palestina. Amil Al Ghouri berpendapat bahwa, “Gerakan ini merupakan gerakan yang paling berbahaya dalam sejarah gerakan perlawanan bangsa Palestina, bahkan sejarah arab secara keseluruhan.” Gerakan ini mendapat sebutan Organisasi jihad (Al Munazhamah Al-Jjihadiyyah). Tetapi sepeninggal Al-Qassam organisasi ini lebih terkenal dengan sebutan “Jamaah Al-Qassam atau Al-Qassamiyyun” dan slogan dari jihad mereka adalah: ini adalah jihad kemenangan atau mati syahid.

Jamaah ini tidak menerima keanggotaan kecuali setelah disaring dengat sangat ketat. Dan tidak menjadi anggota Jamaah kecuali sebagai seorang mukmin yang siap untuk mati demi membela tanah airnya yaitu seorang yang beragama dan berakidah yang benar.

Al-Qassam diangkat menjadi imam masjid Al-Istiqlal di Haifa, hal ini semakin memperkokoh kedekatannya untuk berhubungan langsung dengan masyarakat dan mencari unsur-unsur pendukung dalam masyarakat. Pada kesempatan yang sama beliau ditunjuk menjadi ketua organisasi pemuda muslim di Haifa. Maka gerakannya semakin meluas ke daerah-daerah dengan mendirikan cabang-cabang bagi organisasi yang pada akhirnya menjadi tempat berlindung bagi anggota-anggota jamaah Al-Qassam di daerah masing-masing.

Kepemimpinan jamaah ini baru tebentuk pada tahun 1928, dan diantara pendukungnya adalah Al Abdu’a, Mahmud Za’rurah, Muhammah Al-Shalih, Khalil Muhammad Isa. Dan pusat pergerakan ini adalah di Haifa. Dan ketua jamaah bertanggung jawab untuk mengatur dan menentukan kebijakan dan keputusan yang penting. Pada tahun 1935 jumlah anggota ini telah mencapai 200 orang yang kebanyakan adalah para juru dakwah yang memilik basis sampai 800 orang.

Gerakan ini terbagi menjadi lima bidang yaitu; bidang pembelian senjata, bidang pelatihan, bidang mata-mata kepada Yahudi dan Inggris ( kebanyakan dari anggotanya adalah mereka yang berada di militer dan birokrasi), bidang propaganda revolusi dan hubungan politik. Pendanaan diambil dari anggota dan para donatur,

Diantara metodenya adalah setiap anggota wajib belajar menggunakan senjata, dan siap untuk melakukan peperangan dalam kondisi apapun di saat telah di umumkan jihad, setiap anggota wajib mempersiapkan sendiri perbekalan dan persenjataannya. Walau mereka kesulitan dan tidak mampu mempersiapkan itu, namun banyak diantara mereka yang rela tidak makan demi untuk membeli senjata dan demi persiapan perang itu sendiri.

Fase perpindahan kepada perlawanan bersenjata, pada akhir tahun 1928, pada bulan agustus 1929 tejadi revolusi kilat (Al-Barraq) sebagai langkah permulaan untuk menguatkan mentalitas para anggota, dan yang bertindak sebagai Pemimpin adalah Al-Qassam sendiri. Ketika genderang perang ditabuh pada tahun 1935 menurut Subhi Shalih –salah seorang anggota-Al- Qassam telah memiliki 1000 pucuk senjata dan basis pertahanan di Al-Ladziqiyyah.

Meskipun Jamaah ini baru mengumumkan perang pada tahun terakhir, tetapi ia telah melakukan berbagai penyerangan-penyerangan antara 1930-1932 sebagai sarana untuk menghilangkan rasa takut dalam diri anggota, mengadakan presure atas pemerintah Arab, Inggris dan Yahudi.

Pada bulan november 1935 Jamaah Al-Qassam ‘Al-Jihadiyyah’ mengumumkan perang! Dan pada akhir bulan oktober, setelah beliau menjual rumahnya di Haifa, kemudian diikuti oleh beberapa anggota yang lain menjual perhiasan milik istrinya, dan menjual sebagian perabot rumah tangga mereka untuk mendapatkan persenjataaan.

Al-Qassam telah mempelopori munculnya revolusi besar 1936-1939. di daeran Nur Al Syams 15 april 1936 yang dipimpin oleh Al Syekh Farhan As-Sa’adi. Sebagaimana mereka juga mempelopori timbulnya gerakan perlawanan 26 september 1937 dengan terbunuhnya seorang gubernur Inggris untuk wilayah Al Jalil “Andrus”.

Lagi-lagi Al-Qassam memiliki andil dalam mengatur dan memimpin revolusi (tiga dari enam pemimpinnya berasal dar Al-Qassam) yang di pilih pada 2 september 1936 dengan Fauzy Al-Qawqaji sebagai pemimpin umum yang berlangsung sampai berakhirnya revolusi 12 oktober 1936.

Di wilayah selatan Palestina yang menjadi pemimpin adalah Abu Ibrahim Al Kabir Al-Qassami, dan kebanyakan dari para pemimpin di daerah ini adalah anggota Al-Qassam (Abu Muhammad al Shofuri, Sulaiman Abdul Jabbar, Abdullah Al Asbah, Taufik Ibrahim, abdullah Al Syair). Di daerah Nablus bendera diusung oleh empat pemimpin, dua diantaranya anggota Al-Qassam, dan masik banyak lagi di tempat-tempat lain. Secara umum Al-Qassam memiliki peran yang sangat strategis dalam revolusi Palestina baik sebagai pemimpin, prajurit, pengambil kebijakan dan strategi perang.

Ketika diumumkan perang besar 1947-1948, tampillah pasukan Al-Qassam di bawah kepemimpinan Al-Hajj Amin Al-Husain sebagai panglima jihad suci (Jihad Al Muqaddass) bersama tentara penyelamat yang dipimpin oleh Fauzi Al-Qawqaji. Di wilayah selatan mereka tetap ikut ambil bagian dalam pertempuran-pertempuran meskipun bukan dari unsur mereka yang menjadi pemimpin. Dan mereka tetap berjihad mengikuti pemimpin tertinggi tersebut.

Al-Qossam hanyalah sebatang busur, dan para sahabatnya laksana anak panah yang meluncur. Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian. Direntangkan-Nya busur itu dengan kekuasaan-Nya hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat. Meliuk dalam suka cita rentangan tangan Sang Pemanah. Sang Pemanah mengasihi anak panah yang melesat laksana kilat, sebagaimana pula dikasihi-Nya busur yang mantap.

Keteladanan yang bisa ditiru dari perjuangan beliau adalah keikhlasan, pengorbanan dan senantiasa menebarkan kehangatan dengan orang-orang di sekitarnya. Sifat-sifat ini sangat membantu kesuksesan dalam medan da’wah, jalan yang ditempuh oleh para Nabi utusan Allah. Al-Qossam dan para sahabatnya telah menjadi penghuni rumah masa depan yang kini tengah dinikmatinya. Al-Qossam telah menjadi milik zaman dan sejarahnya. Birruuh…biddaam…nafdika ya Islam… !!!

The Next Hijra

Allah berfirman, “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (An-Nisa: 100)

Sejarah demi sejarah telah kita lalui, banyak kisah yang telah terlewatkan, namun sedikit di antara kita yang menyadari, bahkan kadangkala tidak mengerti akan esensi yang terkandung dalam sejarah yang pernah dilalui, padahal Allah tidak menjadikan suatu peristiwa dengan sia-sia, namun ada dibalik itu ibrah (pelajaran) yang patut diambil dan diingat untuk dijadikan barometer terhadap kehidupan yang akan dijelang. “Sesungguhnya dalam kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, akan tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman”. (Yusuf: 111)

Banyak sejarah dan peristiwa yang telah digoreskan oleh nabi Muhammad saw –panglima para nabi, penyeru kebaikan, pendobrak kebatilan dan pembawa rahmat ke segala penjuru alam- sejak nabi saw dilahirkan dari rahim ibunya hingga selesai menunaikan tugasnya sebagai utusan Allah dengan hasil; terbentuknya komunitas yang beriman kepada Allah, bebas dari kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan, komunitas yang selalu memberikan dan memelihara keamanan, kesejahteraan dan ketenteraman; baik sesama muslim ataupun terhadap non-muslim yang hidup di sekitar mereka.

Di antara goresan sejarah yang sangat monumental dalam perjalanan hidup Rasulullah saw adalah peristiwa hijrah Rasulullah saw dan sahabatnya dari kota Mekkah ke kota Madinah. Dalam peristiwa tersebut tampak sosok manusia yang begitu kokoh dalam memegang prinsip yang diyakini, tegar dalam mempertahankan aqidah, dan gigih dalam memperjuangkan kebenaran. Sehingga sejarah pun dengan bangga menorehkan tinta emasnya untuk mengenang sejarah tersebut agar dapat dijadikan tolok ukur dalam pembangunan masyarakat madani dan rabbani, tegak di atas kebaikan, tegas terhadap kekufuran dan lemah lembut terhadap sesama muslim.

Pengertian Hijrah

Para ahli bahasa berbeda pendapat dalam mengartikan kata “hijrah” namun kesemuanya berkesimpulan bahwa hijrah adalah menghindari/menjauhi diri dari sesuatu, baik dengan raga, lisan dan hati. Hijrah dengan raga berarti pindah dari suatu tempat menuju tempat lain, seperti firman Allah, “dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” (An-Nisa: 34), dan hijrah dengan lisan berarti menjauhi perkataan kotor dan keji, seperti firman Allah, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” (Muzammil: 10), sementara hijrah dengan hati berarti menjauhi sesuatu tanpa menampakkan perbuatan, seperti firman Allah, “Berkatalah Rasul: ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an ini suatu yang tidak diacuhkan’ “. (Al-Furqan: 30). Dan bisa juga berarti dengan semuanya, seperti firman Allah, “dan perbuatan dosa, maka jauhilah” (Al-Muddatstsir: 5)

Adapun makna hijrah menurut Al-Qur’an memiliki beberapa pengertian, dimana kata hijrah disebutkan dalam Al-Qur’an lebih 28 kali di dalam berbagai bentuk dan makna; ada dalam bentuk kata kerja untuk masa lampau yaitu sebanyak 12 kali, atau kata kerja untuk masa sekarang dan akan datang yaitu sebanyak 3 kali, atau dalam bentuk perintah sebanyak 6 kali, masdar (kata keterangan) yaitu sebanyak 1 kali, ataupun dalam bentuk subyek, yaitu sebanyak 6 kali, baik dalam bentuk singular 1 kali atau plural umum 4 kali atau khusus wanita 1 kali.

Adapun makna hijrah itu sendiri seperti yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an adalah sebagai berikut:

1. Hijrah berarti mencela sesuatu yang benar karena takabur, seperti firman Allah, “Dengan menyombongkan diri terhadap Al-Qur’an itu dan mengucapkan perkataan-perkataan keji” (Al-Mu’minun: 67)
2. Hijrah berarti pindah dari suatu tempat ke tempat yang lain guna mencari keselamatan diri dan mempertahankan aqidah. Seperti firman Allah, “Barangsiapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak”. (An-Nisa: 100)
3. Hijrah berarti pisah ranjang antara suami dan istri, seperti firman Allah, “Dan pisahkanlah mereka dari tempat tidur mereka” (An-Nisa: 34)
4. Hijrah berarti mengisolir diri, seperti ucapan ayahnya Nabi Ibrahim kepada beliau, “Dan tinggalkanlah aku dalam waktu yang lama”. (Maryam: 46)

Hakikat Hijrah
Dari makna hijrah di atas dan melihat perjalanan dakwah Rasulullah saw seperti yang terekam dalam ayat-ayat Al-Qur’an Al-Karim, dapat disimpulkan bahwa hakikat hijrah terbagi pada dua bagian:

1. Mensucikan diri

Hijrah dalam arti menjauhi kemaksiatan dan menyembah berhala, seperti dalam firman Allah, “Dan perbuatan dosa, maka jauhilah” (Muddatstsir: 5) dan firman-Nya, “Dan bersabarlah terhadap apa yang mereka ucapkan dan jauhilah mereka dengan cara yang baik” (Muzammil: 10)

Kedua ayat di atas turun di masa Rasulullah saw memulai dakwah, pada saat itu nabi saw diperintahkan oleh Allah untuk menjauhi diri dari perbuatan keji dan mungkar dan dari mengikuti perbuatan syirik dan dosa seperti yang dilakukan oleh orang musyrik di kota Mekkah saat itu. Sehingga dengan hijrah; hati, perkataan dan perbuatan menjadi bersih dari segala maksiat, dosa dan syirik.

Di samping itu Allah juga memerintahkan kepada Beliau untuk bersabar terhadap cacian, cercaan, makian, siksaan, intimidasi dan segala bentuk penolakan yang bersifat halus dan kasar, dan berusaha untuk menghindar dari mereka dengan cara yang baik.

Cara ini pula yang diterapkan oleh Rasulullah dalam berdakwah kepada para sahabatnya hingga pada akhirnya beliau berhasil mencetak generasi yang berjiwa bersih, berhati suci, bahkan membentuk generasi yang ideal, bersih dari kemusyrikan, kekufuran dan kemunafikan, kokoh dan tangguh, dan memiliki ikatan ukhuwah islamiyah yang erat. Padahal sebelumnya mereka tidak mengenal Islam bahkan phobi terhadapnya, namun setelah mengenal Islam dan hijrah ke dalamnya, justru menjadi pionir bagi tegaknya ajaran Islam. Kisah sang khalifah Umar bin Khathab ra, menarik untuk kita simak; beliau di masa awal dakwah sebelum memeluk Islam dikenal dengan julukan “penghulu para pelaku kejahatan”, namun setelah hijrah beliau menjadi pemimpin umat yang disegani, tawadhu dan suka menolong orang miskin, beliau menjadi tonggak bagi tegaknya ajaran Islam.

Begitupun dengan kisah Khalid bin Walid, Abu Sofyan dan sahabat yang lainnya, menjadi bukti kongkret akan perjalanan hijrah mereka dari kegelapan, kekufuran dan kemaksiatan menuju cahaya Allah. Karena itu pula Rasulullah saw pernah bersabda, “Sebaik-baik kalian di masa Jahiliyah, sebaik-baik kalian di masa Islam, jika mereka mau memahami”.

Hijrah secara umum artinya meninggalkan segala macam bentuk kemaksiatan dan kemungkaran, baik dalam perasaan (hati), perkataan dan perbuatan.

Hijrah ini juga merupakan sunnah para nabi sebelum Rasulullah saw diutus, dimana Allah memerintahkan para utusannya untuk melakukan perbaikan diri terlebih dahulu, seperti nabi Ibrahim, di saat beliau mencari kebenaran hakiki dan menemukannya, beliau berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya saya akan pergi menuju Tuhan saya, karena Dialah yang akan memberi hidayah kepada saya”. Begitu pula dengan kisah nabi Luth saat beliau menyerukan iman kepada kaumnya, walaupun kaumnya mendustakannya, dan bahkan mengecam dan mengancam akan membunuhnya, namun beliau tetap dalam pendiriannya dan berkata, “Sesungguhnya saya telah berhijrah menuju Tuhan saya, sesungguhnya Dialah yang Maha Perkasa dan Bijaksana”. (Al-Ankabut: 26)

Hijrah ini sangatlah berat, karena di samping harus memiliki kesabaran, juga dituntut memiliki ketahanan ideologi dan keyakinan agar tidak mudah terbujuk rayuan dan godaan dari kenikmatan dunia yang fana, dan memiliki ketangguhan diri dan tidak mudah lentur saat mendapatkan cobaan dan siksaan yang setiap saat menghadangnya, berusaha membedakan diri walaupun mereka hidup di tengah-tengah mereka, karena ciri khas seorang muslim sejati “yakhtalitun walaakin yatamayyazun” (bercampur baur namun memiliki ciri khas tersendiri/tidak terkontaminasi).

Adapun urgensi dari hijrah ini sangatlah besar, dimana suatu komunitas tidak akan menjadi baik kalau setiap individu yang ada dalam komunitas tersebut telah rusak, namun sebaliknya; baiknya suatu komunitas bergantung kepada individu itu sendiri. Karena -dalam rangka membentuk komunitas yang bersih, taat kepada Allah dan syariat-syariat-Nya- pengkondisian sisi internal melalui pembersihan jiwa dan raga dari segala kotoran, baik hissi (bathin) dan zhahiri (tampak) merupakan hal yang sangat mendasar sekali sebelum melakukan perbaikan terhadap sisi external.

Demikianlah hendaknya yang harus kita pahami akan makna dan hakikat hijrah, dimana krisis multidimensi sudah begitu menggejala dalam tubuh umat Islam, dan diperparah dengan terkikisnya norma-norma Islam dalam tubuh mereka; perlu adanya pembenahan diri sedini mungkin, diawali dari diri sendiri, lalu setelah itu anggota keluarga, lingkungan sekitar dan masyarakat luas.

2. Pindah Dari Suatu Tempat Ke Tempat Yang Lain

Dalam ayat-ayat yang berkenaan tentang hijrah banyak kita temukan bahwa mayoritas dari pengertian hijrah adalah pindah dari suatu tempat ke tempat yang lainnya, ataupun secara spesifik berarti pindah dari suatu tempat yang tidak memberikan jaminan akan perkembangan dan keberlangsungan dakwah Islam serta menjalankan syari’at Islam ke tempat yang memberikan keamanan, ketenangan dan kenyamanan dalam menjalankan syariat Islam tersebut.

Namun hijrah dalam artian pindah tempat tidak akan berjalan dan terealisir jika hijrah dalam artian yang pertama belum terwujud. Karena bagaimana mungkin seseorang atau kelompok sudi melakukan hijrah (pindah) dengan menempuh perjalanan yang sangat jauh, meninggalkan keluarga, harta dan tempat tinggal ke tempat yang sama sekali belum dikenal, tidak ada sanak famili dan harta menjanjikan di sana kecuali dengan keimanan yang mantap dan keyakinan yang matang terhadap Allah.

Dengan berhasilnya hijrah yang pertama secara otomatis mereka pun siap melakukan hijrah yang kedua, yang mana tujuannya adalah mempertahankan akidah walaupun taruhannya adalah nyawa. Siap meninggalkan segala apa yang mereka miliki dan cintai, siap berpisah dengan keluarga dan sanak famili, bahkan siap meninggalkan tanah kelahiran mereka.

Salah satu contoh kongkret yang dapat dijadikan ibrah adalah hijrahnya Suhaib bin Sinan Ar-Rumi, seorang pemuda yang pada awalnya terkenal dengan lelaki yang ganteng dan rupawan, kaya raya, namun karena akidah yang sudah melekat di hatinya, beliau rela meninggalkan itu semua, karena orang kafir melarang beliau berhijrah jika hartanya ikut dibawa, akhirnya dengan berbekal seadanya beliau pun pergi melaksanakan hijrah, dan ketika Rasulullah saw mendengar kabar tersebut, beliau pun bersabda sambil memuji apa yang dilakukan Suhaib, “beruntunglah Suhaib, beruntunglah Suhaib!!”

Oleh karena beratnya perjalanan hijrah Allah memposisikannya sebagai jihad yang besar dan mensejajarkannya dengan iman yang kokoh. Kita bisa lihat dalam ayat-ayat Al-Qur’an, Allah menyebutkan kedudukan hijrah ini dan ganjaran bagi mereka yang melakukan hijrah.

Kedudukan Hijrah

1. Hijrah merupakan simbol akan iman yang hakiki (manifsetasi iman sejati), bahwa seorang yang berhijrah berarti telah mengikrarkan diri dengan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, sedangkan aplikasi dari keimanan tersebut adalah siap dan rela meninggalkan segala sesuatu yang akan terjadi seperti hijrah demi mempertahankan akidah yang diyakini. Karena hakikat iman itu sendiri adalah pengakuan melalui lisan, dibenarkan dalam hati dan diaplikasikan dalam perbuatan, sedangkan hijrah di sini merupakan salah satu dari wacana tersebut. (Al-Baqarah: 218) (Al-Anfal: 72,74) (Al-Ahzab: 6)
2. Hijrah merupakan ujian dan cobaan, karena setiap orang yang hidup pasti akan mendapatkan suatu cobaan, terutama bagi orang yang beriman, sebesar apa keimanan seseorang maka sebesar itu pula cobaan, ujian dan fitnah yang akan dihadapi. Meninggalkan harta, keluarga, sanak famili dan tanah air merupakan cobaan yang sangat berat, apalagi tempat yang dituju masih mengambang, sangat tidak bisa dibayangkan akan kerasnya ujian dan cobaan yang dihadapi saat manusia sudah mengikrarkan diri sebagai hamba Allah. (16:110)
3. Hijrah sama derajatnya dengan jihad, karena hijrah merupakan salah satu cara mempertahankan akidah dan kehormatan diri maka Allah SWT mensejajarkannya dengan jihad dijalan-Nya yang tentunya ganjarannya pun akan sama dengan jihad. (Al-Baqarah: 218), (Al-Anfal: 72,74)

Ganjaran Orang yang Berhijrah

Adapun ganjaran bagi orang yang melakukan hijrah karena Allah, maka bagi mereka ganjaran yang berlimpah dan tempat serta derajat yang tinggi di sisi Allah, hal ini bisa kita lihat dalam firman Allah yang berkenaan tentang ganjaran bagi orang berhijrah sebagai berikut:

* Rezki yang berlimpah di dunia (An-Nisa: 100) (Al-Anfal: 79)
* Kesalahan dihapus dan dosa diampuni (Ali Imran: 195)
* Derajatnya ditinggikan oleh Allah (At-Taubah: 20)
* Kemenangan yang besar (At-Taubah: 20, 100)
* Tempat kembalinya adalah surga (At-Taubah: 20-22)
* Mendapatkan ridha dari Allah (At-Taubah: 100)

Kalau kita lihat dari kenikmatan yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka yang mau mengorbankan diri dalam mempertahankan keimanan, mungkin tidak sebanding, karena begitu banyaknya kenikmatan yang diberikan, kenikmatan di dunia; berupa rezki yang berlimpah, kelapangan tempat tinggal, dan kenikmatan akhirat; dosa-dosa diampuni, derajat yang tinggi di sisi Allah, dan mendapatkan kemenangan yang besar serta surga yang luasnya seluas antara langit dan bumi sebagai tempat kembali yang kekal, namun yang lebih utama dari semua janji tersebut adalah mendapatkan ridha dari Allah, sehingga dengan ridha Allah dimana dan ke manapun orang yang diridhai itu berada dan pergi maka Allah akan selalu berada di sisinya, kehidupannya akan terjamin, dan yang lebih utama mendapat kenikmatan yang besar yaitu dapat melihat Allah di akhirat kelak.

Apakah relevan melakukan hijrah pada saat ini?

Melihat kenyataan yang ada memang hijrah pada saat ini masih sangat relevan untuk diterapkan terutama yang berkaitan dengan hijrah nafsiyah (individu) dengan berusaha menjauhkan diri dari melakukan perbuatan yang menyimpang dan berusaha memperbaiki diri untuk bersih dari segala perbuatan kotor, sehingga hati, jiwa dan raga serta segala perbuatan menjadi suci. Dan setelah itu berusaha menghijrahkan keluarga, kerabat, lingkungan dan masyarakat yang ada di sekitarnya (terdekat), hingga pada akhirnya membentuk komunitas yang siap melakukan hijrah. “Barang siapa yang berhijrah di jalan Allah niscaya mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezki yang banyak. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju), maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. Wallahu a’lam

Hijrah

Hijrah dalam kamus-kamus bahasa Arab berakar pada huruf ha-ja-ra, yang berarti pisah, pindah dari satu negeri ke negeri lain, berjalan di waktu tengah hari, igauan dan mimpi. Namun, dalam terminologi Islam, hijrah sering diartikan dengan meninggalkan negeri yang tidak aman menuju negeri yang aman demi keselamatan dalam menjalankan agama.

Dalam sejarah perjalanan dakwah, hampir semua para nabi, khususnya ulul azmi, pernah melakukan hijrah. Hijrah secara fisik yang dikenal dalam Islam adalah hijrah sebagian sahabat, yang terbanyak dari kalangan mustad’afin (orang-orang yang lemah secara politik dan ekonomi), ke negeri Habasyah sebanyak dua kali.

Hijrah pertama ini diikuti hanya oleh dua puluh orang. Di dalam rombongan ini terdapat Ruqayyah binti Muhammad (putri Rasulullah saw.) dan suaminya Utsman bin Affan. Mereka berlayar secara diam-diam menuju Habasyah dengan menggunakan kapal dagang. Kaum musyrik Mekah kemudian mengirim pasukan untuk mengejar mereka. Namun, kaum muslim telah berlayar setibanya pasukan di tepi laut. Peristiwa ini terjadi di bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan.

Hijrah ke Habasyah ini dilakukan kaum muslim karena semakin meningkatnya intimidasi kaum Qurisy pada mereka. Setelah dua bulan tinggal di Habasyah, mereka kembali ke Mekah karena mengira intimidasi kaum Quraisy sudah jauh berkurang.

Namun, perkiraan itu salah. Sebab, pada kenyataannya kaum musyrik Mekah malah meningkatkan intimidasinya terhadap kaum muslim. Nabi Muhammad saw. kemudian menyarankan para sahabatnya untuk hijrah kembali ke Habasyah. Rencana hijrah kedua ini lebih berat karena pihak musuh sudah mencium rencana tersebut. Hal ini menyebabkan kaum muslim bergerak lebih cepat. Rombongan ini dipimpin oleh Ja’far bin Abi Thalib, dan sebanyak delapan puluh tiga pria dan tiga belas wanita berhasil berangkat hijrah ke Habasyah. Mereka tiba dengan selamat. Tetapi, tidak lama kemudian datang utusan dari Mekah yang dipimpin oleh ‘Amr bin al-‘Ash dan Abdullah bin Abi Rabi’ah. Mereka bermaksud meminta kaum muslim, sambil membawa banyak hadiah untuk Raja Najasyi. Terjadilah dialog antara Ja’far bin Abi Thalib dengan utusan dari kaum musyrik Mekah dihadapan Raja Najasyi. Namun, pada akhirnya kaum muslim berhasil meyakinkan Raja Najasyi akan kebenaran hijrah mereka, dan utusan kaum musyrik pun kembali ke Mekah tanpa hasil.

Rasulullah saw kemudian mengirim surat kepada Raja Najasyi dan menyerunya untuk masuk Islam. Raja Najasyi menerima seruan tersebut. Dan tatkala raja Najasyi ini meninggal dunia, Rasulullah sawpun melakukan shalat gaib untuknya.

Semakin lama tekanan dan intimidasi yang dialami oleh Rasulullah saw. dan kaum muslim semakin dahsyat. Hal inilah yang menyebabkan mereka hijrah Madinah. Jika hijrah ke Habasyah dilakukan secara kecil-kecilan oleh sejumlah sahabat, maka hijrah ke Madinah ini dilakukan dengan perbekalan dan persiapan yang matang dan memadai.

Namun, peristiwa yang sangat menentukan kesuksesan dakwah Islam, dan menjadi titik peralihan menuju kemenangan adalah ketika Rasulullah saw. dan para sahabatnya berhasil hijrah ke Madinah dengan selamat. Keberhasilan hijrah ini tidak terlepas dari beberapa peristiwa yang terjadi sebelumnya, yaitu proses sumpah setia atau bai’ah oleh beberapa orang dari Madinah. Peristiwa ini dikenal dengan Bai’atul ‘Aqabah al Ula wa Tsaniyah.

Bai’ah yang pertama dilakukan oleh sepuluh orang dari suku Khazraj dan dua orang dari suku Aus kepada Rasulullah saw. Bai’ah ini dilakukan ketika mereka ziarah ke Masjidil Haram. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke-12 kenabian (tahun 621 M di bulan Juli) di Aqabah, Mina. Adapun teks bai’ahnya: “Kami tidak akan mempersekutukan Allah dengan apapun juga, tidak akan mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kami, tidak akan berdusta dengan menutup-nutupi apa yang ada di depan dan di belakang kami, dan tidak akan membantah perintah nabi dalam hal kebajikan” (HR. al-Bukhari)

Sedangkan bai’ah yang kedua terjadi pada musim haji tahun ke-13 kenabian (tahun 622, bulan Juni) di tempat yang sama. Adapun isinya adalah, “Kalian membai’atku dengan berjanji untuk patuh dan setia kepadaku, baik dalam keadaan sibuk maupun senggang, memberi infak baik dalam keadaan lapang rezeki maupun sempit, menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar, teguh membela agama Allah tanpa memperhatikan perbedaan ras, tidak takut dicela orang lain, tetap membantu dan membelaku ketika aku berada di tengah-tengah kalian sebagaimana kalian membela diri dan anak isteri kalian. Jika kalian melaksanakan semua ini, kalian akan memdapatkan surga.” (HR. Ahmad bin Hanbal)

Peristiwa yang lainnya adalah kesepakatan para pemuka suku Quraiys untuk menghabisi kaum muslim dan Rasulullah saw. di Darun Nadwah. Namun, kesepakatan ini diketahui oleh Rasulullah saw. melalui wahyu yang turun kepadanya, “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (al-Anfal: 30)

Rasulullah saw. memerintahkan kepada kaum muslimin untuk hijrah ke Madinah setelah turunnya ayat ini. Para sahabat mulai meninggalkan Mekah secara bergelombang. Rasulullah saw. sendiri adalah orang yang terakhir pergi ke Madinah.

Rasulullah saw. menyiapkan hijrah ini secara matang. Sebab, target utama kaum musyrik Mekah adalah mengagalkan hijrah kaum muslimin. Rasulullah saw. menyiapkan bekal, kendaraan, penunjuk jalan, strategi, dan rute yang akan ditempuh. Beliau juga meminta Abu Bakar ash-Shiddiq menemaninya, dan seorang pemandu jalan yang bernama Abdullah bin Uraiqit.

Rasulullah saw. meninggalkan rumah pada malam hari tanggal 27 bulan Shafar tahun ke-13 kenabian atau bertepatan dengan tanggal 12 atau 13 September tahun 622 M. Perjalanan awal keluar Mekah jusru menempuh jalan yang berlawanan dengan jalan menuju Madinah. Hal ini dimaksudkan untuk mengecoh para pengejar. Gua Tsur adalah tempat tujuan mereka. Di gua ini mereka bermalam selama tiga hari. Kaum musyrik Quraisy sempat mengejar, tetapi keberadaan Rasulullah saw. dan Abu Bakar di dalam gua tidak diketahui mereka.

Setelah berhasil lolos dari pengejaran kaum musyrik Mekah, perjalanan dilanjutkan kembali. Tetapi ternyata, para pemburu bayaran yang diiming-imingi hadiah besar oleh pihak Mekah terus mengintai mereka. Salah satu dari mereka adalah Suraqah bin Malik. Ia berhasil mengejar dan mendekati Rasulullah saw. dan Abu Bakar. Namun, setelah melihat mukzijat kenabian dari Rasulullah saw., Suraqah akhirnya tunduk.

Rasulullah saw. akhirnya tiba di Yatsrib (Madinah) pada hari Jum’at tanggal 12 Rabiul Awwal di tahun yang sama. Beliau disambut penduduk Madinah dengan meriah. Al-Barra bin ‘Azib seorang sahabat dari kaum Anshor mengatakan, “Orang pertama dari para sahabat yang datang ke Yatsrib ialah Mus’ab bin Umair dan Ibnu Ummi Maktum. Kedua orang inilah yangmengajarkan Al Qur’an kepada kami. Kemudian menyusul Ammar bin Yasir, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Umar bin al-Khaththab bersama kafilah yang terdiri dari dua puluh orang. Setelah itu, barulah Rasulullah saw datang menyusul. Saya belum pernah melihat banyak orang bergembira seperti saat mereka menyambut kedatangan beliau, sehingga kaum wanita, anak-anak, dan para hamba sahaya perempuan bersorak-sorai meneriakkan, “Itulah dia, Rasulullah saw telah datang.” (HR. al-Bukhari).

Kedatangan Rasulullah saw di kota Yatsrib ternyata membawa perubahan yang sangat besar bagi perkembangan Islam. Paling tidak, beliau berhasil menjadi juru damai bagi dua suku asli penduduk Yatsrib, yaitu suku Aus dan Khzaraj. Rasulullah saw. mempersaudarakan, menyatukan, dan mendamaikan mereka dengan ikatan iman dan Islam serta persaudaraan Islamiyah. Sehingga terhapuslah di hati mereka militansi kesukuan yang sempit. Sementara itu, para pendatang Muhajirin juga mulai mewarnai aktivitas di kota itu dengan perdagangan. Tak lama kemudian, kaum Muhajirin mampu menggeser dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi.

Rasulullah saw. emudian meletakkan tiga hal yang menjadi tonggak pembentukan masyarakat baru, yaitu:

1. Memperkokoh hubungan kaum muslim dan Tuhannya dengan membangun masjid;

2. Memperkokoh hubungan intern umat Islam dengan mempersaudarakan kaum pendatang Muhajirin dari Mekah dengan penduduk asli Madinah, yaitu kaum Anshor;

3. Mengatur hubungan umat Islam dengan orang-orang diluar Islam, baik yang ada di dalam maupun di sekitar kota dengan cara mengadakan perjanjian perdamaian.

Melalui tiga hal di atas, Rasulullah saw. berhasil membangun masyarakat ideal. Masyarakat ini terwujud dalam suatu negara, yang beliau beri nama Madinah, artinya “kota” atau “tempat peradaban”. Di dalam masyarakat itu, Rasulullah saw. secara bertahap menerapkan sistem yang dapat melindungi mereka dengan kehidupan yang damai dan makmur. Pada akhirnya, disebabkan melihat suasana damai itu, banyak penduduk kota Madinah dan sekitarnya yang menyatakan masuk Islam.

Setelah terbentuknya negara Madinah, Islam mulai menguatkan eksistensinya di wilayah sekitar kota Madinah, sampai kota Mekah pun dapat dibebaskan. Dengan dibebaskannya Mekah tidak ada lagi hijrah ke Madinah. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw, “Tidak ada hijrah setelah pembebasan (Mekah).” (HR. al-Bukhari)

Tetapi, menurut Munawar Khalil, hijrah dalam pengertian meninggalkan sesuatu yang buruk menuju sesuatu yang baik atau hijrah secara maknawiyah spiritual merupakan kewajiban bagi setiap muslim sepanjang hidupnya. Hijrah maknawiyah ini terus berlaku sepanjang masa. Dan mengingat pentingnya peristiwa hijrah ini, Umar ibnul Khaththab, berdasarkan usul Ali bin Abi Thalib, menetapkan peristiwa hijrah ini sebagai awal tahun penanggalan Islam.

Setelah mengalami perjalanan hijrah yang cukup melelahkan dan penuh ketegangan, Rasulullah saw. dan Abu Bakar akhirnya sampai di kota tujuan, Yatsrib. Kaum muslim yang menantikan mereka dengan cemas akhirnya merasa lega. Mereka menyambut Rasulullah saw. dan Abu Bakar dengan penuh suka cita. Mereka bahkan bersenandung, bernyanyi, dan bersyukur akan kedatangan Rasullah saw. dan Abu Bakar yang selamat dan tidak kurang suatu apapun jua.

Rasulullah saw. kemudian mengganti nama kota Yastrib dengan nama al-Madinah al-Munawarah atau lebih dikenal dengan Madinah. Kota ini kemudian menjadi tanah suci karena disucikan oleh Rasulullah saw., sebagaimana dalam sabdanya, “Rasulullah saw. telah mensucikan tanah antara dua laba (tanah berbatu hitam antara timur dan barat) Madinah.” (HR. Muslim). Kota ini terletak kurang lebih 350 km di utara kota Mekah.

Rasulullah saw. tiba pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awwal 1 H atau 27 September 622 M di perkampungan Bani Najjar di Madinah. Beliau turun dari untanya di depan rumah Abu Ayub, seraya berkata, “Di rumah inilah, insya Allah”. Beliau kemudian masuk ke rumah Abu Ayub dan tinggal untuk sementara waktu.

Sebelum masuk kota Madinah, Rasullah saw. singgah di pemukiman Bani ‘Amr bin ‘Auf selama empat belas hari. Dalam waktu yang singkat tersebut beliau membangun masjid Quba. Masjid itu adalah menjadi masjid pertama yang dibangun dalam sejarah Islam. Mengenai masjid tersebut, Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut bagimu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya terdapat orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.” (at- Taubah: 108)

Setelah tiba di Madinah, Rasulullah saw. mulai membangun masyarakat baru, yakni masyarakat madani. Ada dua hal utama yang dikerjakan Rasulullah saw, yaitu: Pertama, menguatkan hubungan vertikal kaum muslim dengan Allah swt., melalui sarana masjid; Kedua, menguatkan hubungan horizontal sesama muslim melalui proses ta-akhi (persaudaraan), dan antara umat Islam dengan non Islam dengan Mii-tsaqul Madinah (Piagam Madinah).

Di dalam hadits dijelaskan, pekerjaan pertama yang dilakukan Rasululah saw. di Madinah adalah membangun masjid. Tempat yang dipilih adalah sebidang tanah milik dua orang anak asuh As’ad bin Zararah di Mirbad. Mereka sebenarnya ingin memberikan tanah itu secara cuma-cuma, tetapi Rasulullah saw. tetap membayarnya. Tanah itu sebelumnya ditumbuhi beberapa pohon kurma liar dan beberapa buah kuburan orang-orang musyrik.

Masjid itu berukuran kurang lebih seratus hasta, terdiri dari sebidang tanah segi empat sama sisi, dibatasi oleh bekas pelepah-pelepah kurma, dengan kiblat masih menghadap ke Masjidil Aqsha. Lantainya terdiri dari pasir dan kerikil, sedangkan tiang dan atapnya dari batang dan pelepah daun kurma. Rasulullah saw. ikut turun tangan membangun masjid bersama para sahabatnya. Mereka mengerjakannya sambil bersyair dan bersenandung.

Mengapa masjid yang pertama kali dibangun oleh Rasulullah saw. dan bukan yang lainnya? Sebab, Rasulullah mengetahui bahwa imanlah sesungguhnya inti kekuatan dari masyarakat madani yang hendak dibangun. Maka, masjid adalah sarana yang tepat untuk memelihara iman agar tetap kokoh dan mantap. Masjid akan melahirkan keimanan yang produktif, yang hidup dan menghidupkan, dan memberi manfaat bagi kehidupan seluruh alam. Adanya masjid menempa para sahabat untuk berjuang lebih lanjut, karena memang tantangan dakwah Islam selanjutnya akan lebih berat. Karena itu, mereka harus memiliki iman kokoh yang tidak melahirkan rasa takut dan gentar kecuali kepada Allah swt., “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap meadirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah.” (at-Taubah: 18)

Selain itu, masjid ini juga diharapkan menjadi tempat pembinaan umat secara keseluruhan, baik dalam rangka menyusun strategi dakwah maupun taktik lainnya. Dari masjid inilah lahir masyarakat baru yang dikenal dengan nama masyarakat madinah, nama itu menjadi acuan bagi peristilahan masyarakat madani (civil societ) yang sekarang ini sedang ngetrend.

Masyarakat madani adalah masyarakat yang harmonis dan seimbang, baik secara lahir maupun batin, juga dalam hubungan vertikal kepada Al-Kholik dan horizontal sesama makhluk, “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (an-Nuur: 36-38)

Masjid secara vertikal menguatkan hubungan seorang hamba kepada Tuhannya, dan secara horizontal menguatkan hubungan antar anggota masyarakat muslim. Proses ini berjalan secara paralel, yaitu seiring adanya pertemuan intens dalam sholat fardhu sehari semalam sebanyak lima kali dan sholat Jum’at sekali seminggu. Hal ini melahirkan barisan kaum muslimin yang kokoh dan kuat yang dipimpin langsung oleh Rasulullah saw. Barisan ini kemudian menjadi pasukan yang mampu menaklukkan kekuatan pasukan kaum musyrik Mekah di berbagai peperangan. Barisan ini juga ditakuti oleh kabilah-kabilah di pedalaman, dan pada akhirnya mampu membalikkan kenyataan: mengusir tentara Romawi dan berhadapan dengan pasukan Rustum (seorang jenderal Persia). Beberapa saat sebelumnya, tidak terbersit sedikitpun di dalam benak kaum muslim bahwa mereka akan mampu melakukannya. Allah swt. berfirman, “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.” (ash-Shaff: 4)

Hal kedua yang Rasulullah saw. lakukan adalah melaksanakan strategi ‘ta-akhi bainal muhaajiriina wal anshaari’ (persaudaraan antara Muhajirin dan Anshor) yang dimaksudkan untuk menguatkan kesatuan dan persatuan di kalangan kaum muslim. Tujuan lain dari hal ini adalah untuk menguatkan hubungan antara pendatang dan penduduk asli, memusnahkan fanatisme kesukuan ala jahiliyah, dan menumbuhkan semangat pengabdian yang ditujukan hanya untuk Islam. Karena secara historis, orang-orang Anshar yang terdiri dari suku ‘Aus dan Khajraz pernah saling bermusuhan. Darah yang belum kering, dendam yang belum padam, sirna dihapus oleh jiwa baru persaudaraan Islam.

Melalui persaudaraan ini, Rasulullah saw. berhasil menyatukan kaum muslimin tidak hanya pada tataran teoritis, namun juga pada tataran aplikasi. Pada kenyataannya, persaudaraan ini mengikat serta mempersatukan tidak hanya jiwa namun juga harta mereka. Mengenai hal ini al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut, “Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah saw. mempersaudarakan antara Abdur Rahman bin ‘Auf dengan Sa’ad bin Rabi’. Ketika itu, Sa’ad berkata kepadanya, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta kekayaan. Harta kekayaanku ini akan aku bagi dua, separuh untukmu dan separuh untukku. Aku juga mempunyai dua orang isteri, lihat mana yang paling baik untuk anda. Sebutkan namanya, maka ia akan segera kuceraikan, dan sehabis masa iddahnya kupersilahkan engkau menikah dengannya.” Mendengar hal itu, Abdur Rahman menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan anda. Tunjukan saja kepadaku, dimanakah pasar kota kalian?” Abdur Rahman kemudian ditunjukkan pasar milik Bani Qainuqo. Maka mulailah Abdur Rahman berkerja, dan ketika pulang ia membawa gandum dan samin. Setiap pagi dia melakukan hal itu. Sampai pada satu hari beliau mendatangi Rasulullah saw. dengan pakaian yang bagus dan rapi. Rasulullah saw. pun berkata kepadanya, “Apakah engkau sudah mempunyai penghasilan?” Jawabnya, “Saya sudah menikah.” Rasulullah saw. bertanya lagi, “Berapa mas kawin yang engkau berikan kepada isterimu?” Ia menjawab lagi, “Setail uang emas.” (HR. al-Bukhari)

Sesungguhnya dialog yang terjadi antara Abdur Rahman bin ‘Auf dan Sa’ad bin Rabi’ melebihi dialog antar dua insan bersaudara. Akan tetapi, sesungguhnya ia merupakan dialog iman. Dari dialog ini terlihat sikap itsar atau rela berkorban, membagi, dan solidaritas, namun juga diimbangi dengan sikap ta’affuf atau harga diri yang tinggi, pantang menyerah, dan putus harapan. Antara itsar dan ta’affuf, antara membagi dan dan tidak putus asa adalah sinergi yang melahirkan dinamika dan produktivitas hidup. Hal ini melahirkan energi kuat yang menjadi penggerak kemenangan kaum muslim saat itu.

Namun, dua jiwa itu seakan hilang saat ini. Tidak ada lagi itsar dan ta’affuf. Kalaupun ada itsar namun ta’affuf mati, seakan-akan memberi makan orang kuat namun pemalas. Akibatnya, umat Islam dewasa ini menjadi mandul, kurang produktivitas, dan hina di mata musuhnya. Akan tetapi, generasi awal umat ini tidaklah demikian, sebagaimana Abdur Rahman bin ‘Auf yang mempunyai jiwa pantang menyerah. Hanya dalam waktu singkat ia sudah mampu menikah lagi dengan mahar yang cukup mahal. Abdur Rahman bin ‘Auf bersama Ustman bin Affan serta sahabat lainnya merupakan pebisnis ulung, yang pada akhirnya mampu menggusur dominasi ekonomi dan perdagangan kaum Yahudi di Madinah. Karena itu, memepertahankan martabat dan harga diri, tingginya solidaritas, dan kesiapan berkorban menjadi penentu bagi kemuliaan Islam dan umatnya. Di sisi lain, amat tercela bagi sebagian orang yang memeluk Islam sekaligus menelan Islam, yaitu orang-orang yang mencari makan atas nama Islam sehingga mengakibatkan hancurnya martabat dan kehormatan Islam di dunia ini.

Sesungguhnya Islam dibangun atas landasan persaudaraan sejati yang merupakan buah dari keimanan yang tinggi. Jika kita mengambil contoh dari Rasulullah saw. dan para sahabat, maka persaudaraan sejati semacam itu hanya terdapat pada manusia-manusia yang berjiwa bersih dan berakhlak mulia. Persaudaraan ini melahirkan cinta kasih, ibarat mata air yang memancar keluar dan mengalir dengan sendirinya. Hal ini tidak bisa dipaksakan dengan peraturan atau undang-undang apapun juga. Persaudaraan ini akan berkembang di dalam hati dan membebaskan fikiran manusia dari cengkeraman egoisme, kekikiran, serta akhlak dan budi pekerti yang rendah.

Inilah dia sesungguhnya gambaran masyarakat madani itu, satu tipe alternatif yang dicita-citakan masyarakat manusia sekarang ini. Masyarakat yang harmonis, penuh kasih sayang dan toleransi, serta rahmat bagi semua. Karena itulah, mengawali keberadaannya di kota Madinah, Rasulullah saw. mensosialisasikan slogan-slogannya, yaitu keselamatan, kesejahteraan, keamanan, kasih sayang, keadilan, dan persaudaraan.

Abdullah bin Salam, seorang rahib Yahudi yang masuk Islam, mengatakan, “Aku mendatangi Rasulullah saw. saat ia tiba di Madinah. Jelaslah bagiku wajahnya, dan tidak tampak padanya wajah seorang pendusta. Hal yang pertama kali aku dengar dari ucapan-ucapannya adalah:

“Wahai manusia, sebarkanlah salam, berikanlah makanan, sambungkanlah persaudaraan, dan sholatlah di waktu malam sementara manusia tidur, maka kalian akan masuk surga Tuhanmu dengan sejahtera.” (HR.at-Turmudzi, Ibnu Majah, dan ad-Daarimi)

“Tidak akan masuk surga seseorang yang tetangganya tidak tenteram dari gangguan-gangguannya.” (HR. Muslim)

“Seorang muslim adalah orang yang membuat muslim lainnya merasa aman dari lisan dan tangannya.” (HR. Bukhari)

“Tidak beriman seseorang daripadamu hingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari)

“Orang-orang beriman seperti satu tubuh, apabila matanya sakit, sakit pulalah seluruh badannya, dan apabila kepalanya sakit, sakit pulalah seluruh tubuhnya.” (HR.Muslim)

“Janganlah kalian saling membenci, saling hasad, dan saling bertengkar. Tetapi, jadilah kalian semua hamba-hamba Allah yang bersaudara, dan tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan (memusuhi) saudaranya melebihi tiga hari.” (HR. Bukhari)
Melangkah dalam kehidupan yang bermakna

hijrah