Kamis, September 18, 2008

Ma'ruf Nahi Mungkar

CARA MENASEHATI ORANG YANG TERANG-TERANGAN MELAKUKAN KEMAKSIATAN


Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz



Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Sepucuk surat berasal dari Kuwait, dikirim oleh seseorang yang mengeluhkan saudaranya, ia menyebutkan bahwa saudaranya itu melakukan kemaksiatan dan telah sering dinasehati, tapi malah semakin terang-terangan. Pengirim surat mengharap bimbingan mengenai masalah ini.

Jawaban
Kewajiban sesama muslim adalah saling menasehati, saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksaNya." [Al-Ma'idah : 2]

Dan ayat,

“Demi masa, Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran." [Al-'Ashr : l-3]

Serta sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia,

“Agama adalah nasehat." Ditanyakan kepada beliau, "Kepada siapa ya Rasulullah?" beliau jawab, "Kepada Allah, kitabNya, RasulNya, pemimpin kaum muslimin dan kaum muslimin lainnya."[1]

Kedua ayat dan hadits mulia ini menunjukkan wajibnya saling menasehati dan saling tolong menolong dalan kebaikan serta saling berwasiat dengan kebenaran. Jika seorang muslim melihat saudaranya tengah malas melaksanakan apa yang telah diwajibkan Allah atasnya, maka ia wajib menasehatinya dan mengajaknya kepada kebaikan serta mencegahnya dari kemungkaran sehingga masyarakatnya menjadi baik semua, lalu kebaikan akan tampak sementara keburukan akan sirna, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang mungkar." [At-Taubah : 71]

Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pun telah bersabda

"Barangsiapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah ia merubahnya dengan tangannya, jika tidak bisa maka dengan lisannya, dan jika tidak bisa juga maka dengan hatinya, itulah selemah-lemahnya iman."[2]

Maka anda, penanya, selama anda menasehatinya dan mengarahkannya kepada kebaikan, namun ia malah semakin menampakkan kemaksiatan, maka hendaknya anda menjauhinya dan tidak lagi bergaul dengannya. Di samping itu, hendaknya anda mendorong orang lain yang lebih berpengaruh dan lebih dihormati oleh orang tersebut, untuk turut menasehatinya dan mengajaknya ke jalan Allah. Mudah-mudahan dengan begitu Allah memberikan manfaat. Jika anda mendapati bahwa penjauhan anda itu malah semakin memperburuk dan anda memandang bahwa tetap menjalin hubungan dengannya itu lebih bermanfaat baginya untuk perkara agamanya, atau lebih sedikit keburukannya, maka jangan anda jauhi, karena penjauhan ini dimaksudkan sebagai terapi, yaitu sebagai obatnya. Tapi jika itu tidak berguna dan malah semakin memperparah penyakitnya, maka hendaknya anda melakukan yang lebih maslahat, yaitu tetap berhubungan dengannya dan terus menerus menasehatinya, mengajaknya kepada kebaikan dan mencegahnya dari keburukan, tapi tidak menjadikannya sebagai kawan atau teman dekat. Mudah-mudahan Allah memberikan manfaat dengan itu. Inilah cara yang paling baik dalam kasus semacam ini yang berasal dari ucapan para ahli ilmu.

[Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah, juz 5, hal. 343-344, Syaikh ibnu Baz]

APA YANG DIMAKSUD DENGAN HIKMAH?

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa yang dimaksud dengan hikmah? Dan bagaimana seorang muslim bisa menyandangnya?

Jawaban
Hikmah adalah keselarasan dalam bersikap dan menetapkan. Kesalahan bersikap berarti bertolak belakang dengan hikmah. Karena itu, sebagian dai yang berdakwah tanpa hikmah, ketika melihat seseorang yang dinilainya mungkar, ia akan menjelekkannya dan meneriakinya. Contohnya: Ketika melihat seseorang masuk masjid lalu langsung duduk tanpa shalat tahiyyatul masjid lebih dulu, ia akan meneriakinya. Demikian yang tanpa hikmah. Tapi yang dengan hikmah, tidak akan begitu. la akan menjelaskannya kepada orang tersebut dan menguraikan haditsnya. Demikian juga yang dilakukan dalam perkara-perkara yang wajib dan yang haram serta lainnya.

Dan begitu pula dalam sikap-sikap khusus yang berhubungan dengan manusia, seperti dalam bidang keuangan, harus pula dengan hikmah. Berapa banyak orang yang boros dan berhutang hanya untuk hal-hal yang tidak penting dan tidak mendesak.

PENJELASAN AYAT (TIADALAH ORANG YANG SESAT ITU AKAN MEMBERI MUDHARAT KEPADAMU APABILA KAMU TELAH MENDAPAT PETUNJUK)


Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Ketika dikatakan kepada seseorang, "Kenapa anda tidak merubah kemungkaran ini?" atau "Kenapa anda tidak menasehati keluarga anda untuk meninggalkan kemungkaran ini?" lalu orang tersebut menyebutkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala

"Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk." [Al-Ma'idah : 105]

Bagaimana jawaban Syaikh?

Jawaban
Ayat ini adalah ayat muhkamah, ayat ini tidak dihapus hukumnya, namun orang yang berdalih dengan ayat ini telah salah faham. Dalam ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan

"Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk." [Al-Ma'idah: 105]

Di antara petunjuk itu adalah menyuruh manusia berbuat baik dan mencegah kemungkaran sesuai kesanggupan. Jika meninggalkan amar ma'ruf nahi mungkar tidak disebut telah berpetunjuk, karena jika telah tampak kemungkaran pada suatu kaum lalu ia tidak berusaha merubahnya, maka dikhawatirkan Allah akan menimpakan siksaan secara umum yang menimpa semua orang (yang baik dan yang buruk).

[Alfazh wa Mafahim fi Mizanisy Syari'ah, hal. 33 Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar'iyyah Fi Al-Masa'il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]
_________

Tazkiyatun Nufus

W
WASPADALAH TERHADAP PERANGKAP RIYA..!


Oleh
Syaikh Husain bin Audah Al-Awayisyah



IKHLAS UNTUK ALLAH TA’ALA [1]
Apa syarat diterimanya amal?
Sebelum anda melangkah satu langkah –wahai saudaraku muslim- hendaklah anda mengetahui jalan untuk merengkuh keselamatanmu. Janganlah anda memberati diri dengan amalan-amalan yang banyak,. Karena, alangkah banyak orang yang memperbanyak amalan, namun hal itu tidak memberikan manfaat kepadanya kecuali rasa capai dan keletihan semata di dunia dan siksaan di akhirat. [2]

Maka, sebelum memulai semua amalan, hendaklah anda mengetahui syarat diterimanya amal. Yaitu harus terpenuhi dua perkara penting pada setiap amalan. Jika salah satu tidak tercapai, akibatnya amalan seseorang tidak ada harapan untuk diterima. Pertama : Ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua : Amalan itu telah diperintahkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam Al-Qur’an, atau dijelaskan oleh Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sunnahnya, dan mengikuti Rasulullah dalam pelaksanaannya.

Jika salah satu dari dua syarat ini rusak, perbuatan yang baik tidak masuk kategori amal shalih dan tidak akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pernyataan ini ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala.

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shalih dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Rabb-nya” [Al-Kahfi : 110]

Dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar amal yang dikerjakan ialah amalan shalih, yaitu amal perbuatan yang sesuai dengan aturan syari’at. Selanjutnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan orang yang menjalankannya supaya mengikhlaskan amalan itu kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, tidak mencari pahala atau pamrih dari selain-Nya dengan amalan itu.

Al-Hafiz Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya ; “Dua perkara ini merupakan rukun diterimanya suatu amalan. Yaitu, amalan itu harus murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan benar sesuai dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan serupa juga diriwayatkan Al-Qadhi Iyadh rahimahullah dan lainnya” [Tafsir surah Al-Kahfi].

PERINTAH IKHLAS, LARANGAN BERBUAT RIYA DAN SYIRIK [3]
Ketahuilah, wahai saudaraku muslim, bahwa semua amalan pasti terjadi dengan niat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Sesungguhnya semua amalan ini terjadi dengan niat, dan setiap orang mendapatkan apa yang dia niatkan” [4]

Dan dalam amal itu harus mengikhlaskan niat untuk Allah Ta’ala berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat ; dan yang demikian itulah agama yang lurus” [Al-Bayyinah : 5]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.

“Katakanlah : ‘Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atas kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui” [Ali-Imran : 29]

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga telah memperingatkan bahaya dari berbuat riya’, dalam firman-Nya.

“Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu” [Az-Zumar : 65]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Allah Ta’ala berfirman ; “Aku sangat tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa beramal dengan suatu amalan, dia mneyekutukan selain Aku bersama-Ku pada amalan itu, Aku tinggalkan dia dan sekutunya” [HR Muslim, no. 2985]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Barangsiapa mempelajari ilmu yang dengannya dicari wajah Allah Azza wa Jalla, namun ia tidak mempelajarinya kecuali untuk meraih kesenangan dunia dengan ilmu itu, ia tidak akan mendapat aroma surga pada hari kiamat” [5]

RIYA DAN JENIS-JENISNYA [6]
Di antara jenis riya’ ialah sebagi berikut.

1). Riya Yang Berkaitan Dengan Badan
Misalnya dengan menampakkan kekurusan dan wajah pucat, agar penampakan ini, orang-orang yang melihatnya menilainya memiliki kesungguhan dan dominannya rasa takut terhadap akhirat. Dan yang mendekati penampilan seperti ini ialah dengan merendahkan suara, menjadikan dua matanya menjadi cekung, menampakkan keloyoan badan, untuk menampakkan bahwa ia rajin berpuasa.

2). Riya Dari Sisi Pakaian
Misalnya, membiarkan bekas sujud pada wajah, mengenakan pakaian jenis tertentu yang biasa dikenakan oleh sekelompok orang yang masyarakat menilai mereka sebagai ulama, maka dia mengenakan pakaian itu agar dikatakan sebagai orang alim.

3). Riya Dengan Perkataan
Umumnya, riya’ seperti ini dilakukan oleh orang-orang yang menjalankan agama. Yaitu dengan memberi nasihat, memberi peringatan, menghafalkan hadits-hadits dan riwayat-riwayat, dengan tujuan untuk berdiskusi dan melakukan perdebatan, menampakkan kelebihan ilmu, berdzikir dengan menggerakkan dua bibir di hadapan orang banyak, menampakkan kemarahan terhadap kemungkaran di hadapan manusia, membaca Al-Qur’an dengan merendahkan dan melembutkan suara. Semua itu untuk menunjukkan rasa takut, sedih, dan khusyu’ (kepada Allah, pent).

4). Riya’ Dengan Perbuatan
Seperti riya’nya seseorang yang shalat dengan berdiri sedemikian lama, memanjangkan ruku, sujud dan menampakkan kekhusyu’an, riya’ dengan memperlihatkan puasa, perang (jihad), haji, shadaqah dan semacamnya.

5). Riya’ Dengan Kawan-Kawan Dan Tamu-Tamu
Seperti orang yang memberatkan dirinya meminta kunjungan seorang alim (ahli ilmu) atau ‘abid (ahli ibadah), agar dikatakan “sesungguhnya si Fulan telah mengunjungi si Fulan”. Atau juga mengundang orang banyak untuk mengunjunginya, agar dikatakan “sesungguhnya orang-orang baragama sering mendatanginya”.

PERKARA YANG DISANGKA RIYA DAN SYIRIK, PADAHAL BUKAN !

1). Pujian Manusia Untuk Seseorang Terhadap Perbuatan Baiknya
Dari Abu Dzar, dia berkata : Ditanyakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Beritakan kepadaku tentang seseorang yang melakukan amalan kebaikan dan orang-orang memujinya padanya!” Beliau bersabda : “itu adalah kabar gembira yang segera bagi seorang mukmin” [HR Muslim, no. 2642, Pent)

2). Giatnya Seorang Hamba Melakukan Ibadah Pada Saat Dilihat Oleh Orang-Orang Yang Beribadah
Al-Maqdisi rahimahullah berkata : Terkadang seseorang bermalam bersama orang-orang yang melaksanakan shalat tahajjud, lalu mereka semua melakukan shalat di sebahagian besar waktu malamnya, sedangkan kebiasaan orang itu melakukan shalat malam satu jam, sehingga ia pun menyesuaikan dengan mereka. Atau mereka berpuasa, lalu ia pun berpuasa. Seandainya bukan karena orang-orang itu, semangat tersebut tidak muncul.

Mungkin ada seseorang yang menyangka bahwa (perbuatan) itu merupakan riya’, padahal tidak mutlak demikian. Bahkan padanya terdapat perincian, bahwasanya setiap mukmin menyukai beribadah kepada Allah Ta’ala, tetapi terkadang banyak kendala yang menghalanginya. Dan kelalaian telah menyeretnya, sehingga dengan menyaksikan orang lain itu, maka kemungkinan menjadi faktor yang menyebabkan hilangnya kelalaian tersebut, kemudian ia dapat menguji urusannya itu, dengan cara menggambarkan orang-orang lain itu berada di suatu tempat yang dia dapat melihat mereka, namun mereka tidak dapat melihatnya. Jika dia melihat jiwanya ringan melakukan ibadah, maka itu untuk Allah. Jika jiwanya merasa berat, maka keringanan jiwanya di hadapan orang banyak itu merupakan riya’. Bandingkan (perkara lainnya) dengan ini” [7]

Aku katakan :
Kemalasan seseorang ketika sendirian datang masuk dalam konteks sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“(Sesungguhnya srigala itu hanyalah memakan kambing yang menyendiri), sedangkan semangatnya masuk ke dalam bab melaksanakan sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“(Hendaklah kamu menetapi jama’ah) [8]

3). Membaguskan Dan Memperindah Pakaian, Sandal Dan Semacamnya
Di dalam Shahih Muslim, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda.

“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan seberat biji sawi”. Seorang laki-laki bertanya : “Ada seseorang suka bajunya bagus dan sandalnya bagus (apakah termasuk kesombongan?)”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya Allah Maha Indah dan menyukai keindahan kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” [HR Muslim no. 2749, Pent]

4). Tidak Menceritakan Dosa-Dosanya Dan Menyembunyikan
Ini merupakan kewajiban menurut syari’at atas setiap muslim, tidak boleh menceritakan kemaksiatan-kemaksiatan berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Semua umatku akan diampuni (atau : tidak boleh dighibah) kecuali orang yang melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan. Dan sesungguhnya termasuk melakukan kemaksiatan dengan terang-terangan, yaitu seseorang yang melakukan perbuatan (kemaksiatan) pada waktu malam dan Allah telah menutupinya (yakni, tidak ada orang yang mengetahuinya, Pent), lalu ketika pagi dia mengatakan : “Hai Fulan, kemarin aku melakukan ini dan itu”, padahal pada waktu malam Allah telah menutupinya, namun ketika masuk waktu pagi dia membuka tirai Allah terhadapnya” [HR Al-Bukhari, no. 6069, Muslim no. 2990, Pent]

Menceritakan dosa-dosa memiliki banyak kerusakan, (dan) bukan di sini perinciannya. Di antaranya, mendorong seseorang untuk berbuat maksiat di tengah-tengah hamba dan menyepelekan perintah-perintah Allah Ta’ala. Barangsiapa menyangka bahwa menyembunyikan dosa-dosa merupakan riya’ dan menceritakan dosa-dosa merupakan keikhlasan, maka orang itu telah dirancukan oleh setan. Kita berlindung kepada Allah darinya.

5). Seorang Hamba Yang Meraih Ketenaran Dengan Tanpa Mencarinya
Al-Maqdisi berkata : “Yang tercela, ialah seseorang mencari ketenaran. Adapaun adanya ketenaran dari sisi Allah Ta’ala tanpa usaha menusia untuk mencarinya, maka demikian itu tidak tercela. Namun adanya ketenaran itu merupakan cobaan bagi orang-orang yang lemah (imannya, Pent)” [9]

Demikian, beberapa penjelasan berkaitan dengan riya’. Semoga Allah Azza wa Jalla menjauhkan kita semua dari sifat buruk ini, baik dalam perkataan maupun perbuatan, serta semoga menjadikan kita termasuk orang-orang yang ikhlas dalam beramal.

Kerudung GAul vs Kerudung Panjang

Kerudung Gaul Versus Kerudung Panjang



Belakangan ini kita banyak sekali menyaksikan model atau ragam para perempuan muslim dalam memakai kerudung, namun dari sekian banyaknya model itu dapat kita kelompokkan kepada kerudung gaul dan panjang (memenuhi standar syari’at).

Salah satu keunikan Islam dibanding dengan agama-agama lain adalah terletak dari sisi komprehensif atau syamil ajaran yang dikandungnya. Islam tidak hanya mengurus masalah ketuhanan atau ibadah semata. Tetapi ia mengatur seluruh masalah dalam kehidupan ini mulai hal-hal yang besar sampai sekecil-kecilnya, mulai dari pembicaraan mengenai kenegaraan sampai masuk ke dalam kamar mandi. Dari sekian banyaknya persoalan yang diatur oleh Islam di antaranya adalah memakai jilbab atau kerudung. Yang mana dimaksudkan dari perintah ini untuk mencapai tujuan tertutupnya aurat perempuan yang wajib untuk ditutupi.

Adapun menjadi dasar keagamaan perintah ini, surat al-Ahzab ayat 59 yang artinya: “Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun Lagi Maha Penyayang”.

Ayat ini dipandang para ahli tafsir menjadi dasar kewajiban memakai kerudung, yang mana menjadi tunjukkan kewajibannya kepada seluruh kaum perempuan muslimat. Dengan indikasi kata “isteri-isteri orang mukmin”, maka sudah sangat jelas kewajibannya yang seharusnya tidak lagi diperdebatkan. Sekalipun dianggap sebagai pendapat umum dikalangan ulama namun ada juga yang menganggapnya hanya sebagai tradisi dan budaya ara. Dimana pendapat seperti ini sama artinya memandang memakai kerudung bukan suatu keharusan dan kewajiban dalam Islam.

Bagi perempuan muslimat kerudung harus dipahami tidak hanya sebatas sebagai kewajiban semata namun lebih jauh dari itu dengan menganggapnya sebagai kebutuhan. Sehingga kesannya tidak terpaksa dalam memakai karena pada hakikatnya kerudung itu adalah alat untuk melindungi kehormatan mereka dari laki-laki yang tidak benar bukan sebaliknya sebagaimana orang kebanyakan melihatnya menjadi beban dan kesulitan besar.

Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa model kerudung yang dikehendaki Al-Qur’an dengan syarat harus dapat menutupi seluruh tubuh mereka, jadi bukan hanya sebatas melekat pada bahagian kepala saja. Imam Qurtubi menjelaskan dalam tafsir Jami’nya mengenai ayat di atas, bahwa ukuran kerudung itu persis telekung dalam shalat atau dengan kata lain yang dapat menutupi dada mereka. Pada saat sekarang ini kita sudah banyak melihat para pemudi muslimat dan ibu-ibu memakai model kerudung yang dimaksud dalam ayat tersebut. Apakah itu di mall-mall, instansi pemerintah, pusat pasar dan lain sebagainya.

Tetapi belakangan muncul fenomena yang melanda pemakaian para muslimat khususnya di Indonesia yang tercinta ini. Dimana para perempuan muslimat banyak memang yang memakai kerudung tetapi tidak memenuhi syarat yang dimaksud oleh syari’at. Kerudung hanya menjadi model dan style dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa populernya yang dengan kerudung gaul. Di antara bentuk dan tanda kerudung gaul yang sering kita lihat, di antaranya, kerudung hanya menutup kepala tetapi bahagian leher terbuka, kemudian tidak sampai menutupi dada.

Agaknya fenomena ini merupakan bahagian dari pengaruh globalisasi yang semakin cepat dan dinamis. Akhirnya kerudung yang pada awalnya dijadikan sebagai alat untuk melindungi kehormatan diri dan dalam rangka memenuhi tuntutan syari’at sebaliknya menjadi kebiasaan seremonial yang tidak lagi memenuhi kriteria syari’at itu sendiri.

Dari itu sangatlah layak perempuan muslimat kita untuk membudayakan kerudung yang betul-betul memenuhi standar syari’at yang bentuknya panjang dan menutupi dada. Dengan begitu lebih terlihat anggun dan terhormat dan otomatis para lelaki hidung belang akan merasa enggan untuk mengganggu mereka.

Paling tidak budaya berkerudung dengan memenuhi standar syari’at tidak sertamerta dapat langsung tersosialisasi di tengah-tengah masyarakat kita. Maka pembelajaran dari dini terhadap anak juga sangat berpengaruh ketika di sudah dewasa. Disamping itu pula keteladan yang diberikan ibu dalam kehidupan rumah tangga sangat menopang berbudayanya kerudung yang Islami tersebut. Kadang kita melihat ada juga hal yang tidak mengenakkan mata, manakala kita melihat para ibu yang mengantar anaknya ke sekolah yang notebenya memakai kerudung atau berbusana muslim.

Namun apabila kita adakan persentasi perbandingan perempuan muslimat kita antara yang memakai kerudung panjang dengan yang gaul ternyata bentuk kerudung gaul tersebut lebih banyak penggemar dan peminatnya. Dari itu perbandingannya masih jauh dari pada yang diharapkan khususnya pada tatapan remaja kita.

Penutup
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup yang sempurna dan mulia sudah memberikan bimbingan kepada kita tentang tata cara hidup di dunia ini. Pemerintah memakai kerudung atau jilbab yang tertuang dalam surat al-Ahzab ayat 59 sudah sangat komprehensif mengatur tata cara dan batasan bagi perempuan muslimat dalam memakai kerudung. Sebagai seorang muslim sudah sepantasnya kita menundukkan nafsu kita mengikuti petunjuk Allah bukan sebaliknya.

* sumber:waspada online

ETos Kerja MUslim

Taqdim
Sudah menjadi sebuah sunnatullah dalam kehidupan ini bahwa tidak ada yang dapat berhasil dalam hidup ini kecuali orang yang bekerja (kerja dalam bahasa Arab disebut juga ‘amal). Jangankan orang-orang shaleh yang memiliki obsesi tinggi untuk meraih Surga Firdaus, para pengikut syahwat saja harus bekerja untuk memenuhi dorongan syahwatnya. Tidakkah kita menyaksikan dan mendengarkan begitu banyak manusia di bumi ini yang bekerja siang-malam, memeras keringat dan membanting tulang demi mendapatkan lembarang-lembaran uang yang selanjutnya ia habiskan dalam gelapnya dunia maksiat.
Anda juga tentu telah mengetahui dengan sangat jelas program murtadisasi (baca : kristenisasi dan yahudisasi) yang digiatkan di tengah kaum muslimin. Apakah Anda pikir program itu akan berhasil begitu saja tanpa harus bekerja keras ? Tentu saja tidak. Entah berapa banyak misionaris yang rela meninggalkan keluarga dan negri asalnya, lalu memasuki belantara Afrika, Kalimantan, Irian dan tempat-tempat lain, sebagian dari mereka bahkan ada yang menemui ajalnya di sana ; hanya untuk mencari orang yang bersedia hidup sebagai orang kafir !

Secuil fakta ini mengantarkan kita pada sebuah kesimpulan ; bahwa apapun yang ingin kita capai harus melalui sebuah proses kerja dan ‘amal. Dan bila para pengusung panji kedurhakaan pada Allah Azza wa Jalla juga bekerja dengan sangat keras untuk memperbanyak pengikutnya, lalu mengapa kita –para pengusung panji ketundukan pada Allah- tidak bekerja keras pula –setidaknya dengan ‘kekerasan’ yang sama dengan mereka bila kita tidak mampu (baca : mau) bekerja lebih keras memperbanyak kafilah orang-orang yang berserah diri kepada Allah ?

Hal ini tentu saja semakin diperkuat dengan kenyataan bahwa Islam sebagai satu-satunya agama yang haq adalah agama yang menjadikan kerja dan ‘amal sebagai salah satu bagian pentingnya. Anda bahkan tidak bisa disebut sebagai seorang mu’min bila iman Anda hanya sebatas hati dan ucapan, namun tidak dibuktikan dalam wujud ‘amal.

Berdasarkan itu semua, maka hajat setiap muslim –terutama para aktifis da’wah salafiyah- untuk meningkatkan kualitas kerja dan ‘amalnya tentu semakin besar dan mendesak. Dan untuk mewujudkan hal itu, seorang muslim tentu saja harus mempunyai etos kerja yang kokoh dan kuat yang kemudian mendorongnya untuk bekerja dan beramal sebaik mungkin hingga menghadap Allah Azza wa Jalla.

Etos Kerja, Apa Itu ?
Istilah Etos Kerja -seperti yang nampak di depan mata Anda- adalah istilah yang terdiri dari dua kata ; Etos dan Kerja. Etos sendiri berasal dari Bahasa Yunani yaitu Ethos yang berarti sikap, kepribadian, watak, karakter, cara berbuat, keyakinan atas sesuatu dan persepsi terhadap nilai bekerja . Dengan kata lain, Etos adalah norma serta cara diri mempersepsi, memandang dan meyakini sesuatu.
Adapun kerja adalah sesuatu yang setidaknya mencakup tiga hal ; (1) Dilakukan atas dorongan tanggung jawab, (2) Dilakukan karena kesengajaan dan perencanaan dan (3) Memiliki arah dan tujuan yang memberikan makna bagi pelakunya.

Nah, berdasarkan definisi tersebut, etos kerja setidaknya mencakupi beberapa unsur penting :
1. Etos kerja itu bersumber dan berkaitan langsung dengan nilai-nilai yang tertanam dalam jiwa seseorang. Itulah sebabnya menjadi sangat penting untuk menyeleksi setiap nilai yang akan kita tanamkan dalam jiwa kita. Maka seorang muslim harus bisa –dan tentu saja mau- mengisi jiwanya dengan nilai-nilai Islam, sehingga pada saat ia mengekspresikan dan mewujudkan kerja nyatanya ia selalu melandasinya pada semangat untuk melakukan perbaikan dan menghindarkan nilai-nilai fasad.
2. Etos kerja adalah bukti nyata yang menunjukkan pandangan hidup seseorang yang telah mendarah daging. Pandangan hidup yang benar tentu saja akan melahirkan etos kerja yang lurus. Begitu pula sebaliknya.
3. Etos kerja menunjukkan pula motivasi dan dorongan yang melandasi seseorang melakukan kerja dan amalnya. Semakin kuat dan kokoh etos kerja itu dalam diri seseorang, maka semakin kuat pula motivasinya untuk bekerja dan beramal.
4. Etos kerja yang kuat akan mendorong pemiliknya untuk menyiapkan rencana yang dipandangnya dapat menyukseskan kerja atau amalnya.
5. Etos kerja sesungguhnya lahir dari tujuan, harapan dan cita-cita pemiliknya. Harapan dan cita-cita yang kuatlah yang akan meneguhkan etos kerjanya. Cita-cita yang lemah –walaupun di jalan yang benar- hanya akan melahirkan etos kerja yang lemah pula.

Mengapa dan Untuk Apa Anda Hidup ?
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas bahwa untuk menetapkan sebuah etos kerja, setiap kita harus mampu menyimpulkan dan menetapkan tujuan, harapan dan cita-citanya. Tentu saja penentuan tujuan dan cita-cita hidup ini –sekali lagi- sangat bergantung pada nilai dan keyakinan yang terpatri dalam jiwa seseorang. Bila ia tidak meyakini Allah dan hanya meyakini hal-hal yang bersifat materialis, maka tujuan dan cita-citanya pun hanya sebatas itu saja. Sehingga etos kerjanya pun akan dibangun di atas landasan materi belaka.

Setiap muslim seharusnya bersyukur karena telah mendapatkan tuntunan ilahiyah dalam menentukan mengapa dan untuk apa ia hidup ? Apa yang seharusnya ia tuju dan cita-citakan. Hanya saja, walaupun telah sangat jelas, namun masih banyak muslim –bahkan aktifis Islam- yang tidak terlalu meresapi dan kurang menghadirkan tujuan dan cita-cita ini dalam setiap langkahnya. Padahal penegasan dan penghadiran cita-cita dan tujuan itu sangat penting. Bukan hanya memberikan semangat baru saat loyo, namun juga menentukan langkah yang akan kita ambil untuk meraihnya. Tidak mengherankan, Stephen Covey meletakkan hal ini sebagai kebiasaan efektif kedua yang harus dibiasakan –dia menyebutnya dengan begin with end of the mind ; memulai dengan melihat tujuan akhir-. Jauh sebelum itu Rasulullah saw telah menegaskan bahwa Inama Al A’malu bin-niyyat ; sesungguhnya malan-amalan itu bergantung niatnya. Dan berbicara niat itu artinya berbicara tentang tujuan akhir ; untuk apa Anda melakukan dan mengamalkannya.
Bila ingin disimpulkan, maka tujuan hidup muslim itu adalah sebagai berikut :
1. Meraih sukses jangka panjang (Long Term Succes). Yaitu kesuksesan abadi di Akhirat. Sukses Akhirat itu digambarkan dalam beberapa Firman Allah Ta’ala berikut ini :
???????? ?????? ??????????? ?????????????? ???????? ??????? ???? ????????? ???????????? ??????????? ????????? ??? ???????? ?????? ?????? ????????? ??????????
“Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam surga `Adn. Itulah keberuntungan yang besar.” (Ash Shaff : 12)
????? ?????? ????????? ????????? ?????????? ??????????? ??????????? ?????? ???????????? ?????? ???????? ???? ???????? ?????????? ?????????? ?????? ????? ????? ?????????? ?????????? ?????? ??????? ??????????
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (Ali ‘Imran : 185)
???? ???????? ????? ?????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ?????????? ?????? ??????? ?????? ????? ???????? ??????? ??????? ???????????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ??????? ???????(110)
“Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya”. (Al Kahfi : 110)

2. Meraih sukses jangka pendek (Short Term Succes). Yaitu kesuksesan-kesuksesan di dunia, baik yang berkaitan langsung dengan kesuksesan ukhrawi maupun duniawi. Allah Ta’ala mengatakan :
????????? ????????????? ?????? ???? ??????? ???????? ??????? ????????? ??????????????
“Dan (ada lagi) karunia yang lain yang kamu sukai (yaitu) pertolongan dari Allah dan kemenangan yang dekat (waktunya). Dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang beriman.” (Ash Shaff : 13)
3. Dan sebagai jalan untuk meraih itu semua, Allah menetapkan ibadah sebagai maksud dan tujuan sekaligus jalan hidup manusia muslim. Allah berfirman :
????? ???????? ???????? ??????????? ?????? ?????????????
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyyat : 56)
Ketiga hal inilah yang selanjutnya –dan seharusnya- menjadi titik tolak, landasan sekaligus tujuan hidup seorang muslim, yang selanjutnya menentukan etos kerja dan amalnya. Sehingga setiap kerja atau amal yang ia lakukan –seremeh apapun itu- harus memiliki dimensi ibadah, menjadi batu bata pembangun kesuksesan duniawi dan kelak menjadi sebab kebahagiaan ukhrawi.

Setelah menentukan dan memahami apa yang menjadi tujuan seorang muslim, maka secara sederhana kita dapat menyimpulkan bahwa etos kerja seorang manusia muslim itu adalah persepsi yang diyakini oleh seorang muslim bahwa bekerja itu –sesederhana apapun ia- adalah jalan untuk menunjukkan penghambaan (ibadah) kepada Allah Azza wa Jalla demi meraih kesuksesan di dunia dan kelak di akhirat.

Ciri-ciri Etos Kerja Manusia Muslim
1. Shahihul I’tiqad
2. Shahihul ‘Ibadah.
3. Fadhilul Khuluq.
4. Mujahidun Lin Nafs
5. Thalibun Lil ‘Ilm
6. Qadirun ‘Alal Kasb
7. Shahihul Jism
8. Munazhzham Fi Syu’unihi
9. Harishun ‘Alal Waqt
10. Mufid Li Ghairihi.

Faktor-faktor Pendorong Tumbuhnya Etos Kerja
1. Memohon kekuatan dari Allah yang Maha perkasa. Nabi saw bersabda : “Mohon pertolongan-lah kepada Allah dan jangan bersikap lemah.” (HR. Muslim)
2. Menanamkan keyakinan dan tekad pada diri sendiri untuk melakukan yang terbaik, walaupun menyebabkan kita ‘terasing’. Sebagai contoh, ketika orang lain datang terlambat, maka bahagiakanlah diri dengan selalu hadir tepat waktu. Ketika orang lain menghamburkan waktu, maka bahagiakanlah diri kita dengan memanfa’atkan waktu dengan cara yang terbaik.
3. Bangun kebiasaan-kebiasaan baik dari diri sendiri. Dan agar tidak ‘lelah sendiri’, niatkanlah selalu untuk beribadah. Sebaik-baik amalan adalah yang dilakukan dengan konsisten walau sedikit.
4. Bacalah biografi para salaf dan ulama besar lainnya yang berhasil dengan segala keterbatasan yang ada. Manusia itu ‘tukang tiru’. Karenanya kita membutuhkan teladan. Dan teladan kita adalah para salaf.
5. Senantiasa ihtisab dalam bekerja dan beramal.
6. Bayangkanlah Anda ingin meninggalkan dunia ini dalam keadaan apa ; husnul khatimah atau su’ul khatimah ?

Khatimah
Dunia ini terus berputar menuju titik akhirnya. Waktu pun terus bergulir tanpa henti. Hari kemarin telah menjadi masa lalu dan penyesalan, sementara hari esok tidak memberikan kepastian. Yang ada hanya hari ini. Bila kita memilih diam, maka waktu tidak pernah diam. Maka tidak ada pilihan kecuali berpacu dengan waktu. Bergeraklah, sebab yang diam akan tergilas di atas jalan ini. Selamat bekerja dan beramal di atas jalan ini ; jalan da’wah Islam ! Wallahu a’lam.

Rabu, September 10, 2008

5 Prinsip Kerja Seorang Muslim (Etos Kerja dalam Islam)

 
1. Kerja, aktifitas, ‘amal dalam Islam adalah perwujudan rasa syukur kita kepada ni’mat Allah SWT. (QS. Saba’ [34] : 13)
 
اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ {سبأ/13}
 
2. Seorang Muslim hendaknya berorientasi pada pencapaian hasil: hasanah fi ad-dunyaa dan hasanah fi al-akhirah – QS. Al-Baqarah [002] : 201)
 
وِمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ {البقرة/201}
 
3. Dua karakter utama yang hendaknya kita miliki: al-qawiyy dan al-amiin. QS. Al-Qashash [28] : 26
 
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ {القصص/26}
 
Al-qawiyy merujuk kepada : reliability, dapat diandalkan. Juga berarti, memiliki kekuatan fisik dan mental (emosional, intelektual, spiritual)
 
Sementara al-amiin, merujuk kepada integrity, satunya kata dengan perbuatan alias jujur, dapat memegang amanah.
 
 
4. Kerja keras. Ciri pekerja keras adalah sikap pantang menyerah; terus mencoba hingga berhasil. Kita dapat meneladani ibunda Ismail a.s. Sehingga seorang pekerja keras tidak mengenal kata “gagal” (atau memandang kegagalan sebagai sebuah kesuksesan yang tertunda)
 
5. Kerja dengan cerdas. Cirinya: memiliki pengetahuan dan keterampilan; terencana; memanfaatkan segenap sumberdaya yang ada. Seperti yang tergambar dalam kisah Nabi Sulaeman a.s.
 
Jika etos kerja dimaknai dengan semangat kerja, maka etos kerja seorang Muslim bersumber dari visinya: meraih hasanah fid dunya dan hasanah fi al-akhirah.
 
Jika etos kerja difahami sebagai etika kerja; sekumpulan karakter, sikap, mentalitas kerja, maka dalam bekerja, seorang Muslim senantiasa menunjukkan kesungguhan

Kamis, September 04, 2008

ISLAM DAN ETOS KERJA

Tidak sempurna memahami atau salah memahami ajaran justru akan membuat penganut ajaran tersebut terperangkap dalam pandangan dan praktek di luar ajaran. Memahami Islam hanya sebatas ritual ‘ubudiyyah atau upacara peribadatan yang sempit ternyata mengakibatkan tidak sedikit muslim mengabaikan banyak tuntunan yang disampaikan Islam lewat dua sumber utamanya, yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw..
Allah Ta’ala berfirman: “Dan kami turunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (muslim).” (An-Nahl : 89).
Rasulullah saw. tidak membiarkan suatu perkara pun yang mendekatkan diri kita kepada Allah melainkan beliau menyuruh kita untuk melakukannya; dan tidak membiarkan suatu perkara pun yang menjauhkan diri kita dari Allah melainkan beliau melarang kita untuk melakukannya. Sehingga, beliau meninggalkan kita di atas mahajjah (jalan lurus; petunjuk) yang terang, malamnya sama seperti siangnya, tidak ada seorang pun yang sesat dari petunjuk itu melainkan ia seorang yang binasa—hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
Dari itu maka seluruh sisi yang dipesankan Islam kepada pemeluknya, berada pada satu rotasi, yaitu ‘ubudiyyah dan penghambaan yang total kepada Allah Ta’ala. Islam sendiri menolak pemecahan pesan-pesannya. Al-Qur’an mengecam keras sikap Bani Isra’il yang tidak beriman dengan seluruh pesan-pesan syariat mereka: “Apakah kamu beriman kepada sebagian kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian yang lain? Maka tidak ada balasan yang pantas bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.” (Al-Baqarah : 86). Untuk itu Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah syaitan. Sungguh ia musuh yang nyata bagimu.“ (Al-Baqarah : 208).
Ada lima pilar Islam yang dikenal dengan rukun Islam. Semangat lima pilar ini mengalir deras dalam berbagai kewajiban dan larangan yang telah ditetapkan oleh Islam secara tegas, dan dalam berbagai perbuatan yang ditujukan untuk mengharap ridha Allah Ta’ala. Semangat lima pilar ini adalah penyerahan diri serta tunduk patuh secara total kepada Allah Ta’ala semata (islamul wajhi lillah). Dari itu orang yang tidak melaksanakan shalat dengan orang yang berdusta, dalam Islam, adalah pada posisi yang sama, yaitu pelaku maksiat. Orang yang mengingkari kewajiban shalat dan kewajiban berkata jujur dalam Islam dihukum sebagai seorang yang telah mengingkari perkara-perkara yang diketahui secara pasti bagian dari agama.


Kewajiban Bekerja Dalam Islam
Salah satu bagian dari syari’at Islam adalah kewajiban bekerja, dan keharaman berpangku tangan serta bermalas-malasan bagi orang yang berkemampuan untuk bekerja.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan katakanlah, “Bekerjalah kamu, maka Allah akan melihat pekerjaanmu, begitu juga Rasul-Nya dan orang-orang yang mu’min, dan kamu akan dikembalikan kepada [Allah] Yang Mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakannya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah : 105).
Allah juga berfirman: “Apabila shalat telah dilaksanakan, makabertebanlah kamu di bumi; carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak agar kamu beruntung.” (Al-Jumu’ah:10)
Rasulullah saw. bersabda, “Seseorang mengambil tali-talinya lalu pergi ke bukit dan memikul setumpuk kayu di atas punggungnya lantas menjualnya sehingga dengan demikian Allah mencukupkan baginya [rezeki] yang dibutuhkan (untuk hidupnya) itu adalah lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang-orang lain baik mereka memberikan maupun tidak.” (Hadits riwayat Al-Bukhari)
Bahkan Allah Ta’ala telah memerintahkan para nabi-Nya untuk berusaha mencari rezeki. Firman Allah kepada Nabi Muhammad saw.: “Maka apabila engkau telah selesai (dari sesuatu urusan), tetaplah bekerja keras (untuk urusan yang lain), dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.” (Asy-syarh : 7-8).
Allah juga berfirman: “Sesungguhnya pada siang hari engkau sangat sibuk dengan urusan – urusan yang panjang.” (Al-Muzammil : 7).
Dan firman Allah Ta’ala kepada keluarga Dawud: “Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah). Dan sedikit sekali dari hamba – hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba’ : 13).
Para nabi merupakan contoh nyata dari sikap menghargai nilai bekerja bagaimanapun kecil pekerjaan itu. Nabi Nuh a.s. adalah seorang pemahat. Ia memahat sendiri kapalnya. Nabi Dawud adalah seorang pandai besi. Ia membuat perisai dengan tangannya dan Allah Ta’ala telah melunakkan besi untuknya. Nabi Musa a.s. sepuluh tahun mengembala kambing milik Nabi Syu’aib a.s. sebagai mahar nikah salah seorang putrinya. Nabi Muhammad saw. mengembala kambing, memperdagangkan harta Sayyidah Khadijah r.a. dan lainnya.
Rasulullah saw. pernah bersabda, “Seseorang tidak akan dapat memakan makanan yang lebih baik daripada hasil usaha tangannya sendiri. Sesungguhnya Nabiyullah Dawud makan dari [hasil] kerja tangannya.” (Hadits riwayat Al-Bukhari).
Allah Ta’ala telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk berusaha di muka bumi ini agar dapat memperoleh rezeki yang telah ditentukan untuk mereka. Ini dikarenakan Allah telah mengatur sebab seseorang memperoleh rezeki adalah lewat ia berusaha dan bekerja keras. Di samping itu, kerja juga merupakan pokok utama untuk membangun agama dan dunia sekaligus, dan merupakan wahana vital untuk melaksanakan berbagai amal ibadah lainnya. Pahala dan kedudukan seorang hamba di sisi Allah Ta’ala akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh ia berusaha dan bagaimana keikhlasannya dalam berusaha.
Allah Ta’ala berfirman: “Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.” (Al-Mulk : 15).
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa Ia telah mempersiapkan bumi dan menyediakannya agar dapat dimanfaatkan sebagai tempat manusia bergerak dan berusaha. Bumi telah ditundukkan untuk dapat merespon aktivitas manusia sehingga ia dapat mengeluarkan rezeki bagi kelangsungan hidup manusia itu sendiri.
Allah telah memuliakan manusia, menganugerahkan kepadanya berbagai nikmat sehingga ia lebih tinggi dari seluruh makhluk-Nya yang lain. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah-Nya di muka bumi. Kepadanya dipikulkan beban untuk memakmurkan bumi, untuk menciptakan kedamaian dan ketentraman, bukan untuk merusak dan menumpahkan darah. Beban besar ini tidak akan terlaksana apabila manusia berdiam diri, bermalas-malasan. Beban ini pun bukan diarahkan untuk sebagian manusia, tidak sebagian yang lain. Di setiap pundak manusia terpikul beban ini. Dan karena itu setiap manusia yang memiliki tenaga dan kemampuan untuk bekerja, tapi ia memilih untuk tidak bekerja, maka ia telah menyalahi amanat yang telah dibebankan oleh Pencipta dan Pemberi berbagai anugerah kepadanya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dia telah menjadikan kamu dari tanah dan menjadikanmu pemakmurnya.” (Hud:61)
Maknanya: Allah menuntut manusia untuk membangun dan menghidupkan seluruh manifestasi peradaban dalam berbagai sektor kehidupan. Setiap mu’min yang melaksanakan tuntutan tersebut, maka ia telah melaksanakan suatu ‘ubudiyah kepada Allah Ta’ala sekalipun ia seorang yang sehari-harinya bekerja sebagai kuli bangunan atau pesuruh di sebuah perkantoran.
Rasulullah saw. yang merupakan teladan umat manusia di berbagai sisi hidup beliau juga telah menunjukkan berbagai teladan yang amat luhur dalam hal pemanfaatan waktu, perencanaan, ketekunan dan ketelitian dalam berbuat, serta pembagian tugas yang tepat dan sesuai keahlian masing-masing para sahabat. Karena itu semua maka Nabi saw. dalam waktu yang relatif singkat dapat mewujudkan berbagai kerja nyata yang belum tentu dapat diwujudkan oleh suatu balatentara yang memiliki fisik tangguh, kecerdasan serta keahlian.
Nilai suatu kerja juga demikian tinggi dalam pandangan para sahabat Rasulullah saw.. Abu Bakr r.a. adalah seorang pedagang kain dan pakaian. Pada hari ia dibai’at sebagai khalifah, ia pergi ke pasar untuk mencari sesuatu yang bisa dikerjakan di pasar sekalipun ia seorang hartawan pada masa sebelum Islam, tapi pada masa Islam, harta kekayaannya telah diinfakkan di jalan menegakkan Islam. Melihat hal itu para sahabat lain melarang Abu Bakr untuk berdagang lantaran kuatir akan mengganggu kerja berat yang sedang pikulnya. Lalu dibiayai secukup keperluan pokok hidupnya dari Baitul Mal. Dan sebelum meninggal Abu Bakr berpesan untuk mencabut dan mengembalikan jatah biaya hidup tersebut ke Baitul Mal. Demikian pula para sahabat-sahabat yang lain; ‘Umar adalah seorang agen/perwakilan; ‘Utsman dan ‘Ali kedua-duanya pedagang; ‘Amru bin Al-‘Ash tukang potong daging.
‘Umar bin Al-Khaththab r.a. pernah mengatakan, “[Kuharap] jangan ada di antara kalian orang yang berpangku tangan lalu berdoa’: Ya Allah berikanlan kepada rezeki. Sebab kalian tahu bahwa langit tidak menurunkan emas dan perak.”
Langit menurunkan hujan. Bumi berinteraksi dengan tetesan hujan yang jatuh di atasnya. Tanpa usaha dan olahan tangan manusia, maka tidak akan ada hasil, takkan ada panen, takkan ada bekal, takkan berlangsung kehidupan, takkan ada gerak di muka bumi. Andaikata pun langit menurunkan emas dan perak, tapi jika tanpa ada tangan-tangan yang bekerja, sungguh manusia pun akan kelaparan, telanjang, tak bertempat tinggal, tak bisa menyembuhkan dirinya dari penyakit dan sebagainya. Oleh karena itulah Islam menekankan kerja produktif dan melarang penggunaan harta kekayaan pada hal-hal yang tidak bermanfaat, untuk menutup keperluan dan kebutuhan masyarakat.
Suatu kali ‘Umar r.a. melihat Zaid bin Maslamah sedang menanam tanaman di tanahnya, maka ‘Umar mengatakan kepadanya, “Benar sekali perbuatanmu itu! Engkau tidak menggantungkan hidupmu kepada orang lain adalah cara terbaik untuk memelihara agamamu, dan termulia untuk menjaga martabat dirimu.”
‘Umar r.a. juga pernah mengatakan, “Sesungguhnya aku memandang seorang pemuda, maka aku kagum kepadanya. Lantas aku menanyakan kepadanya apakah dia punya suatu pekerjaan. Lalu dijawab tidak, maka jatuh nilai pemuda itu dalam pandanganku.”
Islam tidak hanya bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang ahli ibadat dan berperilaku zuhud semata tapi Islam juga hendak mewujudkan masyarakat yang bekerja dan penuh dinamika. Masyarakat yang kuat agama dan dunianya. Masyarakat yang mampu menghidupi dirinya sendiri lewat tangan-tangan anggotanya yang tekun, otak-otak yang kreatif dan tenaga-tenaga yang berpengalaman. Masyarakat konsumtif yang melulu menggantungkan hidupnya pada produk masyarakat lain adalah masyarakat yang tidak bertahan lama, lemah, cenderung tergoda dengan angan-angan palsu hingga akhirnya tersungkur dalam kemunduran serta pada gilirannya akan terpola sebagai masyarakat pengekor bagi masyarakat yang dinamis, maju, kaya, dan cerdas.
Suatu kali ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hanbal yang terkenal bersifat wara’ dan zuhud, “Bagaimana pendapat Anda mengenai seseorang yang duduk-duduk saja di rumah atau mesjidnya sambil berkata, ‘Aku tidak mau mengerjakan suatu pekerjaan pun sampai rezeki datang sendiri kepadaku.’?” Imam Ahmad serta merta menjawab, “Itu orang yang tidak berpengetahuan. Tidakkah ia tahu bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah menjadikan rezekiku di bawah bayang tombakku.”
Rasulullah saw. sendiri bekerja mencari rezeki. Tombak adalah alat untuk bekerja; menyemai, berburu dan lainnya. Bayang tombak akan ada saat dipergunakan untuk bekerja di siang hari. Suatu ungkapan yang sarat makna, penuh nuansa dinamis.

Amal shalih
Kerja atau perbuatan yang diperintahkan oleh Allah Ta’ala adalah perbuatan yang bermanfaat untuk dunia dan akhirat sekaligus (amal shalih). Allah berfirman: “Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, pasti akan Kami hapus kesalahan – kesalahannya dan mereka pasti akan Kami beri balasan yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan.“ (Al-’Ankabut : 7).
“Dan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka pasti akan Kami masukkan ke dalam (golongan) orang yang saleh.“ (Al-’Ankabut : 9).
“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‘Sesungguhnya Aku tidak menyia – nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki – laki maupun perempuan, (karena) sebagian kamu adalah (keturunan) dari sebagian yang lain…” (Al ’Imran : 195).
“Sesungguhnya orang – orang yang beriman, orang – orang Yahudi, Sabi-in dan orang – orang Nasrani, barangsiapa beriman kepada Allah, kepada Hari Kemudian dan berbuat kebajikan, maka tidak ada rasa khawatir padanya dan mereka tidak bersedih hati.” (Al-Ma’idah : 69).
Sementara perbuatan mengganggu, merugikan dan menekan orang lain, apalagi menguasai hidup orang lain serta mengeksploitasi tenaganya secara semena-mena untuk keuntungan pribadi adalah amal fasid (buruk). Bahkan seluruh perbuatan yang tidak bermanfaat adalah amal fasid—sekalipun tidak merugikan atau membahayakan orang lain secara langsung—oleh karena tenaga dan waktu yang terbuang percuma pada sesuatu yang tidak bermanfaat padahal waktu dan tenaga adalah modal utama untuk mencari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat.
Firman Allah Ta’ala: “Dan Kami akan perlihatkan segala amal yang mereka kerjakan, lalu Kami akan jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan.” (Al-Furqan : 23).
“Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan bagaimana Tuhanmu berbuat terhadap (kaum) ’Ad? (yaitu) penduduk Iram (ibukota kaum ’Ad) yang mempunyai bangunan – bangunan yang tinggi, yang belum pernah dibangun (suatu kota) seperti itu, di negeri – negeri lain, dan (terhadap) kaum Samud yang memotong batu – batu besar di lembah, dan (terhadap) Fir’aun yang mempunyai pasak – pasak (bangunan yang besar), yang berbuat sewenang – wenang dalam negeri, lalu mereka banyak berbuat kerusakan dalam negeri itu, karena itu Tuhanmu menimpakan cemeti azab kepada mereka, sungguh, Tuhanmu benar –benar mengawasi.“ (Al-Fajr : 6 – 14).
“Tetapi ketika Allah menyelamatkan mereka, malah mereka berbuat kezaliman di bumi tanpa (alasan) yang benar. Wahai manusia! Sesungguhnya kezalimanmu bahayanya akan menimpa dirimu sendiri ; itu hanya kenikmatan hidup duniawi, selanjutnya kepada Kamilah kembalimu, kelak akan Kami kabarkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.“ (Yunus : 23).
“Dan Kami telah mendatangkan kepada mereka tanda – tanda (kekuasaan) Kami, tetapi mereka selalu berpaling darinya, dan mereka memahat rumah – rumah dari gunung batu, (yang didiami) dengan rasa aman. Kemudian mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur pada pagi hari, sehingga tidak berguna bagi mereka, apa yang telah mereka usahakan.“ (Al-Hijr : 81 – 84).
Allah telah memerintahkan setiap individu dan masyarakat untuk menyucikan diri sekaligus meningkatkan taraf hidup mereka dengan amal shalih dan bermanfaat, dan melarang segala praktek usaha dan pemanfaatan harta pada jalan-jalan yang dilarang oleh syari’at serta bertentangan dengan moral seperti berusaha lewat profesi-profesi yang tidak diperbolehkan oleh syari’at atau dengan memperdagangkan benda-benda yang diharamkan. Sebab hal ini akan mengakibatkan berbagai ketimpangan dalam kehidupan masyarakat, di samping pintu akan terbuka lebar bagi berbagai penyakit sosial yang sukar untuk dipulihkan sehingga tidak jarang terlihat berbagai praktek usaha yang terlarang dalam hukum Islam justru melahirkan kemiskinan dan kemunduran di berbagai lapisan masyarakat serta menumbuhkan berbagai penyakit sosial seperti pengrusakan alam, budaya sogok menyogok, penipuan, kedengkian, egoisme, pembunuhan dan berbagai tindak kriminal.
Allah Ta’ala berfirman: “Maka adapun orang yang bertaubat dan beriman, serta mengerjakan kebajikan, maka mudah – mudahan dia termasuk orang yang beruntung.” (Al-Qashash : 67).
“Tetapi orang – orang yang dianugerahi ilmu berkata, ‘Celakalah kamu! Ketahuilah, pahala Allah lebih baik bagi orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan (pahala yang besar) itu hanya diperoleh oleh orang – orang yang sabar.” (Al-Qashash : 80).
“Barangsiapa kafir maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa mengerjakan kebajikan maka mereka menyiapkan untuk diri mereka sendiri (tempat yang menyenangkan), agar Allah memberi balasan (pahala) kepada orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dari karunia-Nya. Sungguh Dia tidak menyukai orang – orang yang ingkar (kafir).” (Ar-Rum : 44, 45).
“Dan bukanlah harta atau anak – anakmu yang mendekatkan kamu kepada Kami; melainkan orang – orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, mereka itulah yang memperoleh balasan yang berlipat ganda atas apa yang telah mereka kerjakan; dan mereka aman sentosa di tempat – tempat yang tinggi (dalam surga).” (Saba’ : 37).
Dari itu masyarakat muslim dituntut untuk berpegang kuat pada nilai-nilai keadilan yang luhur, dan atas dasar nilai-nilai ini ia bekerja dan berusaha dengan segenap tenaga sehingga ‘ubudiyyahnya kepada Allah Ta’ala adalah lewat berusaha memapankan kehidupan dunianya bukan dengan meninggalkan dunia. Sebab, masyarakat yang isi perutnya bergantung pada orang lain adalah masyarakat yang tidak memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri, bahkan dalam kondisi tertentu sampai tidak memiliki kebebasan untuk menjalankan kewajiban agamanya.

Kualitas Kerja
Kualitas dan mutu suatu kerja amat dipentingkan dalam Islam. Allah Ta’ala telah menyuruh setiap muslim untuk memperhatikan keindahan dan kesempurnaan ciptaan-Nya.
Firman Allah Ta’ala: “Dan engkau akan melihat gunung – gunung, yang engkau kira tetap ditempatnya, padahal ia berjalan (seperti) awan berjalan. (Itulah) ciptaan Allah yang mencipta dengan sempurna segala sesuatu. Sesungguhnya Ia Maha Teliti apa yang kamu kerjakan.” (An-Naml : 88).
“Sibghah (celupan) Allah, siapa yang lebih baik sibghahnya dari pada Allah? Dan kepada-Nya kami menyembah.“ (Al-Baqarah : 138).
“Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik – baiknya.“ (At-Tin : 4).
“Kemudian, air mani itu Kami jadikan sesuatu yang melekat, lalu sesuatu yang melekat itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian, Kami menjadikannya makhluk yang (berbentuk) lain. Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik.“ (Al-Mu’minun : 14).
“Yang menciptakan tujuh langit berlapis – lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?“ (Al-Mulk : 3).
“Dan kamu memperoleh keindahan padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya (ke tempat pengembalaan). Dan ia mengangkut beban – bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup mencapainya, kecuali dengan susah payah. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dan (Dia telah menciptakan) kuda, bagal, dan keledai, untuk kamu tunggangi dan (menjadi) perhiasan. Allah menciptakan apa yang tidak kamu ketahui.“(An-Nahl: 6-8)
“Maka tidakkah mereka memperhatikan langit yang ada di atas mereka, bagaimana cara Kami membangunnya dan menghiasinya, dan tidak terdapat retak-retak sedikitpun?“ (Qaf:6)
“Dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak; dan dari mayang kurma, mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan tidak serup. Perhatikanlah buahnya pada waktu berbuah, dan menjadi masak. Sungguh, pada yang demikian itu ada tanda-tanda (kekuasaan) Allah bagi orang-orang yang beriman.“ (Al-An’am:99)
Hal ini ditujukan agar muslim dapat memetik pelajaran bahwa setiap perbuatan dan pekerjaan yang dilakukan hendaknya selalu memenuhi nilai-nilai standart kualitas tinggi.
Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah menyukai dari kamu orang yang apabila ia mengerjakan suatu pekerjaan, ia mengerjakannya dengan sungguh-sungguh (sempurna).”
Untuk mewujudkan kesempurnaan dalam suatu pekerjaan, seorang muslim dituntut untuk mendalami seluk beluk bidang yang ditekuninya, berpola pikir kreatif serta gigih sehingga mampu berkarya dan produktif. Allah Ta’ala telah meletakkan hukum-hukum dan aturan-aturan bagi alam ini, yang merupakan pedukung utama kesuksesan dan kemajuan orang-orang yang kreatif dan gigih. Allah Ta’ala telah berfirman: “Dan sungguh, telah Kami tulis di dalam Zabur setelah tertulis di dalam Az-Zikr (lauf mahfuzh), bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang shalih.” (Al-Anbiya’:105).
Orang-orang shalih yang dimaksud adalah para pekerja produktif yang dapat memanfaatkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi dalam berbagai pekerjaan, penelitian, karya cipta dan kemajuan mereka.

Keikhlasan dalam Bekerja.
Islam menuntut keikhlasan dalam bekerja sebab ia merupakan bagian dari ’ubudiyyah kepada Allah Ta’ala. Bukan banyak atau sedikit hasil yang diperoleh dari suatu kerja yang menjadi ukuran nilai di sisi Allah Ta’ala, tapi justru kerja keras dan keikhlasan itu sendiri yang akan diganjar oleh Allah Ta’ala dengan pahala. Dari itu Rasulullah saw. pernah bersabda, “Apabila datang hari kiamat, dan [kebetulan] di tanganmu ada tunas kurma [yang hendak kau tanam], maka jangan sampai kagalauan hari kiamat menghentikanmu untuk menanamkan kurma tersebut.”
Demikian penting kerja sehingga dalam kondisi di mana kepanikan lumrah terjadi, keputusasaan wajar timbul dalam benak manusia, namun Rasulullah saw. melarang muslim untuk berhenti bekerja. Tidak ada alasan dengan demikian untuk menghentikan kerja. Terkadang berbagai pintu usaha terlihat seperti tertutup. Allah Ta’ala telah memberikan kepada manusia akal untuk berpikir serta berbagai karunia lainnya agar manusia dapat membenah jalan hidupnya. Perasaan diri lemah dan putus asa justru menjerumuskan manusia kepada kecurigaan bahwa Allah tidak menyayangi dirinya. Dan ini adalah suatu hal yang dilarang dalam Islam. Hasil suatu kerja, Allah yang menentukan, tapi manusia diwajibkan untuk berikhtiar dengan segenap kemampuannya sebagai suatu wujud ‘ubudiyyah kepadanya. Bahkan ‘ubudiyyah yang sederajat dengan berjihad di jalan Allah.
Pernah suatu kali Rasulullah saw. sedang duduk bersama para sahabat beliau. Lalu, lewat seorang pemuda di depan mereka. Seorang pemuda yang gagah dan penuh energik. Pagi sekali ia pergi untuk bekerja mencari rezeki. Para sahabat saling komentar,“Sayang sekali pemuda itu! Andaikan tenaga muda dan kegagahannya itu dipergunakan fi sabilillah (bejihad di jalan Allah)!! Namun Rasulullah saw. ketika itu menegur mereka,“Jangan kalian berkata demikian! Sesungguhnya apabila ia berusaha mencari rezeki untuk dirinya agar dia tidak perlu meminta-minta dan menggantungkan hidupnya kepada orang lain, maka dia itu sedang fi sabilillah. Dan apabila ia berusaha mencari rezeki untuk menafkahkan kedua orang tuanya atau anak-anaknya yang lemah (karena masih kecil atau sebab lainnya) supaya mereka dapat hidup berkecukupan dan tidak perlu bergantung pada orang lain, maka dia sedang fi sabilillah. [Tapi] apabila pergi berusaha karena untuk berbangga-bangga dan bermegah-megahan, maka ia sedang di jalan syaitan.“ (Hadits riwayat At-Thabrani).
Nabi saw. menyetarakan perbuatan orang yang berusaha untuk menghidupi diri dan keluarganya dengan jihad fi sabilillah yang merupakan salah satu ’ubudiyyah tertinggi di dalam Islam. Apabila berusaha merupakan salah satu praktek ’ubudiyyah, maka keikhlasan niat untuk mencapai ridha Allah Ta’ala adalah sesuatu yang paling pokok atau rukun agar ’ubudiyyah tersebut diterima oleh Allah.
Dengan keikhlasan niat yang demikian, seorang muslim akan terus menjaga gerak geriknya dalam berusaha agar ia tidak sampai melakukan sesuatu di luar garis batas syari’at Allah. Rasulullah saw. telah bersabda,“Tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan mendekatkan diri kalian kepada syurga serta menjauhkan kalian dari neraka melainkan aku telah menyuruh kalian untuk mengerjakannya. Dan tidak ada sesuatu perbuatan yang aku ketahui akan menjauhkan diri kalian dari syurga dan mendekatkan kalian kepada neraka melainkan aku telah melarang kalian mengerjakannya. Sesungguhnya Ar-Ruh Al-Amin (Jibril) telah membisikkan ke dalam hatiku bahwa seseorang tidak akan mati sampai dengan ia memperoleh rezekinya sekalipun tidak langsung datang. Maka bertaqwalah kepada Allah dan baguskan diri kalian pada saat berusaha mencari rezeki! (Hadits riwayat Ahmad)
Membaguskan diri ketika mencari rezeki, yang dimaksud oleh Nabi saw. dalam hadits ini adalah dengan tetap memiliki harga diri, tidak bersikap munafik dan menjilat; dengan penuh ketenangan batin dalam iman kepada Allah Ta’ala; serta melalui jalan-jalan yang dianjurkan oleh syari’at sehingga terwujud sikap membaguskan diri dengan perilaku-perilaku yang mulia.
Abu Hurairah r.a. meriwayatkan satu sabda Rasulullah saw.,”Makanan yang paling halal dimakan oleh seorang hamba adalah hasil jerih payah tangannya apabila dia ikhlas.” (Hadits riwayat Ahmad). Yakni ikhlas dalam pekerjaan, profesi dan pelaksanaan tugasnya, serta dilakukan dengan sungguh-sungguh dan dengan selalu memantau keridhaan Allah Ta’ala dalam dia berusaha baik itu menyangkut produk yang dipersembahkan bagi konsumen, pelayanan yang disuguhkan maupun lainnya.
Pekerjaan atau perbuatan bermanfaat (amal shalih) yang dilakukan atas dasar iman kepada Allah Ta’ala dan dengan hati ikhlas mengharap keridhaan-Nya akan menjamin taraf kehidupan yang baik di dunia serta pahala di sisi Allah Ta’ala. Allah berfirman: “Adapun orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, maka ia mendapat (pahala) yang terbaik sebagai balasan, dan akan kami sampaikan kepadanya perintah kami yang mudah-mudah.” (Al-Kahf:88)
“Barangsiapa yang mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriaman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (An-Nahl: 97)
Al-Qur’an menceritakan tentang pembangunan tembok penghalang yang dilakukan oleh Dzul Qarnain untuk keamanan orang-orang yang lemah dari sekelompok orang yang suka memamerkan kekuatan di depan korban-korban mereka. Suatu pembangunan yang dilakukan bukan demi tujuan-tujuan materialistis, politis, atau duniawi lainnya, tapi hanya demi kepentingan rakyat kecil dan lemah. Ketika rakyat lemah ini menawarkan upah kepadanya, Dzul Qarnain menjawab: “Apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku lebih baik (daripada imbalanmu), maka bantulah aku dengan kekuatan, agar aku dapat membuat dinding penghalang antara kamu dan mereka.” (Al-Kahf:95). Dengan kata lain: Tidak penting bagiku upah dari kalian. Allah telah menganugerahkan kepadaku kekuatan memimpin yang wajib aku syukuri dan kumanfaatkan untuk meraih ridha-Nya. Yang aku harap dari kalian hanya kerja sama dengan mengerahkan segenap tenaga agar apa yang kita inginkan tercapai. Kualitas kerja tim Dzul Qarnain tergambar dari sifat tembok yang dibangun mereka: “Maka (Ya’juj dan Ma’juj) tidak dapat mendakinya dan tidak dapat (pula) melubanginya.” (Al-Kahf:97). Sesudah Dzul Qarnain merampungkan tugas tersebut, ia sadar bahwa segenap tenaga dan kekuataan dalam kerja tersebut adalah berasal dari Allah Ta’ala, dan ia menyampaikan kepada kaum tesebut bahwa tembok ini adalah rahmat dari-Nya dan tidak akan bertahan untuk selamanya; Dzul Qarnain seperti ingin mengatakan bahwa sekalipun tembok ini demikian kokoh, tapi ia tidak akan dapat menghentikan kekuasaan Allah Ta’ala. “Dia (Dzul Qarnain) berkata, “(Dinding) ini adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila janji Tuhanku sudah datang, Dia akan menghancurluluhkannya; dan janji Tuhanku itu benar.” (Al-Kahf:98).
Ucapan Ibrahim bin Adham, seorang tokoh sufi besar, mengenai keutamaan bekerja dan berusaha, patut untuk direnungi. Ketika orang-orang menganggap rendah Ibrahim bin Adham gara-gara ia bekerja sebagai pengumpul kayu bakar untuk menghidupi dirinya, Ibrahim bin Adham mengatakan, “Sesungguhnya telah sampai kepadaku suatu riwayat hadits bahwa barangsiapa yang bersedia berada pada status rendah demi mencari rezeki yang halal, maka wajib baginya syurga.”
Abu Sulaiman Ad-Darani yang juga tokoh sufi besar, “Ibadah menuruh hemat kami bukan dengan engkau merapatkan kaki di dalam barisan shalat sedangkan orang lain mencari rezeki untuk mencukupi kebutuhan kamu. Mulai dengan dua potong rotimu, cari keduanya, kemudian baru engkau beribadat!”
Apabila kaum muslimin tidak mau merendahkan diri mereka dengan kemuliaan bekerja dan berusaha; dengan peras keringat serta banting tulang; dan dengan mengurus urusan kebutuhan pokoknya lebih dahulu, maka mereka tidak berharga sekalipun surban dan jubah yang dipakainya. Karena bagaimana pantas seorang yang mampu bekerja memperoleh kehormatan jika selalu menengadahkan tangan dan menjadi beban orang lain. Islam tidak menyuruh berpangku tangan dan bermalasan-malasan, dan karena itu Islam tidak memuliakan orang yang berperilaku demikian.
Dari itu patut bagi setiap muslim di samping memakmurkan mesjid, ia juga memakmurkan berbagai lapangan kerja. Jika kondisi muslimin lemah di bagian dunia, maka tentu musibah dan berbagai petaka pun akan melanda mereka di bagian agama dan akhirat. Perkembangan yang disaksikan selama ini dalam wujud rongrongan budaya yang masuk deras ke daerah-daerah kaum muslimin yang papa bersama bantuan-bantuan materil yang dibawa oleh pihak-pihak yang tidak terikat tali persaudaraan aqidah dengan kaum muslimin, hendaknya menjadi dentuman keras yang menjagakan insan muslim sedaerah untuk cepat bangkit berusaha dan bekerja dengan giat di berbagai lapangan sesuai keahlian masing-masing bagaimanapun rendah dan kecilnya kerja tersebut. Satu hal barangkali ada baiknya diingat sebelum akhir bahwa hari ini bukan hari raya bagi orang yang dititipkan harta berlimpah oleh Allah Ta’ala, dan bukan hari duka bagi mereka yang papa, tapi adalah hari kerja. Hartawan dengan kekayaan dan dermanya berusaha menciptakan lapangan kerja; kaum fakir dengan tenaga dan segenap kemampuannya bekerja keras. Wallahul Musta’an.

Kerudung Gaul: Melecehkan Islam

Bagi mereka yang merasa kudu tampil modis dan trendi, tren kudung gaul jadi semacam bentuk penyaluran dari seleranya. Maksudnya pengen mengenakan simbol islami, tapi juga nggak mau meninggalkan mode yang sedang 'in' saat ini. Akibatnya, dalam masalah kerudung aja mesti ada aturan main yang dibuatnya sendiri.

Sobat. Sebenarnya sih kita bahagia dengan mulai tumbuhnya dalam diri temen-temen remaja puteri semacam kerinduan untuk tampil dengan simbol-simbol Islam. Jujur saja, itu udah merupakan prestasi tersendiri bagi yang bersangkutan. Maklum, jaman sekarang banyak kaum muslimin yang mulai berani mencampakkan nilai-nilai Islam. Rasanya sulit menemukan orang yang mau bener-bener menegakkan nilai dan ajaran Islam. Hanya saja, buat temen-temen yang masih begini, perlu bimbingan lanjut supaya nggak salah arah.

Dalam tren kudung gaul ini. Di mana-mana memang marak. Satu sisi, untuk kelas orang awam bolehlah berbangga diri. Tapi inget lho, yang seperti itu bisa bikin blunder. Tahu blunder kan? (jangan sampe ketuker dengen blender ya?) Coba, betapa ngerinya kalo itu kemudian bikin repot sendiri, layaknya orang yang melakukan blunder dalam permainan sepakbola. Maksud hati menghalau bola keluar lapangan, eh, ndak tahunya bola malah nemplok di kaki lawan. Karuan aja, bikin lawan mudah untuk menceploskan ke gawang kita sendiri. Eh, hubungannya dengan kudung gaul apa neh?

Begini sobat. Saat ini mungkin kamu belum menyadari akibatnya. Tapi suatu saat nanti, yang beginian bakalan bikin repot, lho. Why? Because, maraknya temen-temen remaja puteri yang mengenakan kudung gaul ini, justru karena ketidak-tahuannya tentang aturan Islam dalam masalah ini (juga ada yang ngak mau tahu tuh). Adakalanya temen-temen itu ikut-ikutan doang. Sebab, pemahaman Islamnya masih belum mapan. Maka, marak­nya kudung gaul ini justru akan semakin memberikan citra buruk buat kaum muslimin. Karena, mereka udah merasa seneng berIslam tapi cuma mengandalkan modal semangat.

Kita coba ngasih penjelasan sedikit. Moga-moga aja kamu pada paham ya? Jilbab bermakna milhâfah (baju kurung atau semacam abaya yang longgar dan tidak tipis), kain (kisâ') apa saja yang dapat menutupi, atau pakaian (tsawb) yang dapat menutupi seluruh bagian tubuh. Di dalam kamus al-Muhîth dinyatakan demikian: Jilbab itu laksana sirdâb (terowongan) atau sinmâr (lorong), yakni baju atau pakaian yang longgar bagi wanita selain baju kurung atau kain apa saja yang dapat menutupi pakaian kesehariannya seperti halnya baju kurung.

Nah, kalo kamu pengen tahu penjelasan tambahannya, ada juga keterangan dalam kamus ash-Shahhâh, al-Jawhârî menyatakan: Jilbab adalah kain panjang dan longgar (milhâfah) yang sering disebut mulâ'ah (baju kurung). Begitu sobat. Moga aja setelah ini nggak kebalik-balik lagi ketika membedakan antara jilbab dan kerudung.

Nah, yang dimaksud pakaian muslimah dan sesuai syariat Islam, adalah jilbab plus kerudungnya. Dan itu wajib dikenakan ketika keluar rumah. Di dalam rumah gimana? Emang sih nggak wajib, tapi ketika nemuin orang asing (baca: bukan mahram) yang kebetulan sedang bertamu ke rumah kamu or keluarga kamu, ya, wajib pake.

Busana, menurut Kefgen dan Touchie-Specht, mempunyai fungsi: diferensiasi perilaku dan emosi. Dengan busana, membedakan diri (dan kelompoknya) dari orang, kelompok, atau golongan lain. Kalo ada orang yang pake tanda "salib", kamu udah langsung bisa nebak, kalo orang tersebut agamanya Nasrani. Begitu juga ketika kamu ngelihat di televisi ada orang yang pake topi yarmelke, kamu bisa langsung menyimpulkan kalo orang itu adalah Yahudi. Begitupun ketika kamu menyaksikan ada orang yang pake baju koko, sarung, berpeci, dan masuk mesjid, segera saja kamu menyimpulkan kalo orang itu adalah muslim. Paling nggak ini sebagai identifikasi awal. Dan tentunya simbol-simbol itu udah disepakati bersama.

Bagi teman remaja puteri yang mengenakan jilbab dan kerudung, tentunya itu adalah bagian dari simbol Islam. Dan jelas itu membedakan dengan golongan lain. Kita udah memposisikan diri siapa kita. Sebab, busana juga bisa sebagai sarana untuk menyampaikan pesan. Minimal, siapa kita. Tul nggak?

Trus, busana juga bisa mengendalikan perilaku, lho. Betul banget. Sebab, ketika kamu pake sarung dan baju koko, maka pantesnya kamu menjaga tingkah lakumu. Jadi kalo pas penampilan kamu begitu, pastinya kudu malu dong kalo kamu main gaple or joget dangdutan di pesta kawinan tetangga kamu. Termasuk teman remaja puteri bisa menjaga diri. Nggak pantes rasanya kalo udah pake jilbab, tapi ngomongnya sering nyakitin ati teman kamu.
Lalu, busana juga ternyata bisa berfungsi emosional. Jaman kampanye pemilu dulu, ketika kamu pake kaos partai pujaan kamu, kamu bangga banget. Ketika konvoi bareng satu kelompok dengan kaos yang sama, terasa lebih terlibat secara emosi. Begitupun ketika kamu tampil dengan kostum bak pejuang intifada, rasanya seperti sedang berada di medan tempur melawan Israel. Jadi jelas busana dan aksesoris itu bisa berfungsi sebagai emosi.

Busana muslimah, jilbab, adalah juga simbol identitas. Simbol pembeda antara yang benar dan salah. Memakai busana muslimah sekaligus merupakan simbol mental baja pemakainya. Gimana nggak, dalam kondisi masyarakat yang rusak binti amburadul ini masih ada orang yang berani tampil dan bangga dengan jilbab. Maklum saja, jaman sekarang ini jaman amburadul, utamanya kaum wanita dalam soal busana. Nggak abis pikir emang.
Saudaraku, seharusnya, jadikan citra jilbab dalam perspesi sosial umum sebagai kebaikan; sopan, ramah, kalem, tahu agama, alim dan sebagainya. Jadi, seperti kata Kefgen dan Touchie-Specht, bahwa busana adalah "menyampaikan pesan". Kamu menerima pesan di balik busana orang, kemudian merespon sesuai persepsi sosial kamu.








TIPS UNTUK MENINGKATKAN RASA PEDE :
  
# Jika anda termasuk orang yang tidak atau kurang 'pede', jangan
cuma diam. Kembangkan rasa percaya diri anda! Dan jika anda sudah
memiliki rasa percaya diri yang baik, periharalah rasa pede tersebut, tentu
saja agar rasa pede Anda tetap dalam batas yang proporsional. Caranya?
Lakukanlah hal-hal berikut ini:
  Pujilah diri sendiri
# Jangan ragu untuk memberi selamat pada diri sendiri ketika Anda
berhasil meraih prestasi, walau sekecil apapun. Caranya yaitu dengan
berbicara pada diri sendiri, "ya saya memang pantas mendapatkannya karena
saya
telah bekerja keras". Kalau perlu berikan hadiah pada diri sendiri,
misalnya dengan membeli sepatu atau jam tangan yang telah lama anda
iniginkan. Lagipula memuji diri sendiri sepanjang tidak merugikan dan
mengganggu orang lain dapat berpengaruh positif pada Anda. Tindakan ini
dapat
membantu Anda lebih percaya diri dan optimis dalam mengerjakan apapun,
terutama dalam melaksanakan tugas-tugas Anda. Anda pun telah belajar
menghargai diri sendiri.
Buatlah orang lain menghormati Anda
# Ingat, Anda tidak dapat memaksa orang lain menghormati Anda jika Anda
sendiri tidak menghormati diri sendiri sendiri dan orang lain. Cara
bicara yang seenaknya dan gaya berpakaian yang tidak sopan adalah contoh
bahwa Anda sendiri tidak menghormati diri sendiri. Jika Anda tidak dapat
menghormati diri sendiri bagaimana orang lain mau menghormati Anda?.
Jika Anda merasa orang lain menghormati Anda, tentu Anda akan merasa akan
lebih pede mekakukan apapun. Tentu saja Anda bisa membuat orang lain
agar menghormati Anda tanpa terkesan Anda 'gila hormat' bukan?
  Jangan Takut Gagal
# Orang yang takut gagal mustahil bisa mempunyai rasa 'pede' yang lebih
baik. Mereka yang takut gagal selalu dihantui rasa bersalah setiap
ingin melakukan apapun. Hal ini jelas akan mengahambat kemajuan karir Anda.
Jika Anda pernah mengalami kegagalan di masa lalu jangan jadikan
kegagalan itu sebagai masalah 'traumatis'. Tapi sebaliknya jadikan kegagalan itu sebagai pengalaman dan pelajaran berharga untuk meraih yang lebih
baik. Dengan mengenyahkan rasa cemas dan takut 'gagal' otomatis rasa
percaya diri Anda akan tumbuh. "Kegagalan adalah Sukses yang Tertunda".
  Buatlah target sukses yang lebih luas
# Membatasi target sukses hanya membuat Anda terbelenggu pada ukuran
sukses yang sesungguhnya amat relatif. Umumnya, jika anda sudah mencapai
kesuksesan yang diinginkan, Anda akan merasa puas dan membuat Anda
berhenti sampai disitu. Sehingga Anda merasa tidak perlu berjuang lebih
keras. Karena itu jangan batasi target kesuksesan Anda. sekali Anda
menargetkan kesuksesan, Anda akan sulit untuk lebih maju dan berkembang. Dan ingat, setiap kali Anda memimpikan sukses, setiap kali itu pula Anda
akan merasa lebih pede dalam menggapainya. Yakinlah bahwa Anda bisa
Tanamkan keyakinan pada diri sendiri bahwa Anda bisa melakukan dan
menyelesaikan pekerjaan apapun, bahkan yang paling sulit sekalipun. Dengan
demikianAnda telah berpikir positif terhadap diri sendiri. Hal ini
dapat memberi kekuatan dan menumbuhkan percaya diri pada Anda setiap kali
Andainigin melakukan sesuatu.
  Pada dasarnya rasa pede ini perlu untuk membantu dan mendorong
kesuksesan Anda tetapi jangan sampai rasa pede itu membuat Anda sombong dan
besar kepala. Dan yang perlu Anda catat, rasa 'pede saja tidak cukup
untuk menggapai sukses. Untuk menggapainya perlu dibarengi usaha, 'kerja
keras, dan doa. Semoga Sukses.
  (diambil dari : My other side of the stories)