Masih
 segar dalam ingatan kita ketika pekan lalu krisis kedelai di negeri ini
 nyaris menjadi masalah yang serius. Sebenarnya bukan hanya di kedelai, 
tetapi juga di jagung dan gandum karena sumbernya berasal dari negeri 
yang sama. Meskipun sementara krisis itu bisa dihindari, namun tidak 
berarti masalahnya teratasi. Potensi krisis pangan sejenis sangat mudah 
berulang kedepan karena problem utama tentang ketergantungan pada bahan 
pangan impor tertentu seperti kedelai dan gandum, belum ada solusinya 
yang nyata. Solusi itu sebenarnya ada, hanya mungkin selama ini kita 
mencarinya di tempat yang salah.
Bayangkan
 apa yang terjadi ketika krisis kedelai kemarin mencuat, apa yang 
kiranya dilakukan para pihak yang kompeten negeri ini ?. Mereka 
mengutak-katik biaya (pajak) impor, alternatif negeri asal impor, 
kesiapan produksi dalam negeri sampai alternatif pengganti kedelai. 
Tidak ada yang salah dengan itu semua, hanya ada satu tempat yang mereka
 belum mencarinya – yaitu sumber dari segala sumber petunjuk dan ilmu – 
apalagi kalau bukan Al-Qur’an !.
Saya
 membayangkan skenario alternatif seperti ini yang terjadi : Ketika 
krisis terjadi, presiden tidak hanya mengandalkan para menterinya untuk 
memberikan solusi. Diajaknya pula orang yang memahami Al-Qur’an sampai 
penerapannya dalam rapat darurat yang dipimpin beliau – sebut saja orang
 ini adalah pak kiyai. Setelah seluruh menteri memberikan masukan sesuai
 bidang masing-masing, beliau dapat minta pendapat pak kiyai kurang 
lebih seperti ilustrasi dalam ‘mimpi ilmiah’ saya yang didukung dengan 
ayat-ayat dan data konkrit berikut ;
“Pak kiyai sudah mendengar seluruh pendapat para menteri, sekarang bagaimana menurut pak kiyai solusinya ?”. Pak kiyai langsung menjawab “Begini bapak presiden, pertama bapak dan para menteri harus memimpin bangsa ini untuk istigfar….”. Sebelum pak kiyai meneruskan, presiden menyela “Lho, salah kita apa pak kiyai kok sampai kita harus istigfar bersama seluruh rakyat…?”.
Pak kiyai menjelaskan “Mohon
 maaf sekali bapak presiden, pertama istigfar tidak harus karena sesuatu
 kesalahan – habis berbuat baik-pun kita dicontohkan untuk beristigfar. 
Misalnya ketika kita habis sholat, kan disunnahkan untuk langsung 
beristigfar ?, sholat kan perbuatan baik…?.  Jadi
 istigfar itu perlu selalu dilakukan, habis berbuat baik seperti sholat,
 apalagi apabila habis berbuat dosa…perlu terus istigfar, istigfar dan 
istigfar”. 
Setelah bapak presiden memberi sinyal untuk melanjutkan, maka pak kiyai-pun melanjutkannya, “Kedua karena ada petunjuk Allah, bahwa istigfar ini bisa menjadi solusi atas krisis pangan dan krisis-krisis lainnya” kemudian pak kiyai-pun membacakan surat Nuh 10 -12 : “…Mohonlah
 ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya 
Dia akan mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta
 dan anak-anakmu, dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan 
(pula di dalamnya) untukmu sungai-sungai”.
Sebelum pak kiyai melanjutkan ada seorang menteri yang tidak sabar, dia-pun menyela : “Mohon
 maaf bapak presiden, tetapi solusi yang kita butuhkan adalah konkrit, 
saat ini dan disini – bukan solusi teoritis, filosofis, agamis seperti 
yang diuraikan pak kiyai…”.
Pak
 presiden-pun memberi sinyal ke pak kiyai untuk menjawabnya secara 
konkrit. Pak kiyai yang agak tersinggung dengan pertanyaan sekuler sang 
menteri – langsung menjawab : “Tidak
 ada solusi yang lebih cepat, lebih konkrit dan lebih applicable 
dibandingkan dengan solusi dari Sang Pencipta…!, tidak perlu riset 
puluhan tahun, solusi itu ada di depan mata kita saat ini dan di sini !”.
Lalu pak kiyai membacakan surat Al Maaidah ayat 66 yang artinya berikut : “Dan
 sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan 
(Al Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka 
akan mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Di antara mereka ada golongan yang pertengahan. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka”. 
Pak kiyai yang membaca raut muka belum puas dari sang menteri-pun melanjutkan. “Saya tahu pasti bapak-bapak belum puas dengan penjelasan ayat ini ,  ingin lebih konkrit lagi ?”. Beliaupun melanjutkan, “…
 di dalam Al-Qur’an bila disebut beberapa hal dan yang satu didahulukan 
terhadap yang lain – maka yang didahulukan itu berarti lebih penting, 
lebih serius, lebih utama dlsb”.
“Demikian
 pula dalam hal makanan ini, ada ayat yang menarik yang mungkin 
Bapak-bapak juga sudah sering membacanya tetapi nampaknya belum sampai 
pada taraf penerapannya”. Lalu pak kiyai membacakan lagi suatu ayat yang berada di surat Al An ‘aam 141 : 
“Dan Dialah yang menjadikan tanaman-tanaman yang merambat
 dan yang tidak merambat, pohon kurma, tanam-tanaman yang bermacam-macam
 buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya), dan tidak
 sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila 
dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan 
dikeluarkan zakatnya); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya
 Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
“Bapak-bapak
 bisa lihat sekarang, ada tanaman-tanaman yang merambat yang disebut 
secara khusus di Al-Qur’an kelompok jenisnya. Disebut lebih dahulu pula 
ketimbang tanaman yang lain. Coba sekarang perhatikan pada 
komoditi-komoditi yang ditangani oleh kementerian bapak-bapak 
masing-masing, adakah tanaman-tanaman yang merambat ini mendapatkan 
perhatian ?.” Para menteri nampak merenung sejenak, kemudian pada 
menggelengkan kepalanya – tanda bahwa belum ada yang memperhatikan jenis
 tanaman yang merambat ini.
Bapak presiden-pun penasaran, sambil tersenyum beliau bertanya : “Menarik sekali, tetapi menurut pak kiyai sendiri tanaman merambat ini yang paling pas dan cocok di negeri ini apa ?”. Pak kiyai menjawab : “Mohon maaf pak presiden, ini mestinya tugas menteri yang terkait untuk menemukannya…”.
Presiden-pun
 paham dan menganggukkan kepala sambil melihat ke menteri pertanian, 
menteri pertanianpun menganggukkan kepala tanda setuju. Kemudian pak 
kiyai melanjutkan : “Yang sudah kami coba di pesantren kami adalah gembili…”. Presiden yang orang jawa ini-pun langsung paham: “ Ini uwi – mbili yang di desa-desa itu ? mengapa mbili pak kiyai ?”.
Pak kiyai berusaha menjelaskan “Ini
 hanya sekedar contoh pak presiden, yang lain mungkin banyak…, tetapi 
gembili yang dalam bahasa latinnya disebut Dioscorea esculanta itu 
memang banyak memiliki keunggulan, antara lain mengandung Inulin dan 
berbagai zat yang berkhasiat lainnya”.
Pak kiyai-pun melanjutkan : “kelebihan
 lain dari gembili ini adalah potensi produksinya. Dia tidak membutuhkan
 lahan khusus yang terbuka seperti untuk produksi padi, jagung, kedelai 
dan sejenisnya. Dia bisa tumbuh diantara pohon-pohon sampai kerindangan 
tertentu. Jadi lahan-lahan perkebunan dan kehutanan dapat menjadi lahan 
baru bagi produksi bahan pangan yang satu ini”.
Mendengar penjelasan ini, meneteri  BUMN langsung menyambut : “wah
 ini bagus sekali pak kiyai, bisa saya serukan kepada seluruh PTP-PTP 
(perusahaan perkebunan) BUMN untuk tidak menyia-nyiakan lahan mereka. 
Dibawah pohon karet, kayu, kopi….semuanya dapat dimanfaatkan…”.
Menteri kehutanan tidak mau kalah : “ Wow,
 kalau begitu dibawah kementerian saya akan lebih banyak lagi yang bisa 
ditanami gembili ini…saya akan mintakan seluruh jajaran kehutanan untuk 
mendalami potensi ini secepatnya…”.
Menteri pariwisata dan industri kreatif-pun mendapatkan inspirasi baru : “ Ini akan menarik pak kiyai bila bisa diolah menjadi berbagai makanan modern yang cocok dengan selera masyarakat di jaman ini”.
Melihat para menteri yang pada antusias kini, presiden-pun sambil tersenyum bangga menyampaikan ke pak kiyai : “Karena
 antusiasme cabinet ini pada gembili pak kiyai, saya sendiri sudah tahu 
bentuknya seperti apa – tetapi barangkali yang lain belum tahu, apakah 
pak kiyai membawa gambarnya…?”.
Pak
 kiyai-pun nampaknya tidak kalah persiapannya dengan para menteri, 
beliau langsung minta ditayangkan gambar-gambar gembili dari benih 
sampai produk akhir. Gambar yang disajikan adalah seperti pada gambar 
dibawah.

Dalam penjelasannya secara khusus pak kiyai juga merespon pertanyaan menteri pariwisata dan industri kreatif : “ …betul
 bu menteri, Alhamdulillah para santri kami sudah berhasil membuat 
menu-menu modern seperti Muffin dalam gambar – yang 100% bahannya dari 
gembili, kami yakin seluruh makanan yang selama ini dibuat dari gandum 
impor – dapat digantikan oleh gembili ini”.
Presiden
 gembira sekali dengan rapat gabungannya kali ini dan langsung minta 
kepada seluruh menteri terkait untuk menindak lanjuti ide gembili dari 
pak kiyai – yang tidak tanggung-tanggung. Selain ide dasarnya digali 
dari Al-Qur’an, ternyata pesantren pak kiyai sudah bergerak begitu jauh 
dengan gembili ini sampai bisa membuat roti yang bahannya 100% dari 
gembili.
Sebelum menutup rapat, bapak presiden minta ke pak kiyai untuk memimpin doa. Kiyai yang mbanyol ini mengambil kesempatan terakhirnya untuk ‘mewarnai negeri ini’ dengan masukannya yang nampak sepele tetapi dalam maknanya.
“Ada
 sedikit usul kalau diijinkan oleh bapak presiden, selama ini kita 
menggunakan lambang padi dan kapas di berbagai instansi dan institusi 
kenegaraan untuk melambangkan kemakmuran. Padahal kita tahu kapas yang 
kita pakai 99.5% adalah impor, jadi kapas bukan faktor pemakmuran di 
negeri ini tetapi justru menjadi faktor pemiskinan – karena harus 
diimpor. Untuk menandai bahwa segala lambang kita harus bermakna 
bener-bener membangun kemakmuran, saya usulkan untuk mengganti gambar 
padi dan kapas dengan gambar berikut. Ini adalah kombinasi gambar antara
 padi-padian yang memang terus perlu kita hasilkan, dan umbi-umbian 
seperti gembili, ubi jalar dlsb yang insyaallah akan menjadi sumber 
pemakmuran berikutnya !”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar