Di
 tengah konflik perang saudara Somalia, seorang ibu muda yang trauma 
karena suaminya menjadi korban keganasan perang memutuskan untuk 
mengungsi dari negerinya dan membawa serta tiga orang putranya.  Ibu
 muda yang cukup terpelajar dan mampu dengan baik berbahasa Inggris ini 
akhirnya dapat tinggal dan bekerja sebagai pekerja rumah tangga di 
Inggris. Ketika si sulung – panggil saja Karim - sudah mulai beranjak 
dewasa, dia ingin meringankan beban berat yang ditanggung ibunya dengan 
cara bekerja sebagai tukar semir sepatu di sebuah stasiun kereta bawah 
tanah di pusat kota London. 
  
Setiap hari dia menyerahkan seluruh penghasilannya ke ibunya untuk dikelola bareng, sehingga mereka semua bisa survive di
 kota yang terkenal mahalnya biaya hidup tersebut. Penghasilan mereka 
selalu habis untuk kebutuhan makan, menyewa flat sederhana dan membeli 
baju hangat agar tidak kedinginan di musim dingin. 
  
Suatu
 hari Karim ingin mencoba sesekali makan enak di restoran yang hampir 
setiap hari dilaluinya ketika berangkat bekerja. Maka sepulang kerja, 
lengkap dengan tas kotak semir sepatunya – dia masuk restoran yang 
selama ini hanya bisa dia bayangkan rasa masakannya. 
  
Cilakanya
 di restoran-restoran Inggris, di buku menu tidak selalu mencantumkan 
harga makanannya. Ini karena sebagian orang Inggris – yang terkenal aristocrat-nya memandang tidak sopan untuk memilih menu berdasarkan harganya, ini dianggap bisa menyinggung tamunya. 
  
Ketika
 Karim melihat menu tersebut – karena duitnya yang pas-pasan – yang 
pertama dia lakukan justru menanyakan harganya kepada pelayan restoran 
yang menghampirinya. Dilihatnya menu sirloin steak  dengan gambar yang lezat, kemudian bertanya kepada pelayan, “yang ini berapa harganya ?”. Pelayan menjawab “yang ukuran medium,  harganya 35 Pounds”. 
  
Terkejut bukan kepalang si Karim ini karena penghasilannya setiap hari jarang  mencapai 35 Pounds (sekitar Rp 500,000 sekarang !),  dia
 mengambil seluruh uang koin penghasilan hari itu dari kantongnya dan 
mengeluarkan di meja kemudian menghitungnya. Sementara dia menghitung, 
si pelayan menungguinya dengan tidak sabar.  
  
Selesai menghitung, dia bertanya kembali ke si pelayan, “kalau yang small size, berapa harganya ?”. Si  pelayan menjawab dengan ketus dan dengan nada merendahkan  “yang small size masih juga mahal, 25 Pounds”.  Meskipun masih sangat mahal untuk ukuran Karim, dia malu untuk tidak jadi makan di restoran tersebut, akhirnya dia bilang “baik, saya pesan yang itu ! ” 
  
 
Selesai
 makan, Karim membayarnya dan pulang. Ketika pelayan mau membersihkan 
mejanya, dia kaget sekali ternyata Karim meninggalkan tip sebesar 10 
Pounds untuk si pelayan – jumlah tips yang jarang diberikan oleh 
tamu-tamu dia yang parlente sekalipun. 
  
Si pelayan sampai menangis haru dan merasa sangat bersalah karena telah men-judge
 orang berdasarkan tampilannya. Tidak habis pikir pula bagi si pelayan 
ini, bagaimana tamunya yang kumal tadi rela untuk tidak jadi memesan 
makanan yang diinginkannya padahal uangnya sebenarnya cukup, dan 
menggantinya dengan ukuran yang lebih kecil hanya supaya dia bisa 
menyisihkan tip yang baik untuk dia yang melayaninya. 
  
Ternyata
 bukan sekali ini saja perilaku Karim mengejutkan logika orang Inggris 
yang sok paling beradab itu. Suatu hari ibunya sakit dan memerlukan 
transfusi darah, dan tentu saja tidak mudah mencari darah yang cocok 
untuk Ibu Karim yang berasal dari Somalia di Inggris. 
  
Harapan
 satu-satunya adalah dari darah anak-anaknya, tetapi adik-adik Karim 
masih kecil - jadi harapannya tinggal darah dari Karim. Dokter yang 
menanganinya kemudian mengajak bicara Karim bahwa ibunya perlu darah dan
 darah Karim-lah yang bisa menolongnya. Tanpa berpikir panjang Karim-pun
 langsung mau darahnya diambil untuk ibunya. 
  
Setelah
 ditidurkan disamping ibunya untuk mulai diambil darahnya, Karim 
memandangi wajah ibunya yang pucat pasi sambil tersenyum bangga, 
setengah berbisik dia menyampaikan ke ibunya “Umi akan tetap hidup untuk adik-adik”.  Ibunya-pun menjawab lirih sambil meneteskan air mata “Umi sangat bangga kepadamu nak…”. 
  
Setelah itu Karim memandangi wajah dokter yang akan mulai mengambil darahnya, dia kemudian berkata “Apakah sudah waktunya saya akan segera mati dokter ?”. Dokternya kaget dengan pertanyaan ini, kemudian balik bertanya : “Apa maksudmu dengan segera mati ?”. 
  
Karim berusaha menjelaskan : “Bukankah
 ketika dokter minta darah saya untuk diberikan ke ibu saya dokter akan 
mengambil seluruh darah saya untuk diberikan ke ibu, sehingga ibu saya 
bisa diselamatkan hidupnya dengan itu, dan saya akan mati sesudah itu?.” 
  
Dokter sangat terkejut dengan jawaban ini, dia kemudian memberondong Karim dengan pertanyaan-pertanyaan “jadi
 kamu tadi mengira bahwa darah kamu yang akan diambil adalah seluruhnya 
?, kalau itu tadi yang kamu pikirkan, mengapa kamu langsung mau 
menyerahkan seluruh darahmu untuk ibumu ?”. 
  
Dengan lugunya Karim-pun menjawab : “betul
 dokter, aku tadi kira begitu – dan tentu aku mau menyerahkan seluruh 
darahku bila itu yang ibuku perlukan untuk bertahan hidup”. 
  
Masih nggak habis pikir, dokter-pun berusaha memahami logika Karim : “Bukankah hidupmu lebih penting dari ibumu, kalau toh harus memilih ? engkau masih muda, engkau memiliki harapan masa depan ? ”. Diluar dugaan dokter, Karim-pun menjawab dengan tenang : “
 Ibuku punya tiga anak, kalau aku mati – ibuku masih mempunyai dua anak 
yang akan menghiburnya. Sedangkan kami bertiga hanya mempunyai satu ibu,
 kalu ibu kami mati – siapa lagi yang bisa menghibur kami ?”. 
  
Dokter
 wanita yang menangani Karim dan ibunya ini akhirnya kehabisan 
kata-kata. Dengan mata yang berkaca-kaca dia berusaha memahami 
pengorbanan seorang anak yang rela kalau toh harus mati menyerahkan 
seluruh darahnya untuk menyelamatkan ibunya ini.  
  
Karim
 adalah representasi ‘Ismail-Ismail’ jaman ini yang rela menyisihkan 
penghasilannya untuk orang lain, rela berkorban maksimal untuk orang 
yang dicintainya. Barangkali bukan hanya Karim ‘Ismail-Ismail’  jaman ini,  bisa juga ada di sekitar kita atau bahkan ada pada diri kita. 
  
Bila
 kita rela berkorban untuk orang lain, bila kita rela menyisihkan 
seberapapun gaji kita – sebagiannya ditabung untuk bisa ber-qurban 
setiap tahunnya – agar orang lain bisa ikut merasakan jerih payah kita. 
  
Bila
 kita rela mengorbankan kesenangan liburan kita untuk menghibur Ibu yang
 selalu merindukan kunjungan kita, bila kita rela bangun di malam yang 
dingin untuk selalu bisa mendoakannya… 
  
Bukan
 hanya Karim, insyaAllah kita semua-pun bisa menjadi ‘Ismail-Ismail ‘ 
jaman ini, bila kita rela mengutamakan orang lain walau diri kita 
sendiri dalam kesusahan… !. 
 | 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar