Senin, April 18, 2011

Kekerasan-kekerasan itu refleksi bangsa kita

“Jaman saya dahulu, tak ada yang namanya kerusuhan antar supporter,” ujar Judo Hadianto yang duduk tak jauh dari saya. Kiper masa lalu tim nasional Indonesia itu duduk sebagai penonton sebuah acara bincang-bincang yang menghadirkan saya, Menpora (saat itu) Adhyaksa Dault dan wartawan senior Anton Sanjoyo. Topik yang kami bahas saat itu adalah sebuah tema klasik dunia Sepakbola…kerusuhan supporter!
Suporter. Salah satu stakeholder sepak bola nasional. (Foto: Ongisnade/Adi Kusumajaya)
Suporter. Salah satu stakeholder sepak bola nasional. (Foto: Ongisnade/Adi Kusumajaya)
Judo adalah pemain besar di masanya, salah satu pelaku peristiwa nyaris lolos ke Olimpiade bersama bintang tim nasional lainnya di era tersebut. Sebuah era yang terus disebut sebagai masa keemasan tim nasional kita, yang walau tak pernah lolos ke Piala Asia tapi bisa disegani di benua ini.
“Dibanding hari ini, jauh sekali mas, saya belum pernah melihat penonton sebanyak ini sepanjang saya nonton bola di Senayan,” ujar seorang bapak yang sedang makan lontong Padang di meja yang sama dengan saya tak jauh dari pintu VIII Senayan. “Saya nonton bola dari jaman Ramang mas dan saya belum pernah lihat orang sebanyak dan seantusias ini di rentang waktu itu,” ujar lelaki yang duduk bersama teman sebayanya. Keduanya saya taksir berusia sekitar 70an tahun.
Sulit memang membandingkan kedua masa ini, karena sulit mendapatkan data akurat tentang segala hal yang terjadi di masa itu, nyaris seluruh info yang disebutkan hanyalah data subyektif dari satu-dua pihak tanpa pernah ada bukti otentik seperti peringkat berapa sih kita sebenarnya di jaman itu…..dari berapa negara anggota aktif FIFA juga.
“Jaman itu pekerjaan yang mencari kita,” ujar almarhum paman saya tentang era itu. Hari itu adalah pertengahan era 2000an dan ia sedang menerima kenyataan putranya kesulitan mencari kerja dan peruntungan. Era itu, saat Judo sedang berkuasa di bawah mistar tim nasional dan Markus Horison penerusnya hari ini belum dilahirkan ekonomi Indonesia sungguh mantap! Walau mungkin tidak terlalu merata sampai ke pedalaman Papua sana, Indonesia sedang ditatap sebagai kekuatan baru ekonomi Asia.
Tenaga kerja terus diserap dengan baik di ibukota, desa kecil bernama Jakarta itu selalu siap setiap saat untuk menerima para pendatang yang perlahan tapi pasti terus berdatangan. Ibu saya yang datang di awal 1970an dengan cepat mendapatkan pekerjaan padahal ia hanya lulusan SMA, demikian juga dengan suaminya, juga adik ibu saya, juga om saya, juga teman om saya, juga mereka-mereka yang terus datang walau kadang hanya lulusan SMP.
Situasi ekonomi Indonesia sedang menatap langit dengan pongah, Orde Baru menina-bobokan negeri ini dengan kemapanan sejati. Minyak yang terus dipompa dari dasar bumi, batubara yang terus memberi hasil, kelapa sawit, kayu dan berbagai kekayaan alam lainnya terus memberi negeri kaya ini hasil yang luar biasa.
Setiap lima tahun Indonesia mencanangkan Rencana Pembangunan Lima Tahun, lengkap dengan target lepas landas menuju langit ketujuh kesejahteraan di tahun 1999 alias siap menjadi negara maju…..setara Inggris mungkin.
Well, sementara itu di Inggris di era yang sama ekononomi jungkir balik. Pabrik-pabrik bertutupan, kota Derby tewas luar biasa, London kolaps.
Negeri kecil yang sejak lepas Piala Dunia ini semakin mempersulit pembangunan rumah—karena keterbatasan lahan—menyiapkan banyak tempat penampungan bagi keluarga-keluarga pengangguran di banyak tempat yang kadang bisa mirip dengan barak. Para lelaki muda memilih menjadi penari bugil lelaki demi uang cepat karena kebutuhan mereka jauh sekali diatas kita. Pajak yang tinggi dan berbagai bea mencekik leher mereka padahal situasi tengah memaksa mereka tengkurap bagai pecundang.
Saat Suharto menjelaskan pada bangsa ini betapa hebatnya bangsa kita dan betapa pecundangnya para pemberi hutang pada kita itu, Inggris tengah dililit kesulitan besar. Negeri yang pernah melahirkan revolusi industri ini tidak takluk, mereka justru sibuk menginvasi banyak negeri dengan kebudayaan mereka.
Dengan musik yang terus kita dengar sampai hari ini, dengan goresan tangan para senimannya yang masih bisa kita lihat di galeri-galeri utama. Mereka pun terus menginvasi Eropa daratan dengan Sepakbola!
Sepakbola memberi daya hidup luar biasa pada orang Inggris di era itu. Inilah satu-satunya senjata yang memberi tahu pada dunia bahwa peradaban mereka masih ada, bahwa masa penaklukan masih berjalan dan Sepakbola lah pelakunya. “Ingatkah kalian, bahwa satu-satunya gelar juara dunia yang kita raih direbut di masa pemerintahan Partai Buruh,” demikianlah bunyi slogan kampanye tahun itu yang kemudian melahirkan si Perempuan Besi Margaret Thatcher.
Lewat Liverpool, Aston Villa, Nottingham Forest dan tim-tim legenda lainnya, Inggris menjarah Eropa dengan caranya. Klub ataupun tim nasional adalah kebanggaan besar bagi masyarakatnya. Di kandang mereka bertarung di bawah dukungan seluruh bangsa, di kandang lawan mereka ditemani para patriot yang siap melakukan apa saja demi lambang yang terpajang di dada.
“Kami datang menemani sesuatu yang kami banggakan, siap membela mereka dan mati karenanya!” ujar Damien Donohue lelaki asal Inggris yang belakangan tinggal di Bangkok. Inilah era yang disebut oleh banyak pencinta Sepakbola Inggris sebagai masa terbaik mereka. Fanatisme, perkelahian, minuman keras dan segala bentuk provokasi adalah bagian dari kehidupan Sepakbola itu “Dulu nonton bola ya nonton bola, datang dari rumah bersama kawan dan seketika memutuskan untuk berangkat ke Stadion,” kenang Antony Sutton seorang gunners yang kini tinggal di Tangerang, teman baik saya, salah satu sumber kisah Sepakbola Inggris…..dan pencinta Sepakbola Indonesia “Karena Sepakbola kalian masih murni seperti Sepakbola kami dulu,”
Saya memahami benar kalimat Antony, saya selalu meresponnya dengan gabungan rasa senang dan sedih. Saya senang karena kita begitu mencintai permainan luar biasa ini, permainan yang bisa membuat lelaki meneteskan air mata di dalam maupun luar lapangan, permainan terindah yang pernah diturunkan Tuhan untuk kita mainkan dan cintai bersama. Kita memiliki fanatisme luar biasa yang kedahsyatannya saya berani katakannya kini telah mampu melampaui beberapa negara utama Sepakbola di Eropa.
“Tak perlu mereka pergi ke St Pauli untuk melihat apa itu fanatisme, cukup nonton Persib lawan Arema semalam dan lihat apa yang terjadi!” tulis Andreas Marbun

…dalam pesannya di blackberry yang saya tangkap sebagai kegeraman pencinta Sepakbola Indonesia pada mereka yang terus memuja Sepakbola Eropa dan fanatismenya diatas apa yang negerinya sendiri tunjukkan
Di saat yang bersamaan, saya merasa sedih pada akibat dari fanatisme itu. Pada betapa brengseknya kehidupan kita saat ini. Lapangan pekerjaan yang kian sulit, jurang kaya dan miskin yang semakin dalam, perkelahian politik terjadi nyaris tiap hari yang kekerasannya bisa kita saksikan di televisi, korupsi yang katanya berkurang di level atas tapi terus terjadi di level tengah sampai bawah. Segala kejayaan yang dirancang oleh Orde Baru nyatanya hanyalah barisan hutang yang takkan terbayar oleh generasi ini. Kekayaan minyak, batu bara, gas, nikel sampai emas yang disebut sebagai kekayaan alam milik kita itu nyatanya dimiliki oleh asing.

Indonesia yang tampak berjaya di masa lalu secara ekonomi, mampu menyelenggarakan Asian Games saat banyak negara Asia masih sibuk bebenah baru merdeka dan dirancang untuk jadi negara maju di tahun 1999 nungging luar biasa sampai nyaris tak terlihat lagi ujung kepalanya.
Seperti di Inggris berpuluh tahun lalu Sepakbola kemudian menyelamatkan hidup ini. Kita berlari ke Stadion mendukung tim yang kita cintai itu sembari tanpa sadar kita mengonfirmasi bahwa kita sedang kehilangan pegangan kebanggaan pada negeri ini. Kita memuja para lelaki yang di dada kirinya tersemat lambang kesayangan kita sepenuh mati, mau menemani kemana mereka pergi dan siap pula mati karenanya. Sepakbola mengajak kita melupakan kesulitan ekonomi, budaya dan identitas kita dengan sempurna sembari tanpa sadar membuat kita memindahkan kekerasan dan keculasan politik ke ranah Sepakbola.
“Sepakbola adalah refleksi sebuah bangsa!” ujar Franz Beckenbauer yang sangat terus membekas di hati ini.
Terus saya ulang jika saya harus berkisah tentang bagaimana besarnya Sepakbola dan betapa brengseknya negeri ini serta permainan yang tetap saja kita cintai itu. Kecintaan luar biasa dahsyat yang kadang mencapai level tak masuk akal. “Gue tahu negara gue gak akan lolos ke Piala Dunia sampai gue mati, tapi gue akan terus datang ke Stadion untuk dukung negara gue,” tulis seseorang yang saya lupa siapa di akun twitternya.

“Jika Sepakbola mau maju, maka ia harus menjadi industri, kami melakukannya dan pengorbanannya luar biasa,” desah Antony di sela-sela birnya sebelum sebuah partai tim nasional kita melawan Bahrain di Senayan 2007. Saya tersenyum kecut sembari berpikir kapan kita akan bisa melakukannya. Situasi negeri terlalu keparat untuk bisa membuat politisi berhenti memikirkan segala gagasan utopis itu dan mulai berpikir untuk merapikan Sepakbola kita dan menjadikannya sebagai alat efektif untuk membuat negeri ini bangga dan bahagia.
Saya percaya Sepakbola mampu melakukannya dan saat itulah kekerasan akan berhenti dengan sendirinya, lewat revolusi sistem dan mekanisme bukan lewat kudeta seorang ketua.
Ditulis oleh Andibachtiar Yusuf, seorang Filmaker & Football Reverend.

Tidak ada komentar: