Selasa, Maret 10, 2009

Siapakah Hero Kita

Sadar atau tidak, dalam keseharian interaksi kita dengan lingkungan kehidupan, kerapkali kita senantiasa menyaksikan begitu banyak pencontohan karakter.



Di waktu kanak – kanak, kita dan teman – teman sepermainan senang sekali mengaktualisasikan diri kita menjadi tokoh – tokoh “fiksi” film atau komik. Dan sungguh membahagiakan sekali kita bisa menjadikan diri kita sebagai tokoh Hero. Kita akan terkekeh bila kenangan itu muncul; betapa guru kita dibuat ceria oleh tingkah polah kita menirukan gaya penyanyi idola ketika kita mendapat giliran nyanyi di depan kelas, atau bagaimana kocaknya teman kecil kita atau kita sendiri beraksi di lapangan olah raga sekolah menirukan gaya olahragawan idola.



Ya itulah dunia kanak – kanak yang polos dan penuh kejujuran, efeknya positif. Anak kecil dengan gelora peniruan, tidak akan merubah karakter asli kanak – kanak mereka. Mereka akan kembali kepada kepolosan asli ketika sudah berkumpul lagi dengan jiwanya. Tidak menunjukkan perlawanan ketika dihukum guru karena ulah “badung” yang dilakukannya, sekalipun dalam diri mereka tersimpan karakter “hero”.



Waktu berjalan seiring pertumbuhan fisik dan kedewasaan. Bagi “jiwa” yang beruntung, akan bisa bertumbuh bersama “hero” kesayangan sewaktu kecil. Di dalam kedewasaannya, mereka akan menjadi hero sesungguhnya bagi banyak orang (keluarga, pasangan hidup, pimpinan di tempat kerja, lingkungan tempat tinggal, dan teman / sahabat). Pribadi “Hero” ini akan menjadi pribadi sukses yang sesungguhnya – karena keberhasilannya didedikasikan untuk kepentingan dan manfaat banyak pihak.



Namun demikian, dalam kenyataan tidak sedikit tumbuhnya perkembangan fisik tidak diikuti oleh perkembangan karakter dewasa. Pribadi “Hero” semasa kecil ditinggalkan dan dipendam dalam – dalam. Efeknya, bertumbuh tanpa penyertaan “hero” menjadikan pribadi menjadi tidak stabil; tidak mampu fokus, dan labil. Puncaknya kehilangan jati diri.



Dalam sebuah tayangan di telivisi belum lama ini, saya dipaksa mengamini my confession. Saya melihat banyak pribadi yang terkadang juga ‘sifat – sifat” tersebut singgah di dalam benak dan kalbu saya. Dalam tayangan itu, seorang reporter menanyai subjek yang kedapatan masih asyik di tempat keramaian saat jam kerja. Uniknya, jawaban subjek, rata – rata sama; bahwa mereka melihat atasan mereka yang juga tidak tertib. Pertanyaannya : apakah di lingkungan kerja subjek, tidak ada Hero dengan pribadi yang santun ? Atau apakah subjek juga telah melakukan pengingkaran bahwa ia memiliki komunitas santun di lingkungan tempat tinggal ? Lalu, mengapa tidak memilih mengakarakterkan diri menjadi peniru kesantunan ?



Kita begitu sering terperangkap dalam kebiasaan – kebiasaan yang tidak membesarkan. Sering kita melakukan penundaan - penundaan yang akhirnya menjadikan kebiasaan. Semisal, “Saya sih kalau kerjaan gak penting – penting banget, dan bisa ditunda, saya akan kerjakan hari Senin besok... Sabtu sih buat santai” Kita selalu membiasakan hari Sabtu adalah hari piknik di tempat kerja (bila Sabtu adalah hari kerja). Kita cenderung mengikuti “gaya hidup” yang tidak membesarkan.



Marilah kita undang kembali “hero” masa kecil kita, kita bangkitkan kembali semangat “keheroan” kita dengan membangun motivasi yang berenergi positif.



Pilihan ada di tangan kita : memilih mengijinkan “hero masa kecil” kita mengikuti terus perjalanan yang semakin meninggikan kita, atau memilih “hero masa dewasa” yang mengerdilkan ?



Kita biasa berubah hanya bila menyadari betapa kita sangat disayangi. So, Tuhan Maha Penyayang, jadi tidak perlu kita menunggu terlalu lama untuk sadar merasa disayangi, baru kita melakukan perubahan. Bangkit sekarang juga, tunjukkan kepada orang – orang penyayang yang dikirimkan Tuhan kepada kita, bahwa kitapun sangat menyayangi mereka.



Salam Gemilang

Oleh : Agung Widyatmoko
085710143410

Tidak ada komentar: