Rabu, April 06, 2011

ASAL UANG KERTAS – RESI

Asalnya, uang kertas merupakan resi (tanda-terima) yang dikeluarkan mewakili sejumlah Emas dan Perak yang diserahkan oleh pedagang-pedagang kepada saudagar-saudagar emas untuk diamankan dalam peti besi. Simpanan ini disebut deposit.

Pada masa itu, uang resi bukanlah mata uang yang sah (legal tender) menurut undang-undang negara. Resi itu hanyalah bukti perjanjian di antara saudagar emas dengan mereka yang menyimpan uang padanya.

Dalam kata-kata lain, uang kertas adalah nota janji hutang (promissory note) atau I OWE YOU (Saya Hutang Kamu), yakni janji untuk membayar balik resi itu dengan emas atau perak yang telah berikan kepada saudagar-saudagar emas untuk diamankan.

Resi ini kemudian bertukar menjadi uang kertas apabila pedagang-pedagang mulai menggunakannya untuk berjual-beli. Ia dianggap lebih memudahkan atau efisien dalam istilah ekonomi dari menukarkan resi itu kepada emas atau perak.

Dengan ini, uang kertas mulai berputar dalam jual-beli walaupun pada mulanya penggunaannya terbatas. Sebenarnya pertukaran itu melibatkan pertukaran nota hutang dengan nota hutang. Maka hutang-hutang pun beralih-tangan dan ini terlarang dalam Islam.

“Tidak dibenarkan membayar pinjaman dengan meminta peminjam menerima bayaran dari orang ketiga yang berhutang kepada pemberi hutang…”
(Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34).

Dengan demikian, tidak dibenarkan menunaikan hutang dengan hutang lain.
“tidak dibenarkan kamu menjual sesuatu yang kamu tidak punyai (miliki) dengan sadar bahwa kamu membelinya dan akan memberikannya kepada si pembeli.”
(Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34).

Melalui sistem penggandaan uang ini, bank bisa mewujudkan hutang jauh lebih banyak dari simpanan tunai dalam yang mereka miliki. Begini caranya. Bank biasanya beroperasi dengan pembagian 20 : 1. Artinya, hanya 1 unit dari 20 unit itu berada dalam simpanan bank (berupa uang tunai). Selebihnya dipinjamkan semuanya.

Khalayak umum menyangka bahwa bank meminjamkan uang yang didepositkan oleh penyimpan, padahal sejumlah besar uang yang dipinjamkan oleh bank itu sebenarnya tidak ada dan tidak wujud – semuanya dicetak atas angin belaka. Dengan cara ini, bank mewujudkan struktur istimewa kredit yang berlipat ganda.

Apabila hutang pribadi-pribadi dan negara-negara berlipat-ganda secara sistematik, ia menyebabkan inflasi yang berkepanjangan dan tidak berakhir. Inflasi berkobar lagi apabila uang kertas terus digunakan dan ini mengecilkan ‘daya beli’ uang itu.

Oleh karena itu, jelaslah bahwa hubungan bank – termasuklah ‘Bank Islam’ – dengan pemakaian uang kertas tidak dapat dipisahkan atau diceraikan.

Uang kertas memerlukan bank dan bank menjadi perantara atau saluran uang kertas. Tanpa bank, uang kertas tidak mempunyai jalan; dan tanpa uang kertas, bank tidak mempunyai peranan atau dalam istilah ekonomi – tidak berfungsi.

Bank hanya dapat terwujud dan bergerak dengan adanya uang yang bersifat perlambang (symbolic) atau pengandaian semata-mata (hypothetical) untuk digandakan, dan cuma uang kertas saja yang bisa digandakan dari atas angin karena ia bukan barang niaga seperti emas dan perak.

Seperti dengan bank-bank ‘komersial’ yang lain, ‘Bank Islam’ dan perbankan Islam bebas menerbitkan kredit (kemudahan membayar kemudian atau penangguhan pembayaran) dengan uang kertas tanpa peduli apakah uang kertas itu sendiri halal sebagai perantara pertukaran. (juga termasuk uang plastik yang kita sebut kartu kredit)

Kredit itu digunakan pula untuk menggandakan sumber-sumber keuangan secara tidak asli dan ini terang-terangan melanggar shariat Islam.

Bank Islam atau bukan Islam – boleh meminjam, bergantung kepada peruntukan undang-undang sebuah negara, hingga 20 atau 50 kali lipat dari apa yang ada dalam simpanannya.

Selain itu, semua ikat-janji perniagaan dengan perbankan Islam melibatkan komoditi buatan yakni uang kertas yang nilainya turun-naik secara palsu mengikuti jaringan pasaran, perjudian mata uang asing dan monopoli perbankan.

Tambahan pula shariat melarang sesuatu barang niaga (komoditi) digunakan sebagai mata uang tunggal, lebih-lebih lagi apabila negara memaksa rakyat jelata menggunakannya. Islam membolehkan barang niaga apa saja digunakan sebagai uang asalkan benda itu saling diterima sebagai perantara pertukaran. Sedangkan uang kertas sama sekali tidak mempunyai sebarang nilai hakiki sebagai komoditi (barang niaga).

Hakikat ini membongkar kepalsuan ‘pinjaman tanpa bunga’ dan ‘simpanan tanpa bunga’ (tanpa kelebihan atau tambahan bayaran) karena uang kertas bukanlah uang tulen yang mempunyai nilai yang mantap seperti emas dan perak. Walaupun kita tidak memungut bunga atau keuntungan dari simpanan kita di bank, simpanan itu tetap mengalami susut nilai karena inflasi. Jadi, banklah yang untung berkat simpanan kita dengan ‘memutar’ uang kita, sedang kita rugi karena uang itu susut-nilainya.

Bagaimana bank boleh memberi pinjaman kepada seseorang sedang uang simpanan dalam bank itu bukan kepunyaan bank, dan shariat melarang memberi pinjaman dengan apa yang bukan hak kita dan menggandakan hutang dengan uang hutang!

“Tidak dibenarkan kamu menjual sesuatu yang kamu tidak miliki dengan sadar bahwa kamu membelinya dan akan memberikannya kepada si pembeli”.
(Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34)

Urusan bank melibatkan jual-beli hutang antara bank dengan peminjam. Karenanya, perniagaan bank tidak boleh ada dalam Islam.

“Tidak dibenarkan membayar pinjaman dengan meminta peminjam untuk menerima bayaran dari pihak ketiga yang berhutang kepada peminjam itu”. (Al-Risala, Ibn Abi Zaid al’Qairawani, bab 34)

Imam Malik membedakan dua jenis hutang. Pertama, orang yang berhutang dan menerima apa yang dipinjamnya. Kedua, orang yang berhutang tetapi tidak menerima pinjaman itu, misalnya kemudahan kredit yang ditawarkan oleh bank.

Hutang jenis kedua inilah yang dilarang karena ia mendorong kepada riba dan penipuan seperti yang diamalkan oleh sistem bank, termasuk perbankan Islam dan lembaga bantuan pinjaman tanpa bunga.

Bagaimana bank boleh melakukan penjaminan atas deposit yang bukan miliknya? Bukankah ini suatu penipuan dan perbuatan mencuri?

Akhir kata, jadi jelas sudah hubungan sistem keuangan (perbankan), uang kertas dan riba! semua amalan riba ini bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Riba jelas dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, yang sangat dahsyatnya kesalahan dan kegagalan dalam memahami -teknik- ini diamalkan oleh hampir semua masyarakat muslim di seluruh dunia, Riba inilah yang berperan besar dalam kemiskinan masyarakat, penghancuran sumber alam, kejahatan sosial masyarakat, kejahatan seksual, korupsi, dan mematikan perdagangan.

Apa yang kamu ingin belum tentu yang Allah ingin, Apa yang kamu ingin belum tentu terjadi, Apa yang Allah ingin pasti terjadi.

Apalagi yang kamu tunggu!

Tidak ada komentar: