Oleh : Muhaimin Iqbal
Tidak peduli siapa diri kita, apa yang kita miliki, dalam strata sosial yang mana kita berada – semua memiliki hal yang sama, yaitu untuk memilih apakah kita mau menjadi korban atau menjadi pemenang. Karena semua memiliki haknya untuk memilih ini, maka tidak jarang kita mendengar cerita heroik perjuangan hidup rakyat jelata – seperti tukang sampah Jakarta yang menghebohkan karena diberitakan di televisi asing misalnya.
Tidak peduli siapa diri kita, apa yang kita miliki, dalam strata sosial yang mana kita berada – semua memiliki hal yang sama, yaitu untuk memilih apakah kita mau menjadi korban atau menjadi pemenang. Karena semua memiliki haknya untuk memilih ini, maka tidak jarang kita mendengar cerita heroik perjuangan hidup rakyat jelata – seperti tukang sampah Jakarta yang menghebohkan karena diberitakan di televisi asing misalnya.
Pada
saat yang bersamaan kita juga sering mendengar keluh kesah pejabat dan
wakil rakyat kita, tentang gajinya, tentang makanan kecil yang mereka
makan sewaktu rapat, tentang fitnah yang dideritanya – pendek kata
tentang apa saja mereka bisa mengeluh.
Dua
ekstrim ini sengaja saya gunakan untuk sekedar memberikan gambaran
bahwa siapapun kita, kita bisa menempatkan diri kita sebagai pemenang
atau sebaliknya sebagai korban.
Bila
Anda memilih untuk menempatkan diri menjadi korban, maka akan Anda
dapati dunia yang kejam terhadap diri Anda. Atasan yang menekan, anak
istri yang possessive dan demanding, mitra kerja yang
curang, bawahan yang kerja seenaknya, harga-harga yang terus melambung,
majikan yang tidak mau tahu dlsb. Pendek kata ada seribu satu alasan
yang bisa Anda pilih untuk menjadikan Anda sebagai korban. Salahkanlah
orang lain untuk setiap problem Anda, maka itu cukup untuk menjadikan
Anda sebagai korban.
Sebaliknya
Anda juga bisa memilih untuk menjadi pemenang dalam setiap situasi.
Bila Anda tidak berhenti mencari inspirasi dan solusi atas berbagai
problem yang Anda hadapi, bila Anda terus berusaha memberdayakan apa
saja resources yang dalam jangkauan Anda. Sama dengan jalan untuk menjadi korban, juga ada seribu satu jalan untuk menjadi pemenang.
Anda
menjadi pemenang bila Anda berhenti menyalahkan orang lain, mengakui
bahwa semua masalah bersumber pada diri Anda dan oleh karenanya Anda
pula yang harus mengatasinya. Ayat berikut adalah dasar dari statement ini :
“Dan
apapun musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan
tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari
kesalahan-kesalahanmu)”. (QS 42 : 30)
Mari sekarang kita ambil case study
dalam menyikapi harga minyak yang untuk sementra tidak jadi dinaikkan
kemarin. Semua bisa menemukan alasannya sendiri untuk merasa menjadi
korban.
Pemerintah
merasa menjadi korban karena ‘terpaksa’ melakukan tindakan yang tidak
popular, karena harga minyak dunia yang terus melambung, karena subsidi
yang harus terus ditingkatkan, karena partai-partai pada menggoreng isu
dan mengambil kesempatan dalam kesempitan dan beribu alasan lainnya.
Kita warga masyarakat-pun tidak kurang alasan valid
untuk menyatakan diri kita adalah korbannya. Kita merasa menjadi korban
dari ketidak becusan pemerintah mengelola anggaran, ketidak efisienan
departemen-departemen terkait dalam mengelola sumber daya energy yang
kita miliki. Kita menjadi korban partai-partai yang memainkan perasaan
rakyat, dan masih beribu alasan lainnya untuk men-justifikasi bahwa
kitalah korbannya.
Lantas
kalau semua menjadi korban, apakah ayat tersebut diatas menjadi ayat
yang tidak valid untuk jaman sekarang ini ?. untuk jaman krisis bahan
bakar di era modern ini ?.
Justru sebaliknya, ayat tersebut sangat valid
dan bisa menjadi titik awal solusi itu. Bila kita menyadari bahwa semua
musibah berawal dari kesalahan diri kita sendiri – tidak terkecuali
dengan musibah kenaikan bahan bakar, maka kita akan mencari solusi itu
mulai dari dalam diri kita sendiri. Salah satunya yang pernah saya muat
dalam tulisan “Survival Strategy…”.
Bagi
pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang-pun demikian, dengan
menyadari bahwa sumber masalah ini adalah diri mereka, maka mereka harus
membuat program kerja untuk mengatasi masalah tersebut dari waktu ke
waktu. Tidak usah menunggu di demo berjuta rakyat. Bila setiap
pemerintah yang berkuasa menyadari bahwa merekalah yang patut di blame
bila sampai isu seperti bahan bakar ini menyengsarakan masyarakat, maka
dia akan berusaha untuk tidak meninggalkan bom waktu bagi pemerintah
dan generasi penerusnya.
Bom
waktu kenaikan harga bahan bakar ini sekarang sudah mulai berdetak…tik –
tak- tik – tak – tik-tak…, tetapi kita semua bisa menghentikannya. Bila
kita berhenti untuk bersikap sebagai korban, waktunya untuk bersikap
sebagai pemenang yang terus menggali inspirasi dan memberi solusi. Kita
menjadi pemenang manakala diri kita adalah bagian dari solusi, bukan
bagian dari masalah …!. InsyaAllah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar